WhatsApp Image 2025-05-06 at 15.55.23.jpeg

Rabu, 07 Mei 2025 09:47:00 WIB

0

Fikih Tak Lagi Sekadar Hukum: Prof. Fathorrahman Tawarkan Gagasan Fikih sebagai Analisis Sosial”

Prof. Dr. Fathorrahman, S.Ag., M.Si., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Sosiologi Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Selasa (6/5/2025). Namun yang membuat momen ini jauh lebih berkesan dari sekadar seremoni akademik adalah gagasan besar yang ia sodorkan: transformasi fikih dari hukum normatif menjadi instrumen sosial yang membebaskan.

Dalam pidato pengukuhannya yang bertajuk Pengembangan Fikih sebagai Analisis Sosial, Prof. Fathorrahman menyuguhkan satu gagasan revolusioner yang memadukan kedalaman tradisi Islam dengan urgensi sosial kontemporer. “Fikih bukan sekadar kumpulan hukum halal-haram. Ia adalah instrumen kehidupan, hasil dialektika antara teks ilahiyah dan realitas manusia,” ujarnya.


Gagasan ini lahir dari kegelisahan akademik dan nurani keislaman atas kondisi umat yang terus bergulat dengan ketimpangan, kekerasan simbolik, hingga penindasan struktural. Fikih, menurutnya, tak boleh lagi terkungkung sebagai teks legal-formal yang tak menyentuh realitas. Ia harus naik martabat menjadi alat analisis sosial.“Fikih harus bisa berkata bahwa tidak adil itu tidak sah. Bahwa tidak bermartabat itu bukan maqashid,” tegasnya,

Dengan merujuk pada gagasan tokoh-tokoh besar seperti Al-Jabiri dan Al-Syatibi, Prof. Fathorrahman membangun satu pendekatan baru yang ia sebut Fikih sebagai Analisis Sosial (FAS). Ini bukan sekadar konsep, melainkan tawaran epistemologis: bagaimana teks (nash), realitas (waqi’), pelaku (mukallaf), maqashid (tujuan), dan ijtihad sosial dijalin dalam kerangka keilmuan yang dinamis dan responsif. FAS, dalam paparannya, bukan untuk menafikan warisan klasik Islam, tapi justru menghidupkannya kembali dalam ruang sosial umat. “Fikih harus menjadi jembatan antara ilmu agama dan ilmu sosial, antara teks dan tindakan, antara normativitas dan praksis,” ucapnya.

Ia pun menegaskan, FAS harus ditanam dalam kurikulum perguruan tinggi keislaman, diperbincangkan dalam forum fatwa, dijadikan acuan penelitian hukum Islam, dan dijalankan dalam pengabdian masyarakat.

Di akhir pidatonya, suara Prof. Fathorrahman bergetar haru atas capaian akademiknya. “Saya tidak berharap gagasan ini sempurna. Tapi saya serahkan kepada ruang keilmuan kita bersama, semoga tumbuh, dikritik, disempurnakan dan dijalankan. Semoga ilmu ini menjadi cahaya peradaban.”

Bukan sekadar akademisi, Prof. Fathorrahman menunjukkan bahwa menjadi ahli fikih di abad ini adalah menjadi pembaca zaman, penafsir realitas, dan penyambung nurani umat. Di tangan ilmuwan seperti dia, fikih bukan hanya hukum, ia adalah jalan profetik menuju keadilan. (humassk)