Nashrullah menjadi salah satu wisudawan yang berdiri dengan bangga di Gedung Multipurpose UIN Sunan Kalijaga pada Rabu (28/5/2025), mengenakan toga lengkap dengan senyum yang penuh arti. Di balik senyum itu, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan, luka masa lalu, dan tekad yang tak pernah padam.
Pria asal Lhokseumawe, Aceh, itu menjadi salah satu wisudawan pada Wisuda Periode III Tahun Akademik 2024/2025. Ia resmi menyandang gelar Sarjana dari Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Namun, gelar itu bukan sekadar tanda selesainya pendidikan. Ia adalah lambang dari kemenangan atas berbagai keterbatasan.
“Saya masih kecil saat tsunami 2004 terjadi, kampung kami luluh lantak. Tapi keluarga saya bertahan. Dan sejak saat itu saya selalu percaya, kalau bisa bertahan dari itu, saya juga bisa bertahan dalam hidup ini,” kenangnya.
Lahir di lingkungan yang penuh keterbatasan, Nashrullah tahu betul bahwa pendidikan bukanlah hal yang mudah dijangkau. Ia menamatkan sekolah menengah di sebuah lembaga pendidikan di Aceh yang memang didesain untuk siswa dengan keterbatasa eknomi, korban konflik, dan penyintas bencana. Sekolah itu menjadi batu loncatan pertama menuju mimpi besarnya.
Tahun 2018 menjadi masa yang sulit. Saat banyak temannya melanjutkan kuliah, Nashrullah harus menahan keinginan. Biaya, jarak, dan kenyataan hidup membuatnya gamang. Tapi keterbatasan itu justru memantik api tekad dalam dirinya. “Saya sempat berpikir kuliah hanya untuk mereka yang punya uang. Tapi saya juga percaya bahwa selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha dan berdoa,” katanya.
Yogyakarta dipilih sebagai tempat untuk menjemput takdir. Ia merantau ke kota ini seorang diri, membawa harapan dan semangat, namun nyaris tanpa bekal yang cukup. Di UIN Sunan Kalijaga, ia diterima sebagai mahasiswa. Di luar kampus, ia berjualan demi menyambung hidup. “Saya berjualan. Saya tidak mau jadi beban bagi orang tua. Justru saya ingin membuktikan bahwa anak pulau seperti saya bisa kuliah dan merengkuh gelar sarjana” ucapnya.
Bagi Nashrullah, pendidikan adalah pintu keluar dari lingkar keterbatasan. Ia percaya bahwa dengan ilmu, hidup bisa diubah, nasib bisa diperbaiki. Lebih dari itu, ia ingin menjadi jalan pembuka bagi keluarganya yang lain.“Belum ada dari keluarga saya yang sarjana. Jadi saya ingin ini menjadi awal. Saya ingin adik-adik saya tahu bahwa mungkin saja kami hidup dalam keterbatasan, tapi kami tidak akan menyerah,” katanya.
Tak hanya untuk orang tua, gelar itu juga dipersembahkan untuk salah satu gurunya, seorang sosok yang selalu memotivasinya, sosok itu juga hadir secara langsung dalam wisuda, duduk di antara ratusan tamu undangan dengan penuh rasa bangga. Bagi Nashrullah, Beliau bukan hanya guru. Tapi seperti ayah kedua baginya.
Kini, Nashrullah sudah resmi menjadi sarjana. Sebuah pencapaian yang tidak hanya dirayakan oleh dirinya, tetapi juga oleh orang tuanya, kampung halamannya, dan semua orang yang pernah merasa kecil karena keadaan.
Baginya, UIN Sunan Kalijaga bukan hanya sekedar tempat menimba ilmu, tapi juga rumah yang menerima, merawat, dan membesarkan mimpinya. Di kampus inilah ia menemukan ruang untuk bertumbuh sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya sebagai mahasiswa yang mengejar nilai, tapi sebagai pribadi yang diperjuangkan oleh sistem inklusif dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kisah Nashrullah adalah satu dari ribuan cerita di balik toga-toga yang melintas di panggung wisuda. Ia adalah bukti bahwa pendidikan bukan hanya milik mereka yang berpunya, tapi milik siapa saja yang tidak berhenti percaya dan berusaha.