IMG-20250722-WA0460.jpg

Selasa, 22 Juli 2025 18:29:00 WIB

0

Tawarkan Hermeneutika Gadamer sebagai Seni Memahami Teks Agama, Amhar Rasyid Raih Doktor di Usia 68 Tahun

Usia tidak pernah menjadi halangan untuk menuntaskan cita-cita. Itulah yang dibuktikan oleh Amhar Rasyid, Promovendus berusia 68 tahun yang baru saja meraih gelar doktor dalam bidang Studi Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (22/7/2025) melalui Promosi Doktor yang digelar di Aula Pascasarjana kampus setempat. Setelah pensiun sebagai dosen Fakultas Syariah UIN Jambi pada 2022 lalu, Amhar menutup perjalanan akademiknya dengan predikat sangat memuaskan.


Di hadapan sidang terbuka yang dipimpin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Prof. Dr. H. Machasin, M.A., dengan sekretaris Dr. Munirul Ikhwan, Amhar mempertahankan disertasinya berjudul “Seni Memahami Teks dalam Fikih Muhammadiyah”. Ia dibimbing oleh dua promotor yang keduanya merupakan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, yakni Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. dan Prof. Dr.Phil. Sahiron, M.A., serta diuji oleh para akademisi lintas kampus, antara lain Dr. Syakir Jamaluddin, M.A. (UMY),  serta segenap dosen dan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, diantaranya: Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag., Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, S.Ag., M.Ag., dan Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D.

Dalam paparannya, Amhar menekankan bahwa selama ini teks ayat Al-Qur’an dan matan hadis di lingkungan tarjih Muhammadiyah cenderung diobjektivasi. Menurutnya, cara pandang seperti ini berisiko mengabaikan pesan semula Rasulullah saw. “Alih-alih menempatkan teks sebagai objek, akan lebih mendalam bila menggunakan dialog hermeneutis. Dengan begitu, akan terjadi peleburan cakrawala antara murajjih dan teks, sehingga tajdid dan purifikasi lebih mendekati kehendak Nabi,” tegasnya.

Amhar mengadopsi teori hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan inspirasi Martin Heidegger dalam mendefinisikan ‘seni memahami’. Baginya, kebenaran bukanlah sesuatu yang diobjektivasi, melainkan sesuatu yang menyingkapkan diri. “Tidak ada kebenaran yang final. Ia akan selalu menampakkan kebenaran baru yang lebih terang,” ucapnya, menekankan pentingnya keterbukaan dalam menafsirkan teks agama.

Dalam salah satu sesi ujian, Prof. Abdul Mustaqim mengkonfirmasi pemikiran Amhar dengan mengangkat pertanyaan filosofis seputar teks dan kebenaran. Dengan tenang Amhar menjawab, “Being yang bisa dipahami hanyalah bahasa. Kita memahami teks, sebagaimana benang layangan yang kita pegang untuk menelusuri layangan yang menari di atas awan sana.” jawabnya.

Tak hanya itu, diskusi hangat juga muncul saat Prof. Adib menyoroti pernyataannya tentang hadis dhaif yang dijadikan hujjah di Muhammadiyah. Amhar menegaskan, hadis dhaif dapat dijadikan hujjah dengan syarat tertentu, seperti saling menguatkan, adanya kebutuhan mendesak, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis sahih, dan beberapa syarat penting lainnya.


Sementara itu,  Prof. Syamsul Anwar sebagai promotor mengapresiasi perjuangan Amhar. “Beliau sudah purna, usianya tidak muda lagi, tapi semangatnya luar biasa. Ini menjadi contoh bagi kita semua. Meskipun sudah purna, UIN Jambi patut berbangga karena ada dosennya yang menorehkan sejarah menyelesaikan studi doktoral di UIN Sunan Kalijaga,” ujarnya.

Kesimpulan penelitiannya menegaskan, membaca teks agama dengan cara mengobjektivasi dan dengan cara berdialog akan menghasilkan pemahaman yang berbeda. Ketika teks hanya diobjektivasi, tafsir yang muncul cenderung dibatasi oleh cara pandang dan objektivitas murajjih semata. Namun, saat teks diajak berdialog secara hermeneutis, sekat historisitas dapat diminimalisir, dan cakrawala antara pembaca dan teks saling bertemu. Dengan demikian, tajdid dan purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah akan lebih mendekati pesan autentik Nabi saw, karena pendekatan dialogis ini membuka peluang untuk menembus lapisan-lapisan makna yang telah mengendap sejak ratusan tahun lalu  hingga menjangkau pengalaman hidup Nabi, tempat di mana teks itu pertama kali menyingkapkan dirinya kepada dunia.

Amhar dinyatakan lulus sebagai doktor ke-1027 yang dilahirkan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Gelar akademik ini menegaskan bahwa belajar memang tidak mengenal usia. Karena bagi Amhar, memahami teks agama bukan hanya tentang ilmu, tetapi juga tentang menyingkap kebenaran yang terus hidup dalam sejarah dan pengalaman manusia.(humassk)