WhatsApp Image 2025-09-09 at 14.36.56.jpeg

Selasa, 09 September 2025 14:29:00 WIB

0

FISHUM UIN Sunan Kalijaga Gelar Seminar Nasional, Membongkar Stereotip, Menguatkan Pemahaman Kesetaraan Gender

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar Seminar Nasional bertajuk “Rethinking About Gender: Breaking Stereotypes, Building Understanding” pada Selasa (9/9/2025) di Aula Convention Hall lantai 2. Acara yang menjadi bagian dari rangkaian Dies Natalis FISHUM  ini dihadiri langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, Dekan FISHUM Prof. Dr. Erika Setyanti Kusumaputri, beserta jajaran Wakil Dekan, serta segenap Dewan Eksekutif Mahasiswa FISHUM yang bertindak sebagai panitia penyelenggara.

Rektor dalam sambutannya menekankan bahwa UIN Sunan Kalijaga sudah sejak lama menjadi pelopor dalam mengarusutamakan kesetaraan gender. Sejak dekade 1990-an, dosen-dosen telah aktif menyuarakan pentingnya gender equality di ranah akademik maupun sosial.


Lebih jauh, ia mengungkapkan kegelisahan intelektualnya terhadap kecenderungan sebagian pemikir yang selalu mengaitkan problem budaya dan sosial, termasuk ketidakadilan gender di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Asia Selatan dan Timur Tengah, dengan doktrin agama. “Isu-isu kemiskinan, pendidikan, hingga ketidaksetaraan gender sering kali dibebankan pada agama. Padahal, problem serupa juga terjadi di belahan dunia lain, namun jarang sekali dikaitkan dengan agama mereka,” paparnya.

Menurut Prof. Noorhaidi, isu gender tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas, termasuk pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, akses pendidikan, layanan kesehatan, serta persoalan-persoalan fundamental lain dalam kehidupan masyarakat.

Dalam refleksinya, ia menyinggung perkembangan fikih dalam sistem sosial pada abad pertengahan, ketika struktur kekuasaan terpusat pada otoritas monarki dan tatanan masyarakat masih kuat dipengaruhi pola patriarki. Menurutnya, tidak tepat jika praktik-praktik hukum yang lahir dalam konteks tersebut dinilai semata-mata dengan perspektif modern tanpa mempertimbangkan latar historis, politik, dan sosiologis yang membentuknya. “Harus ada perspektif yang lebih luas dan berlapis dalam memotret dinamika hukum Islam pada masa itu, sehingga penilaian kita lebih proporsional,” tegasnya.

Rektor juga menyoroti konsep pernikahan dalam khazanah fikih yang pada hakikatnya diposisikan sebagai kesepakatan antara laki-laki dan perempuan berlandaskan pada prinsip-prinsip keagamaan dan spiritualitas. Dalam konstruksi normatif tersebut, terdapat mekanisme hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik. Dengan demikian, pernikahan dipahami sebagai institusi yang menekankan relasi resiprokal, sehingga dalam perspektif fikih dapat dipandang sebagai bentuk kemitraan yang egaliter.


Sementara itu, Peminat Kajian Maskulinitas, Trainer, dan Fasilitator Gender, Nur Hasyim, sebagai narasumber, memaparkan sejumlah temuan terkait kasus kekerasan berbasis gender. Berdasarkan data, tercatat 90 persen perempuan korban kekerasan memilih untuk bertahan meskipun mengalami luka fisik maupun psikis. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan perlunya strategi baru dalam pencegahan kekerasan. “Tidak cukup hanya mendampingi korban. Kita juga harus mengedukasi laki-laki, merancang program khusus untuk mereka, dan melibatkan laki-laki secara aktif dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender,” tegasnya.

Ia menegaskan, akar persoalan ini terletak pada sistem patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi kekuasaan. Norma patriarkis menuntut laki-laki untuk selalu tampil kuat, dominan, agresif, dan heteroseksual, sedangkan feminitas dipersempit menjadi sifat lembut dan submisif. “Dengan konstruksi norma semacam ini, patriarki terus bertahan. Konsekuensinya adalah diskriminasi yang membatasi akses terhadap sumber daya dan kekuasaan, bahkan laki-laki sendiri bisa menjadi korban ketika tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan,” paparnya.

Dengan demikian, menurutnya, sistem patriarki tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga kaum laki-laki dipaksa membayar mahal dari konstruksi sosial tersebut. “Tuntutan untuk selalu terlihat cool, kuat, dan mampu menghadapi kesulitan tanpa boleh berbagi cerita membuat banyak laki-laki terjebak dalam kesepian, rentan putus asa, bahkan berisiko mengalami depresi dan keinginan mengakhiri hidup,” pungkasnya.


Narasumber lainnya adalah  Sastrawan dan Sosiolog, Okky Madasari, menekankan bahwa stereotip mengenai kelemahan perempuan secara empiris terbantahkan oleh berbagai praktik sosial. Ia merujuk pada sejumlah contoh aksi perempuan di Indonesia, mulai dari aksi demonstrasi perempuan berjilbab pink yang berhadapan dengan aparat bersenjata pada akhir Agustus 2025, konsistensi Maria Sumarsih dalam Aksi Kamisan, kegigihan Suciwati Munir memperjuangkan keadilan atas kasus pembunuhan suaminya, hingga kepemimpinan Sukinah dalam gerakan penolakan tambang semen di Kendeng. Fakta ini juga mendekonstruksi stereotip kultural yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat.

Lebih lanjut, figur yang juga merupakan peneliti ini, menjelaskan bahwa perempuan yang berani tampil di ruang publik kerap mengalami stigma sosial. Mereka sering dicitrakan sebagai emosional, pemarah, kurang rasional, bahkan mengalami gangguan jiwa. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bagaimana sistem politik, sosial, dan kultural masih mereproduksi pola eksklusi terhadap suara perempuan.

Penulis 9 novel populer ini juga menyoroti dominasi laki-laki dalam representasi ruang publik, baik itu forum diskusi, debat pakar, hingga wacana akademik, sehingga produksi pengetahuan cenderung bias dan kurang berkeadilan gender. “Selama ruang publik tidak memberi tempat yang setara bagi perempuan, maka pengetahuan yang lahir akan terus mengabaikan perspektif dan pengalaman perempuan,” ungkapnya.


Dalam kesempatan tersebut, Okky juga menyinggung dimensi representasi perempuan dalam sastra. Ia menegaskan bahwa tidak semua karya yang menampilkan sosok perempuan otomatis berpihak pada kepentingan perempuan. Justru sebaliknya, banyak karya yang mereproduksi citra perempuan sebagai sosok konsumtif atau sekadar objek emosional, dan nilai-nilai semacam itu terus diwariskan lintas generasi. “Jangan anggap remeh media, cerita fiksi, maupun forum-forum ilmiah, karena semuanya berperan penting dalam melanggengkan peminggiran terhadap suara perempuan,” tegasnya.

Di akhir paparannya, ia menyoroti akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi. Okky mengkritisi maraknya narasi feminine energy dalam konten digital yang salah satu penekanannya menormalisasi ketergantungan pada laki-laki. Menurutnya, konstruksi semacam ini, tidak hanya membatasi akses ekonomi perempuan, tetapi juga menghalangi artikulasi kepemimpinan perempuan di ruang publik.(humassk)