Bagi saya, UIN Sunan Kalijaga adalah kawah candradimuka yang telah dan terus menggembleng generasi terbaik bangsa.” Kalimat itu meluncur dengan penuh ketegasan sekaligus keharuan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, saat menyampaikan orasi ilmiah dalam puncak perayaan Dies Natalis ke-74 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (23/9/2025) di Gedung Multi Purpose kampus setempat.
Di hadapan pimpinan universitas, jajaran senat, dan civitas akademika, Arifah tidak sekadar berbicara sebagai seorang menteri, melainkan juga sebagai seorang alumni yang kembali menjejakkan kakinya di kampus penuh kenangan.
“Meski bangunannya banyak berubah, rasa cinta dan dedikasi kami kepada UIN Sunan Kalijaga tidak tidak usah diragukan,” ujarnya, sembari menyebut beberapa nama dosen yang dulu pernah membimbingnya dan kini masih setia mengajar di almamaternya.
Tema besar Dies Natalis tahun ini, “Memadu Tradisi dan Inovasi: Ecotheology untuk Masa Depan Berkelanjutan”, menjadi benang merah dalam orasi ilmiah Arifah. Ia menekankan bahwa masa depan bangsa berkelindan erat dengan bumi yang dipijak dan manusia yang dijaga.
“Ecotheology mengajak kita membentang jembatan antara iman, akal, dan praktik keseharian. Kemanusiaan hanya mampu bergerak maju bila bumi tidak dikesampingkan,” tuturnya.
Menurut Arifah, tradisi lokal yang sarat nilai keharmonisan antara manusia dan alam bukanlah penghalang kemajuan teknologi. Justru, nilai-nilai itu dapat menjadi fondasi etis agar inovasi tidak menimbulkan ketimpangan baru, tidak merusak ekologi, dan tetap menjaga hak generasi mendatang. “Kita harus belajar melihat sumbu moral sebelum sumbu teknis. Kebijakan yang dihasilkan harus mampu dipertanggungjawabkan secara teologis, ekologis, sekaligus ilmiah,” uharnya.
Dalam kerangka ecotheology, riset ilmiah menurut Arifah tidak boleh berhenti pada temuan teknis. Data, eksperimen, dan laporan lapangan harus ditimbang dari sisi moral dan keberlanjutan. “Ketika riset menunjukkan dampak ekologis dari program sosial, kita menilainya bukan hanya dari sisi efisiensi, tetapi juga dari bagaimana program itu merawat bumi dan martabat manusia,” katanya.
Ia menambahkan, pembangunan berkelanjutan pada akhirnya adalah “perjanjian suci” antara ilmu pengetahuan, agama, dan politik publik untuk menjaga keseimbangan ekosistem, budaya, serta hak-hak perempuan dan anak.
Sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah menekankan dimensi gender dalam diskursus lingkungan. “Perempuan dan anak adalah agen perubahan utama dalam ekologi sosial. Pengetahuan berbasis keadilan gender membawa dimensi empati yang kuat terhadap kehidupan, terutama komunitas paling rentan,” tegasnya.
Ia mendorong kebijakan yang tidak hanya melindungi perempuan dan anak dari kerentanan ekologis, tetapi juga memberi ruang partisipasi dalam pengelolaan lingkungan, literasi ekologi, serta pemanfaatan sumber daya alam. Dengan begitu, masa depan inklusif dan aman dapat terwujud.
Arifah juga menyinggung implikasi etis dari kemajuan teknologi. Dari bioteknologi, rekayasa pangan, hingga urbanisasi yang menggerus ruang hijau, semua itu menurutnya tidak bisa dianggap netral. “Pilihan desain, akses, dan dampak sosial dari teknologi menuntut pertanggungjawaban moral. Regulasi harus responsif gender, inklusif budaya, dan akuntabel secara ekologis,” jelasnya.
Dalam konteks pendidikan, Arifah mendorong literasi ekologi spiritual sejak usia dini. Anak-anak dan remaja, katanya, bukan hanya perlu diajarkan menghemat energi, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat terhadap makhluk lain.
Ia menyebut program magang, penelitian aksi komunitas, hingga keterlibatan organisasi keagamaan dalam isu lingkungan sebagai strategi untuk memperkuat kesadaran bahwa keberlanjutan adalah tanggung jawab bersama.
Sebagai alumni, Arifah melihat UIN Sunan Kalijaga memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan Islam Nusantara. Konsep rahmatan lil alamin dan kebijakan berbasis maslahat menurutnya bisa menjadi etika dasar dalam merumuskan kebijakan publik yang adil secara ekologis. “Tradisi adalah kompas spiritual, inovasi adalah motor kemajuan, dan ecotheology adalah bahasa yang menyatukan keduanya,” imbuhnya.
Di akhir paparannya, Arifah mengajak seluruh alumni untuk terus bersinergi dan memberikan kontribusi nyata bagi almamater. “Apa yang bisa kita lakukan untuk kampus tercinta, mari kita lakukan bersama,” ujarnya menutup orasi.(humassk)
.