Pusat Layanan Difabel (PLD) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berkolaborasi dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI menggelar Program Pengimbasan Training of Trainer (ToT) Pengajaran Al-Qur’an Isyarat 2025. Kegiatan yang berlangsung Rabu (26/11/2025) hingga Kamis (27/11/2025) di Ruang Rapat Gedung Rektorat Lama Lt 2 ini, diikuti puluhan guru Sekolah Luar Biasa (SLB) se-DIY serta mahasiswa tunarungu UIN Sunan Kalijaga.
Program pengimbasan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat ekosistem dakwah inklusif di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga, yang dikenal sebagai kampus inklusi dengan rekam jejak panjang dalam pengembangan pendidikan ramah difabel, memandang kegiatan ini sebagai bagian penting dari komitmen institusi untuk memperluas akses keilmuan dan keberagamaan bagi semua kalangan.
Perwakilan Divisi Pendidikan dan Dakwah Baznas RI, Izzatul Wafa, mengungkapkan bahwa pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari ToT Pengajar Al-Qur’an Isyarat tahun 2024. Tahun 2025, program diperkuat dengan skema pengimbasan khusus untuk guru SLB dan mahasiswa tunarungu agar penyebaran metode Al-Qur’an isyarat semakin meluas.
“Ini adalah bagian dari syiar dakwah inklusif. Program ini menjadi wujud nyata pemanfaatan zakat untuk meningkatkan kualitas kehidupan spiritual para mustahik,” ujar Wafa. Ia menegaskan bahwa semakin banyak masyarakat yang mengenal Al-Qur’an isyarat, maka semakin besar pula peluang difabel tunarungu dan tunawicara untuk semakin dekat dengan ajaran Al-Qur’an.
Sementara itu, Koordinator PLD UIN Sunan Kalijaga, Dr. Asep Jahidin, memaparkan bahwa kampus saat ini melayani mahasiswa difabel dari berbagai ragam, di antaranya sekitar 45 mahasiswa tuli, 30 mahasiswa netra, sejumlah mahasiswa daksa, difabel intelektual, dan difabel mental. Keberagaman ini, menurut Asep, merupakan amanah sekaligus pengingat bahwa inklusi bukan sekadar program, tetapi identitas dan prinsip dasar UIN Sunan Kalijaga.
“Kami sangat yakin bahwa kolaborasi ini memberi dampak signifikan bagi penguatan layanan inklusi. Pelatihan hari ini mengajarkan bagaimana bahasa isyarat dikonversi ke dalam bahasa Al-Qur’an, kompetensi penting bagi para guru SLB dan mahasiswa tunarungu,” tuturnya.
Asep menegaskan bahwa pendidikan bagi penyandang difabel harus berlandaskan paradigma kesetaraan. “Mereka adalah bagian integral dari komunitas akademik dan sosial kita. Mereka tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan penghormatan atas martabat diri dan kapasitasnya sebagai warga masyarakat,” ujarnya.
bahwa relasi antara pendidik, institusi, dan penyandang difabel, kata Asep, harus dibangun secara setara. “Kita saling memantulkan cahaya. Relasinya bukan hierarkis antara pihak yang menolong dan pihak yang ditolong, tetapi hubungan kolaboratif yang menguatkan. Inilah prinsip inklusi yang secara konsisten dikembangkan UIN Sunan Kalijaga,” pungkasnya.
Sementara itu, Aulia, guru SLB, salah satu peserta pelatihan, menyampaikan bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat baginya sebagai pengampu siswa tunarungu. Ia yang berlatar belakang pendidikan luar biasa dengan fokus tuna grahita, mengaku pelatihan ini memperkaya kemampuan untuk mendampingi siswa tunarungu secara lebih tepat.
“Apa yang saya dapatkan akan saya terapkan di sekolah. Harapannya siswa semakin paham, terutama dalam pengamalan agama sebagai seorang muslim, termasuk membaca Al-Qur’an isyarat,” ujarnya.
Setelah sesi pembukaan, kegiatan dilanjutkan dengan rangkaian Training of Trainer (ToT). Salah satu materi utama adalah Dasar-dasar Bahasa Isyarat dalam Pengajaran Al-Qur’an yang disampaikan oleh Beni Susongko, M.Pd., seorang penyandang tunarungu sekaligus alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah lama dikenal aktif dalam pemberdayaan komunitas difabel.
Beni merupakan figur yang gerak dan kiprahnya di masyarakat memberikan dampak besar di berbagai level. Ia dikenal sebagai penggagas komunitas “Ngaji Sunyi”, sebuah ruang belajar Al-Qur’an berbasis bahasa isyarat di Magelang yang kini diikuti lebih dari 40 penyandang tuli. Melalui komunitas tersebut, ia berupaya memastikan bahwa teman-teman tuli “tidak kehilangan Tuhan” hanya karena keterbatasan akses terhadap ilmu agama.
Salah satu alasan ia menggagas komunitas Ngaji Sunyi berawal dari pertanyaan seorang tunarungu yang ia dampingi: “Tuhan itu laki-laki atau perempuan?” Pertanyaan ini menunjukkan adanya kesenjangan akses pemahaman keagamaan bagi penyandang tuli. Ia jawab ketimpangan itu melalui gagasan yang memukau, sebuah komunitas Dimana Al Qur;an dapat dipahami dengan Bahasa insyarat.
Dalam kegiatan ToT kali ini, Beni mengajarkan langsung teknik-teknik dasar Al-Qur’an isyarat menggunakan bahasa isyarat penuh. Materi yang ia sampaikan diinterpretasikan secara simultan oleh relawan PLD, Akris Annisaul Febrianti, mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Kehadiran relawan interpreter ini memastikan seluruh peserta, baik guru SLB maupun mahasiswa dapat mengikuti materi dengan nyaman dan menyeluruh.
Beni berharap, materi yang ia sampaikan tidak hanya dipahami pada level teknis, tetapi juga menginspirasi guru SLB untuk menanamkan nilai kesetaraan dalam pembelajaran keagamaan. Menurutnya, akses terhadap Al-Qur’an merupakan hak setiap muslim, termasuk mereka yang berkomunikasi melalui bahasa isyarat.
Materi lainya yang dikemas dalam ToT ini mencakup berbagai aspek fundamental maupun praktis yang dibutuhkan para peserta untuk mampu mengajar Al-Qur’an Isyarat secara efektif. Peserta memperoleh pengenalan mengenai Program Pengimbasan serta konsep dakwah inklusif, dilanjutkan dengan pemaparan teknik pengajaran Al-Qur’an bagi penyandang disabilitas. Para peserta juga mengikuti sesi praktik bahasa isyarat untuk surat-surat pendek sebagai bekal awal dalam mengembangkan kemampuan pedagogis dan pemahaman mereka terhadap struktur isyarat Al-Qur’an.
Adapun pada hari kedua, kegiatan difokuskan pada penguatan keterampilan mengajar melalui sesi praktik mengajar, evaluasi praktik, dan pemberian umpan balik. Peserta kemudian diajak mendalami strategi dakwah serta pola pengimbasan materi di komunitas masing-masing agar dampak pelatihan dapat meluas secara berkelanjutan. Kegiatan ditutup dengan penyusunan rencana tindak lanjut (RTL) sebagai komitmen peserta untuk menerapkan hasil ToT dalam setting pendidikan maupun dakwah di lingkungan mereka.(humassk)