Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan kegiatan Kaji Ulang Manajemen LPH pada Jumat (5/12/2025) di Ruang Rapat Pusat Administrasi Umum (PAU) lantai 3. Kegiatan ini dihadiri Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan Prof. Dr. Mochamad Sodik; Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. Drs. H. Makhrus; para auditor yang sekaligus ketua panitia Dr. Isma Kurniatanty, S.Si., M.Si., Sudarlin, M.Si.; dan auditor lainnya serta jajaran pengurus LPH UIN Sunan Kalijaga.
Wakil Rektor II Prof. Mochamad Sodik, yang hadir membuka kegiatan secara resmi, dalam sambutannya, menekankan pentingnya membangun tata kelola halal yang bukan hanya administratif tetapi juga berkontribusi pada peradaban. Ia menilai, berbagai kebijakan halal dan aspek thayyiban kini semakin dituntut transparansi, sehingga sinergi antarbidang menjadi keniscayaan.
“Selama ini fokus Proses Produk Halal sering kali terlihat hanya pada tahap evaluasi. Padahal yang lebih mendesak adalah percepatan peningkatan kualitas dan proses pengendalian,” ujarnya. Menurutnya, manajemen halal harus dikelola lebih terukur, sistemik, dan mampu menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Hadir sebagai narasumber Kepala SPPG Depok 5, Muhammad Yuga Purnama, S.H., M.A., menyoroti perlunya pembenahan informasi publik terkait layanan halal. Menurutnya, informasi di website dan kanal resmi lainnya harus diperjelas agar pelaku usaha memahami alur sertifikasi halal secara utuh.
“Pelaku usaha membutuhkan jaminan kenyamanan, termasuk kerahasiaan data, objektivitas, integritas, dan ketidakberpihakan auditor. Auditor harus komunikatif, edukatif, dan solutif. Jika pelaku usaha merasa nyaman, mereka akan merekomendasikan layanan ini kepada yang lain,” jelas Yuga.
Ia juga mengingatkan pentingnya respons cepat terhadap pertanyaan pelaku usaha, kebijakan yang aplikatif, dokumentasi yang rapi, serta sistem ulasan (feedback) yang dapat meningkatkan antusiasme pelaku usaha dalam mendaftarkan sertifikasi halal.
Narasumber lainnya Adalah penggiat UMKM Heni Wahyuni, S.T., memaparkan peran vital penyelia halal dalam menjamin kepatuhan terhadap standar halal di tingkat produksi. Tugas penyelia mencakup pengawasan proses produksi, pengecekan bahan baku, verifikasi dokumen halal, hingga koordinasi dengan lembaga sertifikasi.
Namun di balik itu, kata Heni, penyelia halal dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti minimnya pemahaman pelaku usaha tentang regulasi, dinamika perubahan bahan baku, serta tuntutan dokumentasi yang presisi. “Penyelia halal membutuhkan kapasitas profesional, ketelitian tinggi, dan kemampuan komunikasi yang baik agar dapat menjembatani kebutuhan pelaku usaha dengan aturan sertifikasi,” ujarnya.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. Makhrus menekankan bahwa konsep kehalalan merupakan dimensi fundamental dalam studi hukum Islam kontemporer, khususnya ketika berkaitan dengan perlindungan konsumen, kepastian hukum, dan etika produksi. Kehalalan tidak hanya dipahami sebagai status fikih atas suatu objek, tetapi juga sebagai kerangka normatif yang mengatur proses, layanan, serta interaksi manusia dengan produk dan jasa. Karena itu, salah satunya fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi rujukan epistemik yang penting dalam menetapkan parameter kehalalan, baik untuk produk pangan, barang gunaan, maupun jasa.
Ia kemudian menguraikan sejumlah ketentuan sebagai ilustrasi penerapan prinsip tersebut. Etanol nonkhamr, misalnya, dapat dibolehkan penggunaannya sepanjang tidak menimbulkan bahaya, tidak disalahgunakan untuk tujuan memabukkan, dan digunakan dalam batasan dosis yang aman. Sebaliknya, etanol yang bersumber dari industri khamr atau yang dimanfaatkan untuk efek memabukkan memiliki status hukum haram.
Dalam kategori produk hewani, status halal sangat bergantung pada proses penyembelihan yang sesuai dengan ketentuan syariat, kulit bangkai kecuali dari anjing dan babi dapat menjadi suci setelah melalui proses penyamakan yang benar. Sementara itu, bagian tubuh seperti bulu, rambut, dan tanduk dari hewan halal tetap dapat dimanfaatkan selama tidak berasal dari hewan yang secara syariat diklasifikasikan sebagai najis berat.
Ia juga menyoroti ketentuan terkait makanan beralkohol, dasar-dasar fikih yang melandasinya, serta aspek kehalalan jasa, termasuk pijat refleksi. “Dalam jasa pijat, aspek yang harus diperhatikan tidak hanya bahan minyak pijat yang digunakan, tetapi juga kesesuaian jenis kelamin antara terapis dan penerima layanan, agar tidak melanggar prinsip syariah,” terangnya.
Melalui kegiatan Kaji Ulang Manajemen ini, LPH UIN Sunan Kalijaga berupaya memperkuat kualitas manajemen dan layanan halal, sekaligus merespons kebutuhan pelaku usaha yang semakin kompleks. Penguatan kapasitas auditor, penyelia halal, dan penyederhanaan komunikasi publik menjadi fokus penting dalam memperkuat ekosistem sertifikasi halal di Indonesia.
Kegiatan ini menegaskan komitmen UIN Sunan Kalijaga untuk terus berperan aktif dalam pembangunan tata kelola halal nasional yang profesional, kredibel, dan berdampak bagi masyarakat luas.(humassk)