Tadarus Difabel Minggu 43
Muh. Fauzan Hazami (Tadarus ini saya tulis dari hasil wawancara dan telah dibaca dan disetujui oleh Hazami, demikian ia biasa dipanggil) tidak pernah menyangka bahwa sebuah kejutan kecil di hari pertama kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) akan mengubah cara ia memaknai hidupnya. di barisan kelompoknya saat itu, Hazami melihat seorang mahasiswa baru Difabel Netra...“Saya benar-benar kaget karena di tempat saya tinggal, saya benar-benar belum pernah berinteraksi langsung dengan mereka,” ungkapnya. Apalagi selama SMA ia tinggal di asrama yang terbatas dan cenderung homogen.
Saat pertama kali diterima kuliah di UIN Sunan Kalijaga tahun 2022, Hazami sangat bersyukur.“Saya merasa terharu sekaligus senang, bisa diterima di jurusan PAI UIN Suka yang setahu saya menjadi prodi yang banyak diminati orang-orang,” kenang Hazami
Hazami adalah mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) UIN Sunan Kalijaga. Ia berasal dari Pemalang, dan menempuh pendidikan menengahnya di SMA CT Arsa Foundation Sukoharjo karena mendapat beasiswa. “Di SMA saya tinggal di asrama,” jelasnya.
Keputusan Hazami memilih UIN Sunan Kalijaga sebagaimana Hazami ceritakan kepada saya, sangat dipengaruhi oleh guru PAI-nya di SMA, yaitu Pak Zaid (Alumni UIN Sahid Jakarta). “Saya memilih UIN Suka karena mendapat rekomendasi dari guru PAI SMA saya, karena kata beliau UIN Suka merupakan salah satu PTKIN terbaik di Indonesia. Jurusan yang saya pilih juga mendapat akreditasi yang unggul di UIN Sunan Kalijaga, yaitu Pendidikan Agama Islam.” demikian jelas Hazami
Kita kembali ke cerita pagi hari itu …masih dalam acara PBAK, seseorang dengan rompi warna biru dengan tulisan “Sahabat Inklusi” menghampiri seorang mahasiswa baru, difabel netra, ia langsung mengajak berinteraksi dan selanjutnya mendampingi difabel netra itu untuk bergerak menuju Gedung Multi Purpose (MP) UIN Suka, lokasi di mana PBAK berlangsung. “Pada saat itu saya kira itu bukan mahasiswa,” kata Hazami, “karena menggunakan perlengkapan yang berbeda", terangnya. Karena penasaran, Hazami mulai bertanya-tanya... Lalu saya tanya Hazami, siapa orang tersebut Ternyata relawan itu adalah Mahatir, kaka angkatan Hazami, mahasiswa 2021, seorang relawan Pusat Layanan Difabel (PLD). (Mahatir ini baru saja lulus jadi sarjana pada semester ini)
Hazami pun memberanikan diri menyapa, “Masnya dari mana ya?” Mahatir menjawab, menjelaskan bahwa ia juga mahasiswa UIN yang menjadi relawan PLD. Hazami langsung tertarik. Ia pun bertanya, bagaimana cara bergabung? Mahatir menjawab: “ Nanti dilihat aja ya waktu di MP saat sosialisasi PLD, nanti ada waktunya”...
Hazami menanti kesempatan itu... Ketika akhirnya sosialisasi PLD berlangsung di MP, ia makin yakin. “Di sana dijelaskan bahwa kita bisa mendampingi lintas prodi bersama teman-teman difabel tuli yang berbeda jurusan dengan kita. Lalu saya juga tertarik ketika aktif (menjadi relawan) mengikuti kegiatan di PLD itu bisa dijadikan sebagai konversi nilai KKN”, ungkap Hazami
Namun daya tarik utama bukanlah konversi nilai. Hazami tersentuh jauh lebih dalam (lebih paradigmatik)... “Ketika pertama kali melihat ada temen netra yang bisa berkuliah di perguruan tinggi, ternyata merubah persepsi saya yang dulunya mengira bahwa mereka tidak mampu sampai ke situ.” Saya bertanya kepada Hazami menelusuri lebih jauh, ternyata teman difabel netra itu adalah Muhammad Nabil Salim, yang ternyata sekelas dengannya. “Setelah berinteraksi dan berkomunikasi dengan dia, saya tersadar dengan perbedaan yang mereka miliki ternyata tidak menghalangi mimpi mereka,” tegas Hazami. (saat tadarus ini ditulis, Nabil Salim sedang mengikuti program KKN inklusi bersama ribuan mahasiswa lainnya. Seperti Hazami, Nabil sekarang memasuki kuliah semester 7)
Saat ia datang bertanya-tanya lebih lanjut di stand PLD, di situ Hazami bertemu para relawan lainnya. “Mereka sangat ramah dan rasa kekeluargaannya begitu terlihat. Akhirnya saya mulai tertarik untuk bergabung menjadi relawan PLD agar bisa belajar lebih banyak lagi tentang dunia difabel,” kenang Hazami
Bagi Hazami, pengalaman paling membahagiakan selama menjadi relawan PLD adalah bertemu dengan orang-orang hebat... “Baik dari relawan-relawan PLD yang terdiri dari mahasiswa UIN berbagai prodi dan teman-teman difabel yang sangat inspiratif. Mengikuti divisi dan kegiatan-kegiatan yang ada di PLD juga menjadi pengalaman yang berkesan bagi saya, karena itu saya bisa lebih banyak belajar untuk menjadi orang yang lebih baik ke depannya,” terang Hazami
Namun tak semuanya mudah... Hazami mengakui, “Pengalaman paling sulit adalah ketika memanajemen waktu dalam berkegiatan di Pusat Layanan Difabel yang bersifat dadakan, karena di situ perlu mempertimbangkan prioritas kegiatan saya yang harus diatur lagi. Walaupun awal-awal terasa sulit, namun lama-lama sudah bisa lebih terbiasa”, paparnya
Menutup kisah perjalanannya, Hazami menyampaikan pesan dan harapan untuk teman-teman difabel: "semoga tetap semangat dan terus mengejar mimpi-mimpi kalian, karena keterbatasan itu bukan penghalang untuk menjadi hebat". ...Pesan dia Untuk relawan PLD,"Tetaplah menjadi orang-orang hebat yang bisa menjadi pelita untuk sekitar". Untuk PLD, ia berharap "Semoga selalu menjadi rumah untuk siapa pun yang ingin belajar dan mengabdi". Untuk UIN, Hazami berdo'a, "Semoga selalu menjadi kampus yang menjunjung tinggi nilai-nilai inklusivitas dan keberagaman.” Saya berdoa untuk Hazami..Semoga sukses dan barokah dalam membangun cita-cita kehidupannya. Amin
Menjadi relawan bukan sekadar memberi bantuan, tetapi menjadi bagian dari perubahan budaya kampus yang lebih inklusif dan berkeadilan. Jika anda tertarik dengan perjalanan Hazami dan para relawan PLD bergabunglah dalam perjuangan kami di sini, di UIN Sunan Kalijaga : "Empowering Knowledge Shaping The Future"