Tadarus Difabel Minggu 53 (Saya telah menyampaikan terima kasih kepada Wawan, Presti dan Aris atas persetujuan, kontribusi serta konfirmasi data akurat, khususnya yang telah Wawan berikan untuk saya tulis di tadarus ke-53 ini)
Wawan, Presti dan Aris pada SATU PAGI YANG PENUH CAHAYA
Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, kantor Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga terasa beda. Udara segar bercampur dengan aroma nostalgia dan kenangan lama. Sejak pagi, mahasiswa difabel se-UIN Suka sudah berdatangan… Beberapa dari mereka berjalan dengan tongkat putih, sebagian lagi datang beriringan sambil bercanda dalam bahasa isyarat, tertawa, dan saling memanggil dengan nama panggilan khas mereka dalam beragam cara yang bisa dipahami… Seperti kata seorang pemikir raksasa, Gadamer: “ada yang bisa dipahami, adalah Bahasa”
Yang lebih membahagiakan saya pagi itu, PLD kedatangan tamu istimewa: Wawan Handoko dan Presti Murni Setiati. Dua nama yang bagi PLD bukan sekadar alumni, tapi bagian dari sejarah. Mereka adalah mahasiswa difabel angkatan pertama Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) digagas tahun 2005 kemudian diresmikan oleh Rektor pada 2 Mei 2007, nama lama dari PLD sebelum berubah seperti sekarang.
Wawan masuk kuliah tahun 2004, sementara Presti masuk tahun 2006. Wawan di Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) sementara Presti di Prodi Kependidikan Islam (KI) Sekarang namanya menjadi Manajemen Pendidikan Islam (MPI).
Kini, keduanya telah menjadi guru PNS yang mengajar di tempat tugas masing-masing. Jodoh tidak ada yang tahu, setelah lulus kuliah, mereka menikah dan saat ini dikaruniai anak-anak yang sehat wal afiat, buah cinta dari dua insan yang dulu sama-sama berjuang melewati masa-masa sulit maupun momen bahagia sebagai mahasiswa difabel di kampus ini.
Saat ini Presti mulai melanjutkan kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga di Prodi MPI. Sebagai PNS, Wawan bertugas di di SLB Negeri Wonogiri sementra Presti bertugas di MTSN 1 Kabupaten Magelang
Ketika Wawan dan Presti tiba, suasana langsung hangat. Mahasiswa yang lebih muda tampak antusias. Saya lebih antusias mengenalkan Wawan yang lulus kuliah tahun 2009 itu kepada puluhan mahasiswa difabel se-UIN di pagi itu, termasuk mahasiswa baru difabel Angkatan 2025 yang didampingi para relawan PLD. Sebagian baru pertama kali mendengar cerita tentang bagaimana dulu PLD mulai berjalan, tentang perjuangan mahasiswa difabel generasi awal yang menempuh jalan sunyi...
Wawan bercerita dengan suara berat, hampir menangis tapi tegas tentang masa-masa awal yang penuh tantangan: “Dulu, ruangan PLD belum seperti sekarang. Alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih baik. Tapi yang paling penting bukan akses fisiknya, tapi keyakinan bahwa kita bisa belajar dan berjuang sejajar dengan siapa pun”, ungkap Wawan membuka cerita dengan nada ringan, tapi sarat makna.
Dulu Wawan dan teman-temannya sering merasa terpinggirkan, tapi selalu ada teman yang menolong. Dari situ mereka tahu, PLD ini bukan sekadar tempat, tapi keluarga... Para mahasiswa baru menyimak dengan mata berbinar, sebagian menunduk, sebagian tersenyum bangga. Mereka mendengarkan, seolah sedang menelusuri jejak masa lalu yang dibentangkan di halaman pikiran mereka melalui kisah yang diceritakan oleh Wawan, saya pun ikut mengenang kembali masa-masa itu.
Setelah Wawan selesai bercerita, selanjutnya Presti memberikan wawasan dari sisi lain yang lebih progresif kepada para mahasiswa difabel itu…
Di tengah suasana hangat itu, muncul sosok lain yang tak kalah istimewa, saya menyambutnya di halaman depan PLD dengan hangat, Aris. Dulu di tahun 2006an, saat menjadi mahasiswa, Aris adalah sekretaris relawan PLD, di masa ketika Amir (almarhum) yang penuh semangat menjabat sebagai ketuanya, saya waktu itu sering main ke kosan mereka, sekaligus mendampingi mereka berperan sebagai relawan dosen muda di UIN, di situlah kenangan saya semakin mendalam dengan Wawan dan Aris, saat itu saya membantu para pendiri PLD. Kehadiran Aris membawa aroma masa lalu yang lain.
Aris adalah teman satu kelas Wawan di prodi PAI. Wawan bercerita tentang... “zaman Bu Andayani, menjadi direktur PSLD, sosok yang mengangkat mereka jadi pejabat relawan PSLD saat itu,” ujarnya sambil tertawa. Saya ikut tertawa, ada nuansa masa lalu dan juga kenangan yang dalam. saat kami bicara berdua di ruangan saya, saya bahkan sempat meminta Wawan untuk menyanyikan satu lagu ciptaanya sendiri yang 20 tahun yang lalu sering ia nyanyikan di kosannya, Wawan masih ingat dan dia pun menyanyikannya dalam petikan gitar milik PLD, suaranya masih seperti dulu…
Setelah sesi berbagi cerita, kegiatan berlanjut dengan Focus Group Discussion (FGD) antara seluruh mahasiswa difabel. Mereka duduk melingkar dalam kelompok masing-masing, membicarakan pengalaman kuliah, tantangan, dan harapan untuk PLD ke depan. Ada yang mengusulkan lebih banyak pelatihan keterampilan, ada yang berbicara tentang dukungan teknologi, dan ada pula yang menekankan pentingnya solidaritas antar difabel lintas angkatan. FGD itu menjadi cermin yang indah. Setiap suara didengarkan, mungkin berbeda, tapi para mahasiswa difabel itu semuanya berbicara dalam satu nada... adalah rasa cinta pada kampus inklusi... Semua yang mereka ungkapkan tercatat dan kami analisis serta kami hayati dengan seksama di PLD.
Menjelang siang, suasana berubah jadi lebih cair. Tawa kembali mengisi ruangan, diselingi foto-foto bersama dan cerita-cerita kecil tentang kehidupan setelah kampus. Wawan dan Presti tampak bahagia dikelilingi “adik-adik” yang kini meneruskan jejak mereka…
Wawan, Presti dan Aris, setelah pertemuan itu selanjutnya mereka pamit melanjutkan kesibukannya masing masing. Aris saat ini menjabat sebagai kepala di sebuah sekolah di SMK Maarif Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang
Hari itu, PLD penuh dengan cahaya, cahaya yang mempersatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dari Wawan, Presti, Aris, hingga generasi baru relawan dan mahasiswa difabel, semuanya menjadi satu kisah besar tentang keberanian mendengarkan orang lain, cinta pada kemanusiaan, sentuhan qolbu dan keberlanjutan. PLD bukan hanya tempat belajar, tapi tempat mahasiswa belajar menjadi manusia yang saling melihat, saling memahami, dan saling menuntun dalam cahaya terang… Jika anda terpanggil, bergabunglah dalam perjalanan kami di UIN Sunan Kalijaga: “Empowering Knowledge Shaping The Future.”