download - 2025-10-21T100947.512.jpg

Selasa, 21 Oktober 2025 10:45:00 WIB

0

Membaca Angka Kepuasan: Ketika Pelayanan Agama Bersemi Menjadi Visi Peradaban


Beberapa hari lalu, hasil survei Poltracking menyentak kesadaran publik: Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, menempati posisi puncak kepuasan publik dengan angka 65,7%. Angka ini lebih dari sekadar statistik; ia adalah resonansi yang datang dari hati nurani masyarakat, sebuah sinyal bahwa isu yang paling sensitif—urusan iman dan kerukunan—sedang dikelola dengan sentuhan yang tepat.

Bagi saya, kabar ini bukan sekadar tepuk tangan sesaat di panggung politik. Ini adalah bukti bahwa ketika sebuah institusi negara—yang secara historis sering dianggap sebagai "menara gading" birokrasi—berani bertransformasi menjadi pelayan yang humanis, hasilnya akan terasa hingga ke lapisan sosial terbawah. Kita menyaksikan bagaimana Kemenag, melalui kepemimpinan yang konsisten, berhasil mengubah narasi dari sekadar regulator ritual menjadi arsitek kerukunan dan penjaga peradaban.

Dari Kerukunan Lokal Menuju Panggilan Baghdad Baru

Di balik persentase kepuasan yang tinggi (86,7% untuk menjaga kerukunan dan 80,2% untuk menjaga keberagaman), tersembunyi sebuah filosofi kerja yang dalam. Prof. Noorhaidi Hasan dari UIN Sunan Kalijaga benar, capaian ini lahir dari "kerja nyata." Kerja nyata itu bukan hanya soal pencairan dana haji yang lancar atau penyediaan pendidikan terjangkau, melainkan keberanian untuk menyentuh inti dari spiritualitas kita: bagaimana agama berinteraksi dengan dunia.

Inilah momen 'Aha!' yang harus kita tangkap: Kepercayaan publik melonjak karena Kemenag berhasil membuktikan bahwa kebinekaan bukanlah beban, melainkan modal sosial terkuat bangsa. Mereka tidak hanya "memelihara" toleransi, tetapi "menegakkan" prinsip bahwa harmoni adalah prasyarat utama pembangunan.

Dan perenungan ini dibawa ke panggung yang lebih luas. Ketika Menag Nasaruddin Umar menyerukan agar Asia Tenggara menjadi "Baghdad Baru"—episentrum peradaban Islam global—itu adalah sebuah proklamasi visi yang ambisius sekaligus reflektif. Baghdad kuno bersinar karena ilmu, keterbukaan, dan Baitul Hikmah. Asia Tenggara hari ini memiliki stabilitas politik, keragaman sosial, dan tradisi keilmuan Islam yang inklusif. Visi ini mengajak kita semua—terutama para akademisi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)—untuk melihat keislaman kita bukan hanya sebagai identity marker, tetapi sebagai engine of civilization.

Melampaui Birokrasi: Kisah Masjid dan Ekoteologi

Mengubah visi besar menjadi kerja operasional yang dicintai publik adalah tantangan birokrasi terbesar. Namun, Kemenag menjawabnya dengan cerdas. Penghargaan "Badan Publik Terfavorit" dari Komisi Informasi Pusat menunjukkan bahwa keterbukaan informasi dan transparansi (skor kinerja 3,26 dari IndoStrategi) bukan lagi sekadar formalitas, melainkan alat untuk membangun jembatan kepercayaan.

Lihatlah inovasinya: Ekoteologi dan Kurikulum Berbasis Cinta. Ini adalah langkah maju yang radikal. Ekoteologi mengajarkan kita bahwa menjaga lingkungan adalah bagian integral dari ibadah; itu adalah manifestasi dari harmoni manusia dengan alam. Kurikulum Berbasis Cinta menggeser fokus pendidikan agama dari sekadar dogma menjadi etika, empati, dan tanggung jawab sosial sejak dini.

Ini adalah perpaduan yang memantik semangat: Spiritualitas bertemu dengan Sains dan Humanisme. Masjid Istiqlal yang meraih sertifikat Green Building, dan program MADADA (Masjid Berdaya Berdampak) yang memberdayakan UMKM, adalah manifestasi nyata bahwa agama harus menjadi sumber kemaslahatan ekonomi dan sosial.

Sebuah Pengingat dan Tantangan

Tentu, kepuasan publik 65,7% tidak berarti 100%. Masih ada pekerjaan rumah yang menanti. Namun, tingginya angka ini adalah dorongan berharga. Ini adalah pengingat bahwa publik menghargai kejujuran, integritas, dan kerja nyata yang berfokus pada pelayanan umat yang modern dan humanis.

Kepada seluruh jajaran Kemenag, dan terutama kepada kita semua sebagai warga negara: Capaian ini bukan garis akhir, melainkan starting block. Visi Baghdad Baru tidak akan terwujud hanya karena pidato yang indah, melainkan melalui ribuan langkah nyata yang diambil oleh setiap insan di bawah naungan Kemenag—mulai dari Rektor yang menegakkan akuntabilitas di kampus, hingga ASN di daerah yang melayani dengan tulus.

Maka, mari kita jaga semangat ini! Jadikan kepuasan publik sebagai bahan bakar, bukan sebagai bantal untuk bersantai. Teruslah berkolaborasi, teruslah berinovasi, dan teruslah berani bermimpi tentang sebuah peradaban di mana Islam Asia Tenggara bersinar sebagai lentera harmoni, ilmu, dan kemaslahatan global.

Karena pada akhirnya, melayani agama berarti melayani kemanusiaan, dan itulah ibadah tertinggi di mata publik. (humassk)