Beberapa hari lalu, hasil survei
Poltracking menyentak kesadaran publik: Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar,
menempati posisi puncak kepuasan publik dengan angka 65,7%. Angka ini lebih
dari sekadar statistik; ia adalah resonansi yang datang dari hati nurani
masyarakat, sebuah sinyal bahwa isu yang paling sensitif—urusan iman dan
kerukunan—sedang dikelola dengan sentuhan yang tepat.
Bagi saya, kabar ini bukan sekadar
tepuk tangan sesaat di panggung politik. Ini adalah bukti bahwa ketika sebuah
institusi negara—yang secara historis sering dianggap sebagai "menara
gading" birokrasi—berani bertransformasi menjadi pelayan yang humanis,
hasilnya akan terasa hingga ke lapisan sosial terbawah. Kita menyaksikan
bagaimana Kemenag, melalui kepemimpinan yang konsisten, berhasil mengubah
narasi dari sekadar regulator ritual menjadi arsitek kerukunan dan penjaga
peradaban.
Dari
Kerukunan Lokal Menuju Panggilan Baghdad Baru
Di balik persentase kepuasan yang
tinggi (86,7% untuk menjaga kerukunan dan 80,2% untuk menjaga keberagaman),
tersembunyi sebuah filosofi kerja yang dalam. Prof. Noorhaidi Hasan dari UIN
Sunan Kalijaga benar, capaian ini lahir dari "kerja nyata." Kerja nyata
itu bukan hanya soal pencairan dana haji yang lancar atau penyediaan pendidikan
terjangkau, melainkan keberanian untuk menyentuh inti dari spiritualitas kita: bagaimana
agama berinteraksi dengan dunia.
Inilah momen 'Aha!' yang harus kita
tangkap: Kepercayaan publik melonjak karena Kemenag berhasil membuktikan bahwa kebinekaan
bukanlah beban, melainkan modal sosial terkuat bangsa. Mereka tidak hanya
"memelihara" toleransi, tetapi "menegakkan" prinsip bahwa
harmoni adalah prasyarat utama pembangunan.
Dan perenungan ini dibawa ke
panggung yang lebih luas. Ketika Menag Nasaruddin Umar menyerukan agar Asia
Tenggara menjadi "Baghdad Baru"—episentrum peradaban Islam
global—itu adalah sebuah proklamasi visi yang ambisius sekaligus reflektif.
Baghdad kuno bersinar karena ilmu, keterbukaan, dan Baitul Hikmah. Asia
Tenggara hari ini memiliki stabilitas politik, keragaman sosial, dan tradisi
keilmuan Islam yang inklusif. Visi ini mengajak kita semua—terutama para
akademisi di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)—untuk melihat
keislaman kita bukan hanya sebagai identity marker, tetapi sebagai engine
of civilization.
Melampaui
Birokrasi: Kisah Masjid dan Ekoteologi
Mengubah visi besar menjadi kerja
operasional yang dicintai publik adalah tantangan birokrasi terbesar. Namun,
Kemenag menjawabnya dengan cerdas. Penghargaan "Badan Publik
Terfavorit" dari Komisi Informasi Pusat menunjukkan bahwa keterbukaan
informasi dan transparansi (skor kinerja 3,26 dari IndoStrategi) bukan lagi
sekadar formalitas, melainkan alat untuk membangun jembatan kepercayaan.
Lihatlah inovasinya: Ekoteologi dan
Kurikulum Berbasis Cinta. Ini adalah langkah maju yang radikal. Ekoteologi
mengajarkan kita bahwa menjaga lingkungan adalah bagian integral dari ibadah;
itu adalah manifestasi dari harmoni manusia dengan alam. Kurikulum Berbasis
Cinta menggeser fokus pendidikan agama dari sekadar dogma menjadi etika,
empati, dan tanggung jawab sosial sejak dini.
Ini adalah perpaduan yang memantik
semangat: Spiritualitas bertemu dengan Sains dan Humanisme. Masjid
Istiqlal yang meraih sertifikat Green Building, dan program MADADA
(Masjid Berdaya Berdampak) yang memberdayakan UMKM, adalah manifestasi nyata
bahwa agama harus menjadi sumber kemaslahatan ekonomi dan sosial.
Sebuah
Pengingat dan Tantangan
Tentu, kepuasan publik 65,7% tidak
berarti 100%. Masih ada pekerjaan rumah yang menanti. Namun, tingginya angka
ini adalah dorongan berharga. Ini adalah pengingat bahwa publik menghargai
kejujuran, integritas, dan kerja nyata yang berfokus pada pelayanan umat yang
modern dan humanis.
Kepada seluruh jajaran Kemenag, dan
terutama kepada kita semua sebagai warga negara: Capaian ini bukan garis akhir,
melainkan starting block. Visi Baghdad Baru tidak akan terwujud hanya
karena pidato yang indah, melainkan melalui ribuan langkah nyata yang diambil
oleh setiap insan di bawah naungan Kemenag—mulai dari Rektor yang menegakkan
akuntabilitas di kampus, hingga ASN di daerah yang melayani dengan tulus.
Maka, mari kita jaga semangat ini! Jadikan kepuasan publik sebagai bahan bakar, bukan sebagai
bantal untuk bersantai. Teruslah berkolaborasi, teruslah berinovasi, dan
teruslah berani bermimpi tentang sebuah peradaban di mana Islam Asia Tenggara
bersinar sebagai lentera harmoni, ilmu, dan kemaslahatan global.
Karena pada akhirnya, melayani agama
berarti melayani kemanusiaan, dan itulah ibadah tertinggi di mata publik.
(humassk)