Pengantar
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis krisis spiritual dan moral di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), serta menawarkan Ma’had al-Jami‘ah sebagai instrumen strategis dalam membangun kembali integrasi antara keilmuan dan spiritualitas.
Aritel ini ditulis sebagai reflesksi kikutsertaan penulis pada Munas Mudir Ma’had Al Jami’ah PTKIN Se-Indonesia ke XII tanggal 25-27 Nopember 2025 di UIN Mataram
Pendahuluan
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) didirikan dengan misi strategis: menjadi jembatan antara tradisi keilmuan Islam dan tuntutan modernitas. Namun, idealisme ini kerap menemukan hambatan dalam implementasi praksisnya. Nilai-nilai Islam yang seharusnya membentuk jiwa dan struktur keilmuan kampus, sering kali tereduksi menjadi identitas simbolik semata, tampak dalam seremoni keagamaan, tetapi tidak menembus dimensi epistemologis maupun budaya akademik harian.
Kondisi ini memunculkan paradoks serius: kampus Islam unggul dalam pencapaian akademik, namun lemah dalam manifestasi nilai moral dan spiritual. Oleh karena itu, diperlukan instrumen revitalisasi yang mampu menginternalisasikan nilai Islam secara menyeluruh, salah satunya melalui penguatan peran Ma’had al-Jami‘ah sebagai pusat pembinaan karakter dan spiritualitas mahasiswa
Visi Spiritualitas dalam Perspektif Nazaruddin Umar
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama RI Dr. Nazaruddin Umar menegaskan bahwa spiritualitas tidak boleh dibatasi sebagai ritual personal, tetapi harus menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kampus Islam, menurutnya, tidak cukup berperan sebagai pencetak sarjana, tetapi harus tampil sebagai pusat pembentukan moral bangsa. Krisis integritas yang terjadi di berbagai institusi pendidikan muncul karena agama hanya hadir sebagai simbol, bukan sebagai napas kehidupan ilmiah dan sosial.
Perspektif ini menguatkan urgensi rekontekstualisasi Ma’had al-Jami‘ah, bukan sekadar sebagai asrama mahasiswa, melainkan sebagai jantung pembinaan ruhani yang menyatu dengan pelaksanaan pendidikan tinggi di PTKIN
Paradoks Internal di Lingkungan PTKIN
Meskipun berlabel “Islam”, PTKIN masih menyimpan beberapa kontradiksi mendasar, di antaranya:
Dikotomi antara ilmu dan iman: Prestasi akademik meningkat, tetapi kualitas moral tidak selalu berbanding lurus.
Simbolisme keislaman yang superfisial: Islam hadir dalam bentuk ritual dan slogan, bukan dalam etos keilmuan.
Lemahnya integrasi nilai dalam disiplin ilmu umum: Ilmu agama terpisah dari sains, sosial, dan humaniora.
Krisis Moral dalam Dunia Akademik
Dunia akademik tidak steril dari krisis moral. Fenomena seperti plagiarisme, manipulasi data, pelanggaran etika penelitian, hingga hedonisme intelektual menunjukkan degradasi nilai yang serius. Realitas ini bisa mengancam kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi, termasuk PTKIN.
UIN dan PTKIN kainnya seharusnya berdiri di garda terdepan dalam revolusi moral melalui pembentukan insan berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab.
Islam sebagai Etika dan Epistemologi
Salah satu kelemahan mendasar di PTKIN adalah reduksi Islam menjadi sekadar sistem etika, bukan sebagai paradigma epistemologi. Akibatnya, ajaran Islam sering hanya ditempatkan dalam mata kuliah keagamaan, bukan sebagai landasan berpikir dalam sains, teknologi, sosial, dan budaya.
Ma’had al-Jami‘ah diharapkan menjadi ruang yang menumbuhkan kerangka spiritual-epistemologis, yakni menjadikan Islam sebagai “living paradigm” dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan
Kelemahan Akreditasi dalam Menilai Moralitas
Instrumen akreditasi yang berlaku saat ini cenderung bersifat administratif dan kuantitatif. Aspek moral, kepribadian, dan integritas civitas akademika hampir tidak tersentuh secara sistemik.
Budaya Akademik dan Krisis Adab
Krisis adab dalam relasi akademik semakin terlihat: lunturnya penghormatan kepada guru, relasi transaksional antara dosen dan mahasiswa, serta menipisnya semangat ukhuwah islmiyah. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan karakter lebih mendesak daripada sekadar reformasi kurikulum.
PTKIN sebagai Laboratorium Nilai Islam
PTKIN idealnya bukan hanya ruang transmisi ilmu, tetapi juga laboratorium penerapan nilai Islam. Hal ini dapat diwujudkan melalui:
Praktik ekonomi syariah dalam koperasi dan usaha kampus
Pembudayaan hidup sederhana dan kolektif di Ma’had
Pembiasaan ibadah berjamaah dan halaqah ilmiah
Menuju PTKIN dengan High Spirituality dan High Integrity
Cerita ideal PTKIN masa depan adalah kampus yang tidak terjebak pada dikotomi antara sains dan spiritualitas. Revitalisasi Ma’had berarti membangun pusat Spiritual-Academic Excellence yang mampu menjadi model nasional bahkan global untuk pendidikan Islam progresif
Penutup
Upaya membangun kembali spiritualitas PTKIN tidak cukup dilakukan melalui wacana, tetapi memerlukan kebijakan sistemik dan keseriusan kelembagaan. Ma’had al-Jami‘ah harus diposisikan sebagai pusat transformasi karakter, bukan sekadar pelengkap institusional. Integrasi nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan kampus menjadi keharusan untuk mewujudkan insan akademik paripurna, yang unggul secara intelektual dan luhur secara moral.
Prof. Dr. Tulus Musthofa, Lc., M.A
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta