UIN SUKA

Rabu, 09 Juli 2025 11:21:00 WIB

0

Kabel Fiber Optik dan Estetika Tata Ruang DIY Oleh: Dr. Nurainun Mangunsong (Kaprodi Ilmu Hukum FSH UIN Yogyakarta dan Peneliti ISLaMS)

Tata ruang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tak hanya dimaknai sebagai perencanaan teknokratis atas ruang wilayah, tetapi juga sebagai perwujudan filosofi budaya. Prinsip “Memayu Hayuning Bawana” atau memperindah semesta menjadi landasan kultural yang khas dalam pembangunan ruang, sebagaimana senantiasa digaungkan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Filosofi ini menempatkan keseimbangan antara fungsi, keindahan, dan keberadaban sebagai prinsip utama dalam pengelolaan ruang hidup.

Namun, dalam praktiknya, kita menyaksikan kondisi yang ironis. Jaringan kabel fiber optik (FO)—salah satu infrastruktur vital di era digital—seringkali terpasang semrawut, berjejal di tiang-tiang, melintang tanpa estetika, bahkan membahayakan keselamatan warga. Alih-alih memperindah tatanan ruang, keberadaannya justru mengganggu keindahan visual kota dan ketertiban publik. Ini menjadi paradoks antara kebutuhan modernisasi teknologi dan komitmen menjaga harmoni ruang hidup DIY.

Problematika Hukum

Pemasangan kabel FO merupakan bagian dari sektor telekomunikasi yang masuk kategori perizinan berusaha berbasis risiko menengah-tinggi. Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko jo. PP No. 28 Tahun 2025 (turunan dari UU Cipta Kerja), penyelenggaraan jaringan telekomunikasi wajib memiliki izin operasional dari Pemerintah Pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Permasalahannya, regulasi tersebut belum berjalan seimbang dengan aspek pengawasan dan keterlibatan daerah (Nurainun M, 2025). Ketika izin usaha diberikan sepenuhnya oleh pusat, daerah sering kali tidak dilibatkan secara efektif dalam pengawasan teknis maupun penataan spasial kabel FO yang melintasi jalan, trotoar, dan ruang publik di wilayahnya. Padahal, pembangunan jaringan pasif seperti ducting dan kabel FO jelas bersinggungan langsung dengan sektor tata ruang dan kewenangan perizinan bangunan milik daerah.

Permenkominfo No. 5 Tahun 2021 Pasal 16–17 memang menyebutkan bahwa pembangunan dan penggelaran infrastruktur telekomunikasi, termasuk FO, harus memperhatikan rencana tata ruang wilayah dan dikoordinasikan dengan pemerintah daerah. Namun, frasa “koordinasi” ini terlalu lemah secara yuridis dan belum menjamin kepastian pelibatan daerah dalam proses teknis pengendalian di lapangan. Prinsip “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid”—tidak ada kewenangan tanpa tanggung jawab (Matitaputty, 2024)—justru tidak terpenuhi dalam praktik ini.

 

Ketimpangan Regulasi Daerah

Ketimpangan pengaturan kabel FO juga terlihat dari disparitas regulasi di tingkat kabupaten/kota di DIY. Kota Yogyakarta menjadi daerah pertama yang memiliki regulasi teknis melalui Perda No. 9 Tahun 2021 tentang Penataan dan Pengendalian Infrastruktur Pasif Telekomunikasi. Regulasi ini memberi dasar hukum kuat untuk menertibkan jaringan kabel dan mendorong penggunaan ducting bawah tanah.


Namun di luar Kota Yogyakarta, situasinya berbeda. Kabupaten Sleman, meskipun menghadapi lonjakan pemasangan tiang FO secara masif, belum memiliki perda khusus. Akibatnya, tiang-tiang FO tumbuh liar tanpa kontrol, bahkan di beberapa titik mengganggu pemandangan dan aktivitas publik. Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul juga masih dalam tahap penyusunan atau bahkan belum memiliki payung hukum yang jelas.

Tanpa regulasi teknis turunan (seperti Peraturan Bupati), perda-perda yang sudah ada pun menjadi macan kertas—tidak mampu dijalankan secara efektif. Di lapangan, perangkat desa dan kelurahan mengeluhkan tidak adanya dasar hukum untuk menolak atau menertibkan pemasangan tiang kabel oleh penyedia jasa telekomunikasi.

Dampak pada Estetika dan Keselamatan Publik

Estetika tata ruang bukan hanya soal keindahan visual, melainkan juga soal kenyamanan, keselamatan, dan tertib fungsi ruang. Kabel FO yang tidak terorganisir tidak hanya merusak wajah kota, tetapi juga menimbulkan risiko kecelakaan, mengganggu mobilitas warga, serta mempersulit perawatan infrastruktur publik seperti pohon, lampu jalan, dan saluran air.

Estetika ruang merupakan cerminan peradaban. Maka, membiarkan kabel menjuntai liar sama dengan mengabaikan prinsip dasar kota yang beradab. Apalagi dalam konteks DIY, nilai-nilai kebudayaan dan filosofi ruang semestinya menjadi pedoman utama dalam setiap pembangunan.

Upaya Solutif: Harmonisasi Regulasi dan Kewenangan Daerah

Pertama, perlu ada harmonisasi antara regulasi pusat dan daerah melalui delegasi dan penguatan peran pengawasan daerah dalam pelaksanaan izin yang diberikan pusat. Permenkominfo perlu direvisi agar memuat klausul wajib konsultasi teknis dan rekomendasi tata ruang dari pemerintah daerah sebagai syarat pelaksanaan penggelaran jaringan kabel FO.

Kedua, daerah (kabupaten) perlu mempercepat penyusunan regulasi teknis dalam bentuk perda atau perbup yang mengatur tata cara pengajuan izin pemasangan, penggunaan ducting bersama, serta penertiban kabel eksisting. Penggunaan sistem ducting bawah tanah juga perlu didorong sebagai standar utama pemasangan kabel di kawasan padat dan strategis.

Ketiga, dibutuhkan sinergi lintas sektor—antara Dinas Kominfo, Dinas PU, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP—untuk mengembangkan mekanisme pengawasan terpadu terhadap pembangunan jaringan kabel. Sistem satu pintu pengawasan dan pelaporan pelanggaran pemasangan FO bisa dikembangkan melalui aplikasi digital atau posko pengaduan warga.

Keempat, pemda perlu menjalin MoU dengan operator penyedia jaringan untuk membangun sistem jaringan bersama (ducting sharing) yang mengurangi jumlah tiang, sekaligus mengefisienkan biaya investasi infrastruktur. Model ini telah berhasil diterapkan di beberapa kota di dunia sebagai bentuk efisiensi dan penataan kota modern.

Penutup: Menyelaraskan Teknologi dan Kearifan Lokal

Menertibkan kabel fiber optik bukan sekadar persoalan teknis atau administratif, melainkan soal keberanian politik dan visi peradaban. DIY sebagai daerah istimewa tidak boleh hanya istimewa dalam sejarah dan budaya, tetapi juga dalam cara menata ruang publiknya. Prinsip “Memayu Hayuning Bawana” harus menjadi inspirasi utama dalam menyelaraskan teknologi dengan harmoni ruang dan kehidupan warga.


Dalam konteks era digital, infrastruktur telekomunikasi adalah keniscayaan. Tetapi modernisasi tidak boleh mengorbankan keindahan, ketertiban, dan keselamatan. Sudah saatnya DIY menjadi teladan nasional dalam penataan jaringan FO yang estetik, tertib, dan beradab. (tulisan ini sudah terbit di Media Cetak KR Tanggal  8 Juli 2025)