Pusat Studi Digital Creative Movements Gelar Sekolah Kebangsaan bersama Tular Nalar

Pemilu sudah di depan mata. Besarnya jumlah pemilih pemula yang akan terlibat dalam pemilu mendatang menjadi tantangan tersendiri. Pemilih pemula bisa tentu diharapkan akan menjadi motor penggerak perubahan dan perbaikan bagi bangsa dan negara ini. Akan tetapi potensi besar itu bukannya tanpa masalah. Para pemilih pemula cenderung acuh pada hajatan demokrasi itu. Umumnya beranggapan pemilu tidak banyak mengubah situasi, dan juga tidak berpengaruh langsung terhadap dirinya sendiri. Jikapun mereka memilih, pilihannya seringkali didasari hal yang kurang atau bahkan tidak rasional seperti mengandalkan keterkenalan, bujuk-rayu, bahkan menjadi korban berita palsu atau bohong.

Hal inilah yang kemudian mendorong Tular Nalar Mafindo menggandeng Pusat Studi Digital Creative Movements dan Jaringan Pegiat Literasi Digital serta didukung oleh Google.org. menggelar acara “Sekolah Kebangsaan”.Bertempat di Gedung RHA. Soenarjo, SH., atau Convention Hall kampus UIN SUKA, Sekolah Kebangsaan ini hadir sebagai upaya edukasi bagi anak muda dengan kriteria pemilih pertama pada pemilu agar cakap digital menjelang tahun politik 2024.

Selain dari UIN Sunan Kalijaga, kegiatan ini juga diikuti oleh Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi antara lain Universitas Respati, Universitas Mercu Buana dan Universitas Teknologi Yogyakarta dengan total peserta mencapai lebih dari 100 orang.

Turut hadir dalam acara pembukaan Sekolah Kebangsaan Tular Nalar, Dekan FISHUM, Dr. Mochamad Sodik, S.Sos, M.Si. Wakil Dekan 1, bidang Akademik, Dr. Sulistyaningsih, M.Si, Kepala Bagian Tata Usaha, Enny Iroh Hayati, SE., M.SI, serta tamu undangan.

Mengawali kegiatan, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Dr. Mochamad Sodik, M.Si., mengawali sambutannya dengan memberikan apresiasi bagi penyelenggara Sekolah Kebangsaan Tular Nalar. "Ini merupakan kegiatan yang kreatif dalam menghadapi politik digital. Disini perlu literasi digital dan literasi ideologi dengan seimbang. Tidak hanya permasalahan di negara berkembang saja, hal semacam ini juga menjadi permasalahan di negara maju. Jika tidak dikelola dengan baik akan sangat berbahaya," ujarnya.

Dr. Mochamad Sodik juga menekankan bahwa masyarakat Indonesia dalam menyongsong Pemilu tahun 2024, perlu untuk siap lebih dini khususnya pemilih pemula. Ada komitmen kebangsaan yang perlu dipegang teguh dan telah dijalankan di UIN Sunan Kalijaga, antara lain menjunjung tinggi rasa toleran, anti kekerasan, keseimbangan atau tawazun. Menurutnya, beragama dengan baik tidak akan bisa tumbuh tanpa kesadaran berbangsa yang baik. Keduanya harus beriringan, saling membangun nilai-nilai kemanusiaan, ketertiban dan keadilan, menjadi bagian dari Indonesia dan dunia yang semakin beradab.

“Insya Allah dengan Sekolah Kebangsaan Tular Nalar yang diampu oleh fasilitator-fasilitator yang hebat ini dapat menjadi kelas berkelanjutan”, pungkasnya.

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Dr. Diah Ajeng Purwani, S.Sos., M.Si., selaku Ketua Center For Digital Creative Movement Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN Sunan Kalijaga menyampaikan bahwa Sekolah Kebangsaan Tular Nalar mengusung tema "Memangnya Suara Remaja Didengar?", berfokus pada pendidikan literasi digital bagi pemilih pemula menjelang tahun politik 2024. Tema ini dipilih sebagai upaya menghadapi salah satu persoalan menjelang Pemilu, yakni adanya polarisasi politik dan tsunami informasi yang dalam dunia digital, sehingga perlu disikapi dengan menjadi netizen yang berliterasi digital, tanggap dan tangguh. Kegiatan ini menyiapkan dan memaparkan sedini mungkin konsep politik demokrasi berkaitan dengan literasi digital bagi pemilih pemula.

Koordinator fasilitator kegiatan ini, Yanti Dwi Astuti, S.Sos.I, M.A., menyampaikan bahwa adanya kegiatan ini menjadi penting karena tahun 2024 akan berpesta demokrasi. “Maka dari itu, apakah suara remaja haruskah didengar? jawabannya tentu saja perlu. Kita punya hak untuk memberikan suara. Tapi belakangan teknologi digital semakin dinamis, banyak permasalahan yang muncul salah satunya adalah informasi yang keliru, hoaks, dan disinformasi. Untuk itu supaya bisa memfilter informasi yang sesuai dengan fakta maka teman-teman sangat tepat untuk ikut di sekolah kebangsaan.” Terdapat 9 fasilitator yang memandu jalannya kegiatan yakni Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga antara lain. Yanti Dwi Astuti, Diah Ajeng Purwani, Rahmah Attaymini, Fajar Iqbal, Ui Ardaninggar Luhtitianti, dan Alip Kunandar, Rila Setyaningsih (Dosen Mercu Buana), Popi Andiyansari (Dosen UTY), dan Mohammad Solihin (Dosen Universitas Respati).

Pihaknya berharap pemilih pemula tidak menyia-nyiakan hak suara mereka dalam pemilu tahun 2024 sebagai wadah demokrasi. Melalui Sekolah Kebangsaan Tular Nalar ini, diharapkan untuk peserta mengetahui peran penting pemilih pemula. Kegiatan ini didesain dengan metode menyenangkan, membagi peserta menjadi 9 kelompok dengan fasilitatornya masing-masing membahas seputar partisipasi publik, kriteria pemimpin yang ideal, risiko jika salah memilih pimpinan, hingga mengecek kebenaran informasi yang bisa mempengaruhi pilihan politik. Kemudian di akhir sesi, fasilitator membantu peserta untuk membuat refleksi.

Ni Kadek Melia, mahasiswi Universitas Mercubuana Yogyakarta yang menjadi peserta acara ini menyatakan, sebelumnya ia adalah pemilih yang apatis, ikut memilih karena tidak enak. “Tapi setelah berdiskusi, saya sadar, bahwa pilihan saya harus dibuat secara cerdas, karena itu ikut menentukan masa depan bangsa ini.”

Peserta lain, Yohanes Antonius, juga menyatakan, sebelumnya dia berpikir untuk tidak memilih, “Tapi setelah saya ikut acara ini, saya berubah pikiran. Karena itu, acara seperti ini harus dilanjutkan dengan materi-materi kebangsaan lainnya.”

Sementara, Pricilia Adhien, mahasiswi UTY menyebut, pengetahuan yang ia dapat dari acara ini akan ia bagikan kepada orang terdekatnya, “Khususnya dalam hal kemampuan kritis mengelola informasi dari media digital.” (Weni/Alfan/Ihza)