UIN Sunan Kalijaga Kukuhkan Prof. Arif Maftuhin Sebagai Guru Besar
Ketua Senat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. H. Kamsi, MA mengukuhkan Prof. Dr. Arif Maftuhin, M.Ag., M.A. sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Fikih Sosial. Prosesi pengukuhan dilaksanakan dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar, bertempat di Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah (Multipurpose) UIN Sunan Kalijaga, 4/8/2023. Prof. Arif Maftuhin dikukuhkan sebagai Guru Besar berdasarkan S.K. Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 005217/B.II/3/2023. Hadir pada sidang senat terbuka kali ini, jajaran pimpinan universitas dan fakultas, lembaga, pusat studi, dan unit-unit di lingkup UIN Sunan Kalijaga, kerabat dekat Prof. Arif Maftuhin, dan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga.
Pada orasi mengawali pengukuhan Guru Besar, Prof. Arif Maftuhin menyampaikan karya ilmiahnya bertajuk “Fikih Difabel sebagai Implementasi Fikih Sosial.” Pada orasi ilmiahnya, Prof. Arif Maftuhin menekankan keterkaitan antara Fikih dengan gagasan tentang Fikih Sosial. Khususnya yang dituangkan oleh almarhum K.H. Sahal Mahfudh. Di antaranya terkait taharah, yang meliputi pendekatan ta’rif, kaifiyah, dan eksesibilitas.
Lebih jauh dalam orasi ilmiahnya Prof. Arif Maftuhin membahas pertama; tentang pentingnya pengembangan fikih. Tujuan risalah Islam pada umumnya adalah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Fikih Difabel tidak hanya berbicara tentang fikih ibadah, tetapi tentang pemenuhan hak-hak mereka di dunia. Misalnya selagi fikih tradisional akan memberikan rukhsah kepada difabel tuli yang tidak bisa mendengarkan khotbah, fikih difabel menekankan aspek aksesibilitas ibadah sehingga solusi atas in-aksesibilitas difabel tuli adalah menyediakan khotbah dengan bahasa isyarat.
Kedua; solusi Fikih Difabel yang semacam itu juga selaras dengan perubahan paradigma fikih sosial sebagai fikih yang berorientasi kepada pemenuhan ketiga jenis kebutuhan manusia (daruriyyah, hajiyah, dan tahsiniyyah). Kebutuhan daruriyyah adalah hak beragama. Kebutuhan hajiyyah-nya adalah mendengarkan khotbah, sementara kebutuhan tahsiniyyah-nya adalah inklusi dalam beribadah, menjadikan difabel tuli sebagai bagian integral dari jamaah salat Jumat.
Ketiga; yang terpenting adalah kesesuaian antara Fikih Difabel dengan lima ciri pokok fikih sosial, yakni; Interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual. Perubahan pola bermazhab dari qawli dan manhaji. Verifikasi ajaran pokok dan ajaran furu’. Fikih sebagai etika sosial, bukan hukum formal negara. Dan pengenalan metode pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial. Jika menggunakan lima perspektif ini dalam empat aspek fikih difabel, menurut Prof. Arif Maftuhin nyaris semuanya terpenuhi secara relevan.
Di akhir orasi ilmiahnya, Prof. Arif Maftuhin berharap meskipun baru sebatas serpihan-serpihan gagasan awaldan contoh kecil untuk fikih difabel, tetap bisa memberikan kontribusi dalam studi fikih kontemporer khususnya dalam bidang fikih sosial, tegas Prof. Arif Maftuhin. (Tim Humas)