Rektor UIN Sunan Kalijaga; Memaafkan Adalah Kekuatan Tokoh Lintas Iman Memberi Refleksi Idul Fitri Pada Acara Syawalan di Kampus UIN Suka

Dan Balasan keburukan adalah keburukan, barangsiapa memaafkan dan berbaik hati maka pahalanya ada pada Tuhan. Tuhan tidak menyukai orang yang melebihi batas. Memaafkan adalah kekuatan. Demikian Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. H. Al Makin mengawali sambutannya pada acara Syawalan/Halal Bi Halal UIN Sunan Kalijaga, bertempat di Gedung Prof. H.M. Amin Abdullah (Multipurpose), kampus UIN Sunan Kalijaga, Selasa, 16/4/2024. Hadir pada kesempatan silaturahmi akademik lintas iman yang mengangkat tema “Mensyukuri Nikmat Perdamaian dalam Perbedaan” kali ini antara lain; jajaran pimpinan Rektorat. Dekanat, Kabiro, para pimpinan Unit, Lembaga dan Pusat Studi, para tamu undangan dari perguruan tinggi di wilayah DIY, Dinas/Instansi, Kapolda, Kodim, Korem, perwakilan dari Angkatan Udara, dan Angkatan Laut di Wilayah DIY, para tokoh agama lintas Iman, serta Civitas Akademika UIN Sunan Kalijaga.

Lebih lanjut Prof. Al Makin menyampaikan, Halal Bi Halal atau Syawalan merupakan penemuan, Bid’ah, Inovasi atau heretik tradisi asli nusantara. Idul Fitri di Timur Tengah tidak seperti di Nusantara. Sebaliknya, di Timur Tengah Idul Adha dengan penyembelihan hewan qurban identik dengan berdoa dan berpesta. Sudah ada ribuan tahun lalu di berbagai situs temuan manusia di sekitar Turki, Iraq, atau Mesir. Hingga kini, di Timur Tengah seperti itu. Idul Adha lebih meriah, plus musim haji. Sementara di Nusantara ada bid’ah yang menyenangkan, Idul Fitri dengan Syawalan atau Halal bihalal. Bid’ah ini semacam heresy, heretik. Sesuatu yang tidak ada di Kitab Suci, Sola Scriptura. Tidak ada dalam ibadah liturgi. “Tetapi kita adakan.” Ungkap Prof. Al Makin.

Kekhasan tradisi minta maaf lahir batin pada momen Idul Fitri nusantara, hingga terlahir istilah minta maaf lahir batin dalam barbagai bahasa daerah. Dalam bahasa Sunda: Wilujeng wengi kasadayana dina Idul Firtri. Anjeunna sareng kalaur sareng wilujeng deui ngaranna. Dalam bahasa Batak: Asa lam denggan ngolu madongan pasu-pasu Na. Ni natahon ma maaf lahir batin tu hita sudena. Dalam bahasa Bugis: Warangparang kaminang makessing iyanaritu assabarakeng. Pakkasuiyyang paling matane’e ri jama iyanaritu millaudampeng. Dalam bahasa Banjar: Sudah parak Harai Raya Idul Fitri 2024. Ulun minta maaf, minta ridha. Salamat berhari raya lebaran 1445 H. Dalam bahasa Sasak Lombok: Selamet Idul Fitri tunas ampun lahir dan batin.

Menurut Prof. Al Makin, meminta maaf menunjukkan kekuatan, bukan kelamahan. Meminta maaf perlu nyali, keberanian, kejantanan, dan menahan malu. Meminta maaf bukan orang lemah, tetapi orang kuat. Sedangkan memaafkan adalah tanda kebahagiaan. Orang yang kuat adalah yang minta maaf, orang bahagia adalah yang memaafkan. Tidak perlu dendam, saling menyerang, saling mengancam, saling menjatuhkan. Itu tanda kelemahan.

Pepatah kuno China, before you embark on a journey of revenge, dig two holes: Sebelum kau pergi untuk balas dendam, galilah dua kuburan. Satu untuk lawan, satu untuk diri sendiri. Melaksanakan dendam kesumat, saat ini tidak harus membunuh, tapi banyak cara. Semuanya hancur. Semuanya sirna. Kata pepatah kita: Kalah jadi arang, menang jadi abu. Menang atau kalah dalam perang, konflik, atau perselisihan semuanya rugi. Bahkan hancur akibat konflik. Damai memang sepertinya bukan prestasi. Damai itu kompromi, tidak menghasilkan kegagahan, tidak menghasilkan kegarangan, dan orang mengalah itu orang tidak bernyali, sepertinya. Tapi damai adalah prestasi bersama-sama. Kalau nikmat damai itu sudah tidak ada, baru kita menyesal. Semua jadi medan perang, seperti saat ini di Timur Tengah. Orang-orangnya pergi ke luar negeri tidak pulang, menjadi suaka politik di berbagai negara Eropa dan Amerika. Afghanistan atau Pakistan juga sama. Jadi damai, lewat memaafkan dan minta maaf sangat penting. Idul Fitri mempunyai makna ini, tegas Prof. Al Makin.

Sementara itu, kata Prof. Al Makin, baik dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, dalam Alkitab, banyak nasehat dan kisah tentang utamanya memaafkan. Kisah Yesus memaafkan Samaria. Yesus sebagai orang Yahudi menerobos jalan tidak lazim. Yahudi tidak berhubungan dengan Samaria. Mereka bermusuhan lama. Yesus minum air dari sumur Samaria. Kisah ini terekam dalam Yohanes 4:9 mencatat: “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)”. Perempuan itu menimba air sekitar tengah hari, mungkin maksudnya agar dia tidak bertemu dengan banyak orang. Namun, dia malah berpasan dengan Yesus, seorang Yahudi yang rata-rata bermusuhan dengan orang Samaria.

Dalam Efesus 4:31-32: Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. Begitu juga Lukas 6:37 Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Begitu juga dalam Imamat 19: 18: Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,

Dalam Buddhisme lebih ditekankan memaafkan dan membebaskan diri dari ikatan-ikatan keingingan. Termasuk dendam, dan memaafkan adalah membebaskan diri sendiri dari siksaan marah, kecewa, dendam, tidak puas dan lain-lain. Dalam bahasa Inggrisnya di sebut, let go. Lepaskanlah. Biarkan berlalu. Terimalah. Maafkan mereka. Itu adalah kekuatan. Demikianlah makna memaafkan dalam lintas agama. Manusia itu hakekatnya satu keluarga. Satu saudara yang akan cenderung saling tolong menolong demi keberlangsungan hidup. Manusia pasti saling menolong dan pasti akan membuat orang lain nyaman dan keluar dari kesulitan (altruism). Seperti tawon atau lebah, semut, dan gerombolan hewan yang saling membantu dan bekerja sama. Itulah manusia satu dan lainnya. Memaafkan berguna untuk sehat jasmani, sehat ruhani, sehat organisasi, sehat kampus, sehat bangsa. Memaafkan akan sehat secara badan karena ringan. Sehat secara spiritual karena tidak ada beban pikiran. Secara organisasi, bangsa, negara karena tidak dikejar dosa masa lalu. Mari memaafkan. Memaafkan adalah Kekuatan. Selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir dan batin, demikian Rektor UIN Sunan Kalijaga.

Para tokoh lintas iman memberikan refleksi Idul Fitri. Rektor Universitas Sanata Dharma, Romo Albertus Bagus Laksana, S.J., S.S., Ph.D., mewakili Katolik menyampaikan: Halal bihalal lintas iman, mensyukuri kebersamaan, menciptakan gelombang kebaikan, saling mengunjungi, saling menghormati, disitu dapat bercermin siapa kita, dapat menata hati untuk care pada sesama, saudara kita adalah cermin kita, pahami satu sama lain. Melangkah bersama adalah undangan Tuhan. Merima orang lain dengan lapang adalah cara untuk mendapatkan nikmat kebersamaan dan perdamaian. Seperti yang dilakukan UIN Sunan kalijaga kali ini. Dr. Sulaiman mewakili Budha menyampaikan refkeksi; Untuk mendapatkan pencerahan memerlukan kesabaran. Semakin orang tidak sabar untuk mendapatkan pencerahan, maka akan semakin lama orang mendapatkan pencerahan. Muslim berpuasa ramadhan dengan kesabaran-itulah pencerahan yang didapat umat Muslim. Pihaknya bersyukur dapat menghadiri hari kemenangan umat Muslim di kampus UIN Sunan Kalijaga. Tak ada kebahagiaan tertinggi yang sebanding dengan kedamaian dalam kebersamaan kali ini, ungkap Dr. Sulaiman.

Pendeta Fendi Susanto mewakili Kristen menyampaikan, satu hal: dalam kontek agamanya, Sunan Kalijaga adalah pribadi yang diyakini Sunan Tanah Jawa yang memiliki kearifan lokal, mengajarkan keislaman melalui budaya, seni dan makanan yang difilosofikan. Melalui folosofi Sunan kalijaga ini semua agama melakukannya. Dalam keluarga Jawa yang berbeda beda agama bisa bersatu melalui filosofi makanan Jawa, ungkapnya. Slamet Basuki mewakili Sapta Dharma menyampaikan, dengan puasa Ramadan umat muslim menjadi pribadi yang dimuliakan Allah.

Prof. H. Machasin mewakili Islam menyampaikan, bercermin dari penulis Kanada dari Libanon, Hajwa Jaliani. Ia terusir dari Libanon karena perang, terdampar di Kanada sebagai penulis novel: Ia pernah menulis, aku memutuskan memaafkan hari ini, bukan karena permintaan maaf, namun karena jiwaku memerlukan perdamaian. Jadi sikap memaafkan pertimbangannya adalah karena jiwa yang ingin merdeka, tidak terpenjara karena mengingat perbuatan jahat orang lain.

Sementara itu, Halal Bi Halal UIN Sunan Kalijaga kali ini dimeriahkan dengan penampilan Tari Jawa persembahan dari sekolah Tinggi Agama Budha Negeri Raden Wijaya Wonogiri, Tari Hayuning Gendis dari Hindu, persembahan nyanyian dari Universitas Sanata Dharma dan Geguritan dari umat Kristen. (Tim Humas)