Potret Siaran Religi di Indonesia, Stasiun TV Perlu Kedepankan Moderasi Beragama

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) serta Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan Diseminasi Riset Indeks Kualitas Siaran Televisi Tahun 2022, berfokus pada potret siaran program religi di televisi pada Minggu (22/5/2022). Acara ini merupakan rangkaian dari Konferensi Penyiaran Indonesia tahun 2022, agenda akbar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang bekerjasama dengan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta didukung sepenuhnya KPID DIY, 21-25/05/2022.

Untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, diseminasi ini dilaksanakan tidak hanya secara tatap muka diInteractive CenterFISHUM kampus setempat, namun juga dilaksanakan secara virtual melaluizoom meeting. Acara ini dibersamai oleh enam orang narasumber dan dihadiri secara langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Phil Al Makin sekaligus yang memberi sambutan dan Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Viada Hafid sebagai keynote speaker. Turut hadir Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Ph.D, Mulyo Hadi Purnomo, dan Ketua KPID DIY, Dewi Nurhasanah, S.Th.I.,M.A., akademisi, jurnalis dan perwakilan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

Mengawali acara diseminasi, Prof. Ema Marhumah, Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Dakwah memaparkan bahwa perlu adanya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan yang baru mengenai penyiaran. Produksi siaran religi harus mengutamakan substansi agar dapat memberikan kebermanfaatan yang positif, tidak dengan mitos, tidak dengan membandingkan agama atau ketimpangan dalam menyampaikan materi terkait gender.Pemilihan narasumber atau mubaligh/ah penting untuk diperhatikan agar apa yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan. Prof. Marhumah menuturkan bahwa sebagai sivitas akademika UIN Sunan Kalijaga khususnya bagi program studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi maupun program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora mampu memproduksi ilmu pengetahuan dengan perspektif yang baru, sesuai dengan UU Penyiaran, menghadirkan konten yang terintegrasi dan interkoneksi antara ajaran Islam dengan aspek lain. Beberapa catatan disampaikan oleh Prof. Marhumah, bahwa perlu ditingkatkan lagi kualitas siaran, serta potensi kolaborasi UIN Sunan Kalijaga untuk mengembangkan keragaman siaran religi yang variatif, humanis dan berkualitas.

Menyambung pemaparan Prof. Marhumah, Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora, Dr. Mochamad Sodik, S.Sos., M.Si, berujar bahwa religi jangan menjauhkan dari spiritualitas, dengan menghadirkan transendensi bukan hanya kebahagiaan fisikal saja di permukaan. Tontonan adalah tuntunan, kreasi harus dikembangkan beserta inovasi dan menghasilkan prestasi. Jika program religi tidak memiliki kreasi, inovasi dan prestasi, maka perlu adanya perbaikan. Tontonan harus menyehatkan baik untuk segi psikologis, memartabatkan antar manusia, segi sosiologis, menyadari bahwa kita adalah bagian kehidupan berbangsa dan bernegara, dan yang terakhir adalah segi komunikatif untuk menguatkan proses kesalingan, yakni saling asah asih dan asuh.

Pengendali Lapangan Riset, Dr. H. Bono Setyo, M.Si memaparkan hasil diseminasi indeks kualitas siaran program religi pada 13 stasiun tv berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, menginginkan kedamaian dan kenyamanan. Hal ini ditangkap oleh media dalam membuat konten atau program acara di televisi. Program siaran religi ini ternyata mendapatkan tempat. Beberapa program berhasil mendapatkan rating yang tinggi dan menarik perhatian para pemasang iklan.

“Secara umum hasil hasil indeks kualitas program siaran religi adalah berkualitas, dengan nilai >=4, yang artinya program siaran religi di televisi Indonesia periode I tahun 2022 tidak mengandung muatan yang merendahkan atau melecehkan suku, agama, ras, antar golongan, usia, budaya dan atau kehidupan sosial ekonomi.”

Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan. Diantaranya ialah stasiun tv yang menayangkan program religi perlu memperhatikan host atau narasumber yang mengisi acara agar memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat menghindari pembahasan yang dapat menimbulkan permasalahan baru sehingga memicu konflik antar golongan. Stasiun tv juga bisa mempertimbangkan untuk menampilkan tema persatuan dan kesatuan bangsa yang dirasa sangat dibutuhkan untuk situasi dan kondisi saat ini.

Terdapat ambiguitas antara edukasi dan komersialisasi pada siaran religi di televisi Indonesia, untuk itu Dr. Bono Setyo menyarankan agar stasiun tv tidak hanya mengejar aspekentertainmentsemata, namun dapat meningkatkan kualitas program agar dapat menumbuhkan dampak positif untuk masyarakat.

Dr. Bono Setyo juga menambahkan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya agar dapat menggunakan indikator tambahan selain P3SPS karena menurut Bono, pedoman tersebut cenderung menggiring penilaian pada hasil yang baik, padahal mungkin dapat dicermati di lingkungan terdapat fakta-fakta yang berbeda. Hal ini dapat menjadi catatan untuk riset indeks kualitas program siaran televisi yang akan datang.

Sementara itu, Direktur Produksi Trans 7, Andi Chairil mengungkapkan bahwa siaran religi di televisi bukanlah suatu program yang populer, meskipun market memang telah tersedia, ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses pembuatannya. Ada beberapa format dalam siaran program religi, yakni format tausiyah, format dokumenter ataumagazinedan formattravelling. Di antara ketiganya, performa program religi berformat tausiah lebih baik dibandingkan format lainnya, baik jika dilihat darisharemaupun rating. Andi juga memaparkan dari segi demografi, pemirsa siaran religi didominasi oleh usia 35 tahun keatas. Menurut Andi, jika stasiun tv memiliki formula yang tepat, penonton dari kalangan usia 35 tahun ke bawah juga bisa didapatkan. “Sebenarnya terdapat potensi untuk penonton usia 35 tahun ke bawah agar menggandrungi program religi. Seperti pada program Hafiz Indonesia yang tayang pada bulan Ramadan mendapatkan rating yang tinggi”, ujarnya.

Sepakat dengan apa yang disampaikan Bono Setyo, di era digital yang seperti sekarang ini pemilihan narasumber atau tokoh agama juga perlu diperhatikan agar dapat menyampaikan materi dengan mudah dipahami dan tentunya memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menjadi program dengan value yang mampu meningkatkan kekuatan iman. Meskipun tidak dapat dipungkiri, terdapat momentum dimana program religi yang ditayangkan bagaikan “aji mumpung” dalam mencari keuntungan, seperti momentum Bulan Ramadhan.

Ketua Masyarakat Peduli Penyiaran, Isa Kurniawan, mengapresiasi langkah KPI yang berkolaborasi dengan 12 universitas untuk melakukan pengukuran indeks siaran berkualitas. Jangan sampai siaran yang disampaikan kontraproduktif dengan apa yang kita harapkan. Isa menuturkan, dirinya mewakili masyarakat peduli penyiaran berharap stasiun tv tidak menyamakan program religi dengan siaran-siaran lainnya, dalam artian tidak melulu mengejar rating. Program religi yang ditampilkan bisa juga dijadikan sebagai program sosial dari industri penyiaran. “Pada akhirnya, tugas kita bersama adalah menjaga kerukunan antar umat agama dan kerukunan antar umat beragama tersebut dapat diciptakan melalui tayangan religi yang berkualitas.” (Ihza/Alfan/Weni)