Prof Syihabuddin, Potret Ilmuwan Gaul

Oleh: Aguk Irawan MN

Telahdimuat di : Senayan Post

KETIKA usai seminar di kota Batu, Malang, sekitar bulan desember 2018, panitia mengajak kami jalan-jalan di tempat wisata alam. Sebuah tempat yang sungguh menakjubkan. Pada saat itu, tidak dinyana saya bertemu dengan sepasang suami-istri yang duduk di tepi sebuah danau. Di sampingnya tumbuh dan menjulur aneka bunga yang bermekaran, di atasnya pemandangan kupu-kupu warna-warni berterbangan. Mereka nampak sedang memadu kasih bak pengantin baru, tapi siapa sangka pasangan kekasih ini adalah pasangan lama dan seorang guru besar, mantan aktifis dan pakar Stalistika Al-Qur'an, yaitu Prof. Dr.KH. Syihabbudin Qalyubi Lc., MAg, beserta istrinya.

Sering orang mengira, seorang ilmuwan yang serius hidupnya tak bisa romantis, dan memang begitu lumrahnya. Tetapi kesan ini tak berlaku pada Prof. Syihabbudin. Meski karyanya berjibun, ia adalah pria yang romantis. "Loh, jenengan berdua kok ada disini, mimpi apa saya semalam?" Sapa saya yang mengagetkannya. "Sampean dengan siapa?" Tanyanya balik, kujawab spontan sendirian dan hanya bersama panitia seminar, lalu ia dengan setengah canda mengatakan, "hati-hati ya kalau sedang jauh dengan istri.." Lalu tawa kami meledak bersama.

Saat beliau mengatakan itu saya jadi teringat sebuah ungkapan, "bahwa lelaki hebat bukan yang mecintai banyak wanita, tetapi ia yang mecinta satu wanita dengan banyak cara." Saya kira ungkapan ini patut disematkan pada Prof Syihab. Kesan saya pada Prof Syihab tidak hanya lelaki yang romantis, tetapi juga humoris. Atribut yang menyertai namanya sebagai seorang ilmuwan tidak pernah menghalanginya untuk bergaul, dan membuat jok yang jenaka pada siapapun, termasuk saya, juniornya.

Begitu pula saat suatu malam saya bertamu ke kediamannya untuk urusan keberlangsungan akademik sayaq di Pasca-Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Beliau selalu humoris dan menyukai lelucon dan saya menyukai cerita yang ujungnya adalah tawa. Di hadapannya, persoalan rumitnya karya ilmiah terasa menjadi ringan dan menyenangkan. Justru, saya merasa ketika teori ilmiah tak sejalan dengan temuan, tampaknya beliau paham betul, humor bisa membantu situasi orang yang hampir prustasi.

Pada sikap yang romantisme dan humoris itulah mungkin salah satu rahasianya, kenapa di usia yang bisa dibilang senja. Beliau masih energik dan banyak menulis sesuatu yang amat bermanfaat buat umat di berbagai surat kabar dan situs Nasional, di antaranya di Republika, Sinarharapan, Senayanpost dan lain sebagainya. Tulisan-tulisannya sering mencermati situasi sosial yang aktual dengan sudut pandang yang komprehensif, mulai dari budaya, agama, politik, hingga dunia medis yang semua itu ditarik ke akar sejarahnya, terutama dengan sudut pandang literasi Islam.

Agaknya rahasia ini ada benarnya, karena romantis dan humoris, kata Simon Critchley dalam Infinitely Demanding, ”mengingatkan kita akan banyak kehampaan makna dan sifat rendah hati, serta keterbatasan kondisi manusia.” Dengan kesadaran itu, manusia romantis sejatinya adalah orang-orang yang sedang dan terus mencari makna dalam hidupnya, dan setiap mendapatkan makna baru, disitulah kebahagiaan bisa ia hampiri. Sementara sikap humoris mengantarkan orang menyadari akan kelemahannya, sehingga ia akan mengakui sifatnya yang ”komikal”, dancomic acknowledgmentadalah anugerah. Maka, kita akan melihat diri kita, manusia, yang akan lebih arif jika memposisikan sebagai Badut atau si Kabayan ketimbang sebagai Sipitung atau Kumbakarna.

Memang perlu kematangan tersendiri untuk mendapatkan perspektif itu. Bertolak dari teori Freud tentang humor, maka sejatinya tak terpisahkan dengan romantisme. Itu sebabnya orang romantis biasanya juga humoris. Frued menyebut kesatuan itu dengan Critchley, yaitu satu faktor dalam kesadaran manusia, yang disebutnya pengimbang ”super-ego” semacam humorisme dan romantisme. Kita ingat, dalam psikoanalisis Freud ”super-ego” adalah Sang Penguasa yang Keras yang menghuni kesadaran manusia: ia pengawas, pengendali, dan penentu yang menyebabkan ego patuh kepada apapun, termasuk agama dan hukum ajaran moral masyarakat. Tapi ”super-ego” pula yang dengan demikian menyebabkan ego tertekan dan menderita, sehingga orang sulit untuk romantis dan humoris.

Tapi Prof Syihab sudah memberi pelajaran bagi kita secara nyata, dan tidak sedang berteori seperti Freud. Bahwa dalam kehidupan rumah tangga yang romantis dan dalam pergaulan yang humoris, orang tidak saja dibuat lebih muda dari usianya, karena tingkat energitasnya, tapi juga tentang penggapaian rasa dan kedalaman makna. Karena, jiwa manusia akan lebih sehat, tak dirundung takut dan didera rasa bersalah yang habis-habisan. Dengan kata lain: jika sense humor tak dimatikan dan romantisme selalu dihadirkan, maka boleh jadi akan sama halnya ia memasuki alam spiritualitas-vertikal. Karena disitu makna yang hakiki bertemu.

Dari sinilah, saya menjadi tahu, kenapa Prof Syihab dipenuhi jiwa muda, dan itu bisa kita lihat kekocakan Prof Syihab dalam kisah perjalanannya ke Batam, Singapore, Malaysia, Hongkong, Macau, dan Jepang. Kemudaan Prof Syihab bisa dilihat dari aspek kenekatan sebagai blind traveller ke luar negeri di usia yang tak lagi muda. Kalaupun ini dianggap sebagai bulan madu yang tertunda, maka konsep blind traveller itu adalah tepat, sebab sensasi perjalanan pengantin baru akan terasa karena penuh dengan kenekatan dan rasa keinginan tahuan yang tinggi, khas ala anak muda.

Maka bukankah pemeo populer itu benar, bahwa tertawa itu sehat? Dan, romantisme semakin membugarkan? Apalagi ditambah dengan senang berpetualang ala blind traveller? Yang sehat adalah yang hidup dan tumbuh dan bekerja terus dalam keterbatasan, seperti cinta dan ketulusan. Dari sini, kita bisa merayakan apa yang mungkin gagal tapi ada getaran keindahan disana, menyambut apa yang tak tentu, tapi pada tiap detik memberi alasan untuk makna hidup yang sangat berarti.

Bantul, 11 Oktober 2021

*Dr. Aguk Irawan, santri, penulis lepas, dosen budaya di UIN Yogyakarta, dan pengasuh pesantren kreatif Baitul Kilmah, Bantul.