Sambutan Menag RI, Pembukaan AICIS 2021
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
His Excellency Vice President of Republic of Indonesia Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin
Honorable Ambassadors
Respectable Governor of Central Java
Respectable Major of Surakarta, Gibran Rakabuming Raka Respectable Director General of Islamic Education Respectable Director of Islamic Higher Education Respectable Rector of Islamic Universities
Dear Chairs, Invited Panels,Participant of AICIS
My beloved Steering Committee and Operating Committee of AICIS
Dear professors, lecturers, researchers, ladies and gentlemen. On behalf of Minister of Religious Affairs, I would like to express my sincere gratitude and welcome you to the 20th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2021. Moreover, I honorably welcome to our keynote and invited speakers on AICIS 2021. Allow me to deliver my speech in Bahasa, to make sure that what I want will be achieved well. And because of the importance of the theme I want to convey, unlike usual, I’ll read the text that I’ve inserted ideas about the theme of our meeting today.
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat menghadiri pembukaan sebuah acara bergengsi di kalangan ilmuwan di Kementerian Agama RI ini, yang diberi nama Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang Ke-20. Sholawat dan salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, nabi yang telah membawa kita kepada dunia yang terang benderang karena kecintaanya kepada ilmu pengetahuan.
Atas nama Menteri Agama RI, saya menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang sangat tinggi, kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang telah berinisiasi melanjutkan perhelatan akademik yang bergengsi ini, setelah absen di tahun 2021 karena merebaknya pandemi Covid-19 di awal tahun lalu. Semoga perhelatan ACIS ke-20 tahun ini dapat terselenggara dengan baik. Saya selaku pribadi, dan selaku Menteri Agama RI, sangat mendukung kegiatan AICIS ini, yang merupakan bentuk komitmen Kementerian Agama dalam memberikan penguatan kapasitas (capacity building) kepada para ilmuan dan dunia intelektual di kalangan Kementerian Agama RI khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kegiatan AICIS ini merupakan upaya kita bersama untuk terus mengembangkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, menajamkan intelektualitas dan memberikan kontribusi yang nyata kepada bangsa, agama dan kemanusiaan.
Seperti laporan yang saya terima, AICIS tahun ini melibatkan pembicara kunci dan pembicara undangan yang berasal dari manca negara, dan dari latar belakang agama yang berbeda pula. Walaupun AICIS ini merupakan perhelatan internasional dalam bidang Studi Islam, namun para ilmuwan dan guru besar pemerhati Islam dari berbagai kalangan juga dihadirkan. Ini menandakan bahwa AICIS merupakan sebuah miniatur kajian Islam di Indonesia yang terbuka dan moderat. AICIS menunjukan bahwa masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat yang mayoritas memeluk Islam, memiliki sikap terbuka atas kajian kritis dan ilmiah dari kalangan manapun. Fakta bahwa masyarakat Indonesiaadalah masyarakat yang moderat dan inklusif inilah, yang menjadi rujukan bagi Kementrian Agama untuk terus mengusung moderasi beragama, sebagai ciri khas bangsa, baik di dalam lingkup kita bangsa Indonesia sendiri maupun dalam pergaulan internasional. Dan Kementerian Agama telah sejak lama melakukan berbagai kegiatan, yang menjadi wahana untuk terus tumbuh dan berkembangnya sikap moderasi beragama ini. Selain menjadi wadah desiminasi keilmuan hasil riset para ilmuwan dan para dosen serta mahasiswa di kalangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), kegiatan AICIS ini tidak saja mampu menguatkan jalinan solidaritas antar sivitas akademika di PTKI se-Indonesia, tetapi juga menambah jejaring dengan para ilmuan luar negeri, baik yang papernya lolos di AICIS, maupun para pembicara yang diundang dalam forum bergengsi ini. Lebih dari itu, AICIS ini saya harapkan untuk mampu menjadi sarana, bagi para sivitas akademika PTKI di lingkungan Kementrian Agama, untuk meberikan kontribusi terbaiknya, kepada pemerintah Indonesia secara nyata. Hasil-hasil karya anak bangsa tersebut, yang merupakan hasil riset mendalam di bidang Studi Islam, hendaknya juga berdampak signifikan bagi masyarakat dunia. Bapak Wakil Presiden RI dan Saudara-Saudara Sekalian yang Saya Hormati Kegiatan AICIS Ke-20 Tahun 2021 ini mengangkat tema: “Islam In A Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy,” sebuah tema yang sangat relevan dengan dunia kita saat ini. Pada awalnya memang AICIS tahun ini mengusung tema public policy saja. Dan tema itu sudah disiapkan oleh panitia sejak sebelum pandemi Covid-19. Tetapi saya kemudian meminta kepada panitia untuk mengubahnya dan memasukan kajian fiqh dalam era pandemi ini. Hal ini saya minta dengan melihat beberapa konteks yang tidak mungkin dihindari: 1. Dalam teori hukum Islam klasik (usul fiqh), norma agama (ahkam; singular, hukm) merupakan respon terhadap kenyataan. Tujuan norma agama (maqasid al-shari’ah) adalah untuk menjamin kesejahteraan spiritual dan material kemanusiaan. 2. Ahli hukum Sunni yang diakui oleh dunia, Imam al-Ghazali dan Imam al-Shatibi, mengidentifikasi lima komponen utama maqasid al-shari’ah, yaitu pelestarian iman, kehidupan, keturunan, akal dan harta benda. 3. Norma-norma agama bisa bersifat universal dan tidak berubah—misalnya, keharusan seseorang berusaha mencapai kesempurnaan moral dan spiritual—atau bisa juga bersifat “fleksibel”, jika dihadapkan pada masalah spesifik yang muncul dalam situasi waktu dan tempat yang selalu berubah. 4. Seiring dengan perubahan realitas, fleksibilitas norma agama—yang bertentangan dengan norma agama universal—juga harus berubah untuk mencerminkan keadaan kehidupan yang terus berubah di bumi. Hal ini sebenarnya dimulai pada awal abad Islam, pada saat berbagai aliran hukum Islam (madzhab) muncul dan berkembang. Selama lima abad terakhir, meskipun begitu, praktik ijtihad (penalaran hukum independen, yang digunakan untuk menciptakan norma-norma agama baru) pada umumnya telah berakhir di seluruh dunia Muslim Sunni. 5. Ketika orang-orang Muslim kontemporer mencari bimbingan agama, sumber referensi yang paling banyak diterima dan otoritatif—menurut standar ortodoksi Islam—adalah corpus (kumpulan tulisan) pemikiran Islam klasik—dan terutama fiqh (yurisprudensi)—yang mencapai puncak perkembangannya di Abad Pertengahan, hingga kemudian berhenti dan sebagian besar tidak berubah sampai hari ini. 6. Kesenjangan yang luas saat ini terjadi antara struktur ortodoksi Islam dan konteks realitas aktual Muslim (di mana manusia hidup saat ini), karena adanya perubahan besar yang telah terjadi sejak ajaran Islam ortodoks mulai meningkat menjelang akhir abad pertengahan. 7. Perbedaan antara prinsip-prinsip kunci dari ortodoksi Islam dan realitas peradaban kontemporer dapat, dan sering terjadi, membawa umat Islam ke dalam bahaya fisik, moral dan spiritual, jika mereka berniat untuk mengamati elemen fiqh tertentu, terlepas dari konteks mereka saat ini. Di antara isu kompleks yang terletak di jantung perbedaan ini adalah: • Praktik normatif yang mengatur hubungan antara Muslim dan non-Muslim, termasuk hak, tanggung jawab dan peran non-Muslim yang tinggal di masyarakat berpenduduk mayoritas Muslim, dan sebaliknya; • Adanya negara bangsa modern dan validitasnya—atau kekurangannya—sebagai sistem politik yang mengatur kehidupan umat Islam; dan • Konstitusi negara dan hukum / sistem hukum yang muncul dari proses politik modern, dan hubungannya dengan syari’ah. 8. Ketidakstabilan sosial dan politik, perang saudara dan terorisme yang timbul dari tindakan dari kelompok-kelompok Muslim ultrakonservatif yang bersikeras menerapkan elemen fiqh tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan norma klasik yang ada di era awal Islam. 9. Setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) – hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia. 10. Sejarah Islam setelah kematian menantu Nabi (saw), Sayyidina Ali, menunjukkan bahwa setiap usaha untuk memperoleh dan mengkonsolidasikan kekuatan politik / militer dalam bentuk kekhalifahan pasti akan disertai dengan pembantaian antara satu pihak dengan yang lain. Hal ini merupakan tragedi bagi komunitas Muslim secara keseluruhan, terutama pada awal sebuah dinasti baru. 11. Bila usaha ini menyatu dengan perintah ortodoks untuk terlibat dalam perang melawan non-Muslim—sampai mereka masuk Islam atau tunduk pada peraturan Islam, sehingga seluruh dunia dapat bersatu di bawah panji-panji Islam—maka hal ini akan menimbulkan konflik tiada akhir, yang daya tariknya semakin meluas kepada umat Islam karena berakar pada sejarah dan ajaran Islam itu sendiri. 12. Memang, beberapa elemen dalam fiqh menggambarkan konflik semacam itu sebagai kewajiban agama—yang kadang-kadang merupakan kewajiban bagi komunitas Muslim pada umumnya, atau, pada setiap pria dewasa Muslim, tergantung pada keadaan yang ada—karena norma-norma agama ini muncul pada saat konflik antara Islam dan negara-negara tetangga non-Muslim, bisa dibilang merupakan sesuatu yang hampir universal. 13. Jika umat Islam tidak memikirkan kembali ajaran kunci dari ortodoksi Islam yang memberi wewenang dan secara eksplisit memerintahkan kekerasan semacam itu, siapa pun—kapan saja—dapat memanfaatkan ajaran Islam ortodoks tersebut untuk menentang apa yang mereka klaim sebagai hukum dan otoritas tidak sah dari negara kafir dan membantai sesama warga negara mereka, terlepas dari apakah mereka tinggal di dunia Islam atau di Barat. Ini adalah benang merah yang menghubungkan begitu banyak kejadian terkini, mulai dari Mesir, Suriah dan Yaman sampai ke jalan-jalan di Mumbai, Jakarta, Berlin, Nice, Stockholm, Westminster dan lain-lain 14. Perselisihan sipil, tindakan terorisme, pemberontakan dan peperangan—yang dilakukan atas nama Islam—akan terus mengganggu umat Islam, dan mengancam umat manusia pada umumnya, sampai isu-isu ini secara terbuka diakui dan dipecahkan. 15. Jelas, dunia membutuhkan sebuah ortodoksi Islam alternatif, yang akan dirangkul dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia. 16. Pertanyaan yang dihadapi umat manusia—baik Muslim maupun non-Muslim—adalah: bagaimana kita bisa mendorong, dan akhirnya memastikan, bahwa alternatif seperti itu tidak hanya muncul, tapi juga menjadi ortodoksi yang dominan? Forum ini mudah-mudahan mampu menjawab. Pertanyaan berikutnya adalah, apakah rekontekstualisasi ini pernah dilakukan sebelumnya? Maka jawabnya adalah: Pernah. Sejarah mencatat beberapa peristiwa penting diantaranya: Berbeda dengan adanya kesenjangan antara prinsip-prinsip utama ortodoksi Islam dan kenyataan aktual yang ada di sebagian besar dunia Muslim, Indonesia telah diberkati oleh contoh bersejarah dari para Ulama, yang dikenal sebagai Wali Songo (atau “Sembilan Orang Suci (Wali)”), yang membawa Islam Nusantara (“Hindia Timur Islam”). Sembilan Wali dan pengikut mereka menekankan perlunya mengkontekstualisasikan ajaran Islam dan menyesuaikannya dengan kenyataan ruang dan waktu yang terus berubah, sambil menyajikan Islam bukan sebagai ideologi supremasi atau kendaraan untuk penaklukan, melainkan sebagai salah satu dari banyak jalan yang bisa dipilih manusia untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Sejalan dengan ajaran mereka, Islam berangsur-angsur mengakar di sebagian besar wilayah Nusantara, memberikan kontribusi pada kedalaman dan keindahan peradaban Nusantara yang sudah ada sambil melestarikan, bukan mengganggu, harmoni sosial. Dalam masa-masa setelahnya, Nahdlatul Ulama (NU) dan gerakan pemudanya, GP Ansor, berpegang teguh pada tradisi mulia ini. Selama hampir satu abad, para ulama NU telah mengembangkan sebuah wacana religius yang luas yang tidak hanya menjamin legitimasi Indonesia sebagai negara multi-agama dan pluralistik, namun juga dapat berfungsi sebagai “proyek percontohan” yang menunjukkan indahnya kerja sama antara Ulama dan negarawan untuk mengembangkan sistem sosio-politik modern yang sah secara teologis yang mempromosikan kesejahteraan bagi umat Islam maupun non-Muslim. Dalam Muktamar (kongres nasional) ke 27 yang diselenggarakan di Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1984, Rais Aam PBNU, Kyai Haji Achmad Shiddiq, membentuk kerangka teologis untuk konsep persaudaraan yang tidak terbatas pada umat Islam (ukhuwwah islamiyah) saja, tapi juga mencakup semua warga negara (ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan semua umat manusia (ukhuwwah basyariyah). Pada tahun 1992–dalam sebuah Pertemuan Kyai Nasional yang diadakan di Lampung, di bawah kepemimpinan Kyai Haji Abdurrahman Wahid—NU secara eksplisit mengakui bahwa konteks realitas yang berubah memerlukan penciptaan interpretasi baru tentang hukum Islam dan ajaran Islam ortodoks. Pada Kongres ini, NU mengeluarkan sebuah keputusan resmi yang menyatakan bahwa jika komunitas Muslim tidak dapat menemukan satu individu yang memenuhi kriteria sebagai mujtahid (seseorang yang telah memenuhi syarat untuk menggunakan penalaran independen untuk menciptakan hukum Islam), maka ulama harus menanggung beban tanggung jawab dan melakukan ijtihad kolektif (penggunaan penalaran independen untuk merumuskan hukum Islam), yang disebut “al-istinbath al-jama’iy.” Ulama juga telah memberkati negara Indonesia (NKRI) dengan legitimasi teologis yang mendalam, dan menyertainya dengan sejumlah argumen religius yang kuat untuk mendukungnya. Legitimasi kepada NKRI, menurut para ulama merupakan sebuah produk ijtihad baru, yang tidak dapat ditemukan dalam teks-teks fiqih otoritatif dari kanon pemikiran Islam klasik. Selain itu, ijtihad baru ini berhasil mendapatkan dukungan dari mayoritas Muslim Indonesia, sekaligus membantu membentuk pandangan dan mentalitas religius mereka. Bapak Wakil Presiden RI dan Saudara-Saudara Sekalian Yang Saya Hormati Memperhatikan konteks yang sedemikian panjang, saya merasa bahwa entah sadar atau tidak, mau atau tidak, umat Islam menghadapi pilihan antara dua visi masa depan yang berbeda. Akankah mereka berusaha menciptakan kembali kemasyarakatan religius, politik dan teritorial yang telah lama hilang di bawah panji kekhalifahan—dan dengan demikian berusaha untuk mengembalikan supremasi Islam—sebagaimana tercermin dalam ingatan komunal mereka dan masih tertanam kuat dalam corpus yang berlaku, dan menerapkan pandangan dunia Islam yang ortodoks dan otoritatif? Atau akankah mereka berusaha mengembangkan sensibilitas religius baru yang mencerminkan realitas nyata dari peradaban modern kita, dan berkontribusi pada munculnya tatanan dunia yang benar-benar adil dan harmonis, yang didasarkan pada penghormatan terhadap martabat dan hak yang sama dari setiap manusia? Pilihan pertama jelas mengarah ke arah bencana—atau, dalam bahasa ekstremis Sunni dan Syiah—konflik global apokaliptik. Untuk membayangkan kehancuran yang akan terjadi, bayangkan kemungkinan menang umat Islam jika dihadapkan dengan dunia non-Muslim, yang kekuatan militernya bisa saja mencakup Amerika Serikat, Rusia dan China yang terkenal memiliki angkatan perang yang tangguh. Saya meyakini, bahwa setiap usaha untuk mengkonsolidasikan kepemimpinan politik dan militer di seluruh dunia Muslim akan menimbulkan malapetaka dalam skala besar. Perkembangbiakan nuklir, urbanisasi massal, sifat ekonomi dunia yang rapuh dan saling terkait dan penyebaran geografis umat Islam menjamin bahwa upaya semacam itu akan mengancam pilar-pilar peradaban itu sendiri. Pilihan kedua—untuk mengembangkan sensibilitas religius baru yang mencerminkan keadaan sebenarnya dari dunia kontemporer kita, menuntut keberanian –jenis keberanian yang sama sekali berbeda, serta kedalaman kebijaksanaan dan pengetahuan yang luas tentang dunia yang kita tinggali. Karena, pilihan ini mewajibkan umat Islam untuk mengevaluasi kembali sejumlah konsep usang yang tetap tertanam kuat dalam ortodoksi Islam; mengembangkan(penafsiran) ajaran agama yang baru yang sesuai dengan era modern; dan memobilisasi dukungan politik yang diperlukan untuk membangun otoritas keagamaan alternatif yang mampu menyebarkan dan mempertahankan (penafsiran) ajaran baru ini, yang secara bertahap akan diterima dan diamati oleh komunitas Muslim secara keseluruhan, dan akhirnya melahirkan ortodoksi otoritatif baru. Oleh karena itu, penting bagi kita saat ini untuk membuka ruang bagi pemikiran dan inisiatif yang diperlukan untuk membangun peran konstruktif bagi Islam dalam kerja sama menyempurnakan tata dunia baru ini. Empat asumsi dasar dalam paradigma ini merupakan modal yang sangat menentukan. Pertama, bahwa pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari nilai-nilai substansialnya atau pesan-pesan utamanya, yaitu: tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah. Kedua, bahwa model operasionalisasi tersebut harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktek-praktek yang diklaim sebagai pengamalan Islam tidak justru membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri. Dalam hal ini para pemikir Islam sepanjang sejarah telah membuka ruang dan menyediakan perangkat-perangkat intelektual untuk keperluan itu dengan khazanah ilmu-ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, dan sebagainya. Asumsi dasar yang ketiga adalah bahwa dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan. Dan yang keempat, bahwa walaupun tidak menjadikan non-Muslim berpindah (identitas) agama menjadi Muslim, diadopsinya nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya. Kemelut yang melanda seluruh dunia dewasa ini, disamping merupakan akibat dari kerentanan (fragility) dari tata dunia itu sendiri, juga merupakan cermin dari tergerusnya nilai-nilai kejujuran, keadilan dan rahmah. Sedangkan nilai tauhid itu sendiri lebih banyak dipahami dan diaktualisasikan secara tidak sempurna, bahkan salah arah. Jika Islam mampu memberdayakan nilai-nilai dasarnya untuk dikontribusikan dalam pergulatan menyempurnakan tata dunia, itulah capaian raksasa yang dicita-citakan oleh Rasulullah Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Para Peserta AICIS ke-20 tahun 2021 Yang Berbahagia Diakhir sambutan pemantik ini, saya ingin menyampaikan kutipan-kutipan penting yang bisa menjadi sumber inspirasi kita dalam mendiskusikan banyak tema di AICIS ini. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” innamaa buitstu liutammima makaarimal akhlaq. (HR. Sunan Al-Baihaqi) “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah 2:195) “Orang yang bijaksana adalah mereka yang benar-benar memahami masanya, mencari ridla Allah dan berorientasi kepada masa depan” – Sayyidina Ali “Tantangan terbesar yang dihadapi dunia Muslim saat ini adalah membawa pemahaman manusiawi kita yang terbatas tentang hukum Islam agar selaras dengan semangat Ilahi – untuk mencerminkan belas kasih dan kasih sayang Tuhan, dan untuk membawa berkah perdamaian, keadilan dan toleransi ke dunia kita yang menderita ini.” – KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1984-1999) dan Mantan Presiden Republik Indonesia “Syariah, jika dipahami dengan benar, mengungkapkan dan mewujudkan nilai-nilai yang abadi. Hukum Islam, di sisi lain, adalah produk ijtihad (interpretasi) yang bergantung pada keadaan (al-hukm yadur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman) dan perlu terus ditinjau sesuai dengan keadaan yang senantiasa berubah, untuk mencegah hukum Islam mulai ketinggalan zaman, kaku dan tidak berkorelasi – tidak hanya dengan kehidupan dan kondisi kontemporer umat Islam, tetapi juga dengan nilai-nilai abadi syariah yang mendasarinya.” – KH. Abdurrahman Wahid “Semuanya berubah, jadi kita sendiri harus berubah. Ulama harus berubah, karena jika tidak, hanya akan menimbulkan rasa malu.” – KH. Maimoen Zubair, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama “Menurut saya Alquran harus memberikan solusi bagi kemanusiaan – tidak hanya bagi umat Islam tapi juga bagi Barat. ‘Dan tiadalah Aku (Allah) mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi sumber cinta dan kasih sayang universal’ (QS 21: 107). Apa artinya? Semua ciptaan, dan semua manusia, termasuk mereka yang tidak mengimani Islam harus merasakan cinta dan kasih sayang tersebut. Ini benar-benar memerlukan sebuah revolusi mental, sebuah pergeseran paradigmatik dalam proses berpikir (Muslim), jika tidak, kita akan tetap terjebak dalam dilema kita saat ini.” – Dr. A. Syaafii Maarif, Mantan Ketua Umum Pimpinan PusatMuhammadiyah “Janganlah kita merendahkan interpretasi awal Alquran. Adanya penafsiran baru adalah sebuah reaksi yang perlu kita hasilkan (terhadap apa yang terjadi sebelumnya). Saya berpikir bahwa jika kita berbicara murni tentang interpretasi dan pengetahuan ilmiah, tidak akan ada masalah. Apalagi jika tujuan kita benar-benar memastikan bagaimana Alquran bisa relevan di zaman kita sekarang. Karena orang selalu mengatakan bahwa Alquran berlaku untuk semua waktu dan semua tempat. Tapi jika penafsiran kuno diterapkan di zaman kita sekarang, tentu saja yang hidup hari ini akan tersesat dan bingung.” – KH. Ahmad Mustofa Bisri, Ketua Bayt ar-Rahmah li ad-Da’wa al-Islamiyah Rahmatan li al-‘Alamin dan Mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Jalan ini diringkas dalam bahasa Surah Maryam 19:96:’Sesungguhnya orang-orang yang mencapai iman (menyadari kenyataan spiritual) dan bekerja menuju penyembuhan dan rekonsiliasi (ṣāliḥati), Yang Maha Pengasih akan menganugerahi dengan cinta.’ Orang-orang Islam juga diperingatkan: ‘Hai kamu yang telah mencapai iman! Jika Anda pernah meninggalkan iman Anda, Tuhan pada waktunya akan mendatangkan [menggantikan Anda] orang-orang yang Dia cintai dan yang mencintai-Nya – lemah lembut kepada orang-orang beriman, percaya diri terhadap semua orang yang menyangkal kebenaran: [orang-orang] yang berjuang keras di jalan Allah, dan tidak takut dicela oleh siapa pun yang sukamencela mereka: begitulah nikmat Tuhan, yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Tuhan itu tak terbatas, Maha Mengetahui ‘(QS al-Mā’idah, 5:54). Cinta adalah inti dari Islam.” – Shaykh Kabir Helminski “Semua yang terjadi adalah takdir, tapi kita sebenarnya tidak tahu apa yang ditakdirkan sampai hal itu terjadi. Dengan demikian kita memiliki kewajiban religius untuk memilih tujuan kita dengan hati-hati dan tindakan yang kita gunakan untuk mencapainya. Tuhan juga memiliki tujuan dan metode untuk mencapainya (yang merupakan takdir). Siapapun yang tujuan dan tindakannya selaras dengan Tuhan, adalah manusia yang beruntung.” – Shaykh al-Habib Zeyn bin Ibrahim bin Sumaith Ba‘alwy Bapak Wakil Presiden RI dan Saudara-Saudara Sekalian Yang Saya Hormati Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam, terus-menerus berupaya agar para sivitas akademika PTKI mempunyai kualitas dan daya saing yang tinggi. Pelbagai kegiatan di gelar untuk perluasan akses, agar semua pihak, khususnya insan kampus berkembang intelektualitasnya, profesionalitasnya dan juga semangat nasionalisme serta berbagai kecakapan hidup lainnya. Hal ini membutuhkan komitmen bersama antara Kementerian Agama dengan Pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Oleh karena itu juga, saya selaku Menteri Agama mengajak kita semua untuk terus saling menguatkan satu dengan yang lain, agar kita semakin kuat dan berkembang maju bersama dalam mensukseskan kebijakan-kebijakan Kementrian Agama. AICIS ke-20 tahun ini hendaknya menjadi momentum untuk bergeliat, tidak lagi terlena dengan kondisi Pandemi Covid-19. Melalui forum ini, saya meminta kepada Para Rektor/Ketua PTKIN untuk mendukung penuh kegiatan- kegiatan akademik, yang merupakan core values sebuah perguruan tinggi. Saya juga meminta kepada saudara-saudara semuanya, untuk memberikan ruang riset yang lebih luas kepada para sivitas akademika, sehingga dunia riset dapat berkembang dengan baik, dan menjadi andalan dalam pertimbangan kebijakan publik. Dunia kampus hendaknya terhubung dengan dunia pasar, sehingga hasil- hasil risetnya dapat berdampak nyata. Kampus tidak boleh menjadi Menaragading. Hasil-hasil riset yang dipresentasikan di AICIS ini sudah selayaknya menjadi asupan gizi bagi masyarakat, yang ditunggu-tunggu oleh stakeholder yang siap untuk memanfaatkannya. Apalagi menghadapi era revolusi industry 4.0 ini, di mana pemenuhan kebutuhan manusia sudah serba digital. Maka terbentuknya insan kampus yang kreatif dan inovatif adalah menjadi sebuah keniscayaan. Tentu saja insan kampus yang memiliki landasan kuat atas nilai-nilai kebangsaan dan moderasi beragama. Hadirin-Hadirat yang Berbahagia Saya harap seluruh peserta AICIS ke-20 tahun 2021 di UIN RM Said Surakarta ini diberikan kesehatan, keselamatan dan semangat untuk mengikuti perhelatan ilmiah bernilai tinggi ini. Kita semua berharap yang terbaik, melalui wasilah karya-karya yang bermutu. Bangsa ini sangat membutuhkan gagasan- gagasan segar untuk perubahan yang lebih baik. Akhirnya, tidak lupa saya ingatkan agar selama mengikuti rangkaian kegiatan AICIS ke-20 tahun 2021 ini, Saudara-Saudara harus menerapkan Protokol Kesehatan; memakai masker, mencucui tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan dan berdoa. May Allah bless us with good health to make this event a successful and enjoyable one! Wallahuil Muwaafiq Ilaa Aqwamith-Tharieq Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Menteri Agama RI Yaqut Chalil Qoumas