4 Aspek Kesetaraan Gender dalam Tafsir Bahasa Sunda

Oleh : Prof Syihabuddin Qalyubi, guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tema kesetaraangendermerupakan tema yang menarik untuk ditelisik apalagi kaitannya dengan Tafsir Kitab Suci Alquran. Ahmad Lutfi, seorang dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon telah mengangkat penilitian disertasinya dengan judul “Kesetaraan Gender dalam TafsirAlquranBerbahasa Sunda: Studi atas Pemikiran Moh E Hasim dalam Tafsir Ayat Suci Lenyepaneun”. Kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam ditandai dengan satu pemahaman bahwa keduanya memiliki kedudukan sederajat sebagai makhluk ciptaan Allah. Meski demikian, di antara kedua jenis kelamin manusia ini terdapat pembeda utama yang terdapat pada faktor biologis yang memiliki sifat kodrati. Hal ini bisa dilihat dalam struktur anatomi biologis laki-laki dan perempuan.

Perbedaan utamanya terletak pada organ vital sistem reproduksi. Perbedaan biologis yang bersifat kodrati ini menjadikan keduanya saling melengkapi. Kondisi dan faktor biologis yang melekat dalam diri masing-masing individu, baik laki-laki maupun perempuan, seringkali berdampak pada aspek sosial yang pada gilirannya membangun identitas gender yang eksklusif. Di antaranya, pandangan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat (Achmad Gunaryo, “Kesetaraan Gender: Antara Cita dan Fakta”).

Relasi antarsesama manusia yang terjadi dalam komunitas masyarakat Sunda memiliki pijakan kuat dengan sikap 'silih asih, silih asah, dan silih asuh'. Ujaran lain, “Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak.”

Ungkapan ini mengandung arti kewajiban untuk saling mengasihi, saling mengajari, dan saling memelihara sehingga menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang penuh kedekatan, rukun, damai dan tenteram. Sistem kekerabatan yang dianut dalam suku Sunda memiliki sifat bilateral, garis keturunan diambil dari kedua belah pihak, bapak dan ibu.

Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam sistem kekerabatan. Namun demikian ada juga yang memandang perempuan sebgai subordinat dari laki-laki seperti tercermin dalam ungkapanawewe dulang tinande(perempuan menerima apa yang diperintahkan laki-laki).

Konteks sosial seperti itu mendorong Ahmad Lutfi untuk meneliti bagaimana pandangan para mufassir Sunda dalam memahami ayat Alquran terutama yang ada kaitannya dengan relasi gender.

Ia memfokuskan kajiannya padaTafsir Quran Bahasa Sunda berjudul Ayat-Ayat Suci Lenyepaneun,karya Moh E Hasim (1916-2009). Ia terlahir bertepatan dengan tanggal 15 Agustus 1916 dari orang tua yang berprofesi petani kelapa di sebuah kampung yang bernama Bangbayang Kidul Desa Cieurih, termasuk dalam wilayah Kecamatan Cipaku, Kawali Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Hasim dikenal sebagai guru agama dan penulis kitab tafsir. Beberapa bahasa yang dikuasai oleh Hasim dianataranya adalah bahasa Arab, Inggris, Jepang, dan Belanda.

Dalam tafsirAyat Suci Lenyepaneun,Moh E Hasim memakai gaya bahasa penulisan popular. Hal ini secara eksplisit diakuinya sendiri. Sebagaimana yang bisa dibaca dalam sampul bagian belakang karya tafsirnya, ia menyatakan:

“...Nganggo basa lancaran sareng kecap-kecap kasedep urang Sunda nu kasengsrem ku basa warisan ti nini-akina. Malahmandar gampil kahartosna, gampil nyerep kana lelembutan dugi ka saucap satingkah saparipolah...”

(...Menggunakan bahasa ringan dengan ungkapan- ungkapan yang disukai oleh orang Sunda sebagai bahasa warisan leluhur. Agar mudah dipahami, mudah menyerap ke dalam hati sehingga mewujud dalam tutur kata dan perilakunya..)

Sebagaimana ketika Hasim menafsirkan ayat-ayat Alquran, antara lain dalam menafsirkan ayat QS Al A’raf ayat 54 pada kalimat śummaas-tawâ 'alâ al-‘arsy Hasim menguraikan:

“Pancaniti teh tempat nguruskeun pamarentahan di karaton. Lamun raja linggih di pancaniti hartina raja keur mere parentah atawa pituduh ka para ponggawa, kitu nurutkeun ma’na majazi. ‘Arasy teh lain mahluk hissiyah nu aya bungkeuleukanana lir planit atawa satelit, ku sabab eta Allah lenggah di ‘arasy ulah dihartikeun sacara hissiyah tapi kudu sacara ma’nawiyah nya eta Allah ngaluarkeun timbalan ka sakumna mahluk Mantenna nu aya di sakabeh karajaan langit, diantarana nu aya di karajaan marcapada.”

(Singgasana merupakan tempat mengurus pemerintahan di keraton. Jika raja duduk di singgasana artinya raja tinggal memberi perintah atau petunjuk kepada para puggawa, yang seperti itu mengikuti ma’na majazi. ‘Arasy itu bukan makhluk hissiyyah yang terlihat wujudnya seperti planet atau satelit, oleh sebab itu Allah duduk di ‘arsy jangan diartikan secara hissiyyah tapi harus secara ma’nawiyah yaitu Allah memberikan perintah kepada seluruh makhluk-Nya yang ada di seantero kerajaan langit, dan yang ada di kerajaan bumi).

Untuk meneliti kesetaraan gender dalam Ayat Suci Lenyepaneun, peneliti antara lain menggunakan analisis kesetaraan gender (Inayah Rohmaniyah), wacana gender (Sara Mills).

Adapun Bentuk keadilan dan kesetaraan gender itu bisa dilihat dari bebrapa aspekyaitupertama,akses, yakni kemampuan dalam mendayagunakan sumberdaya untuk seutuhnya berperan aktif dan produktif (secara ekonomi, sosial dan politik) dalam masyarakat dan mendapatkan keleluasaan akses ke sumberdaya, tenaga kerja, jenis pekerjaan, pelayanan, informasi dan manfaat.

Kedua, partisipasi, dimaknai sebagai suami bersama istri berperan yang setara dalam aktivitas pengambilan keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya keluarga secara demokratis bahkan jika diperlukan dengan mengikutsertakan anak-anak baik perempuan ataupun laki-laki.

Ketiga, kontrol, dimaknai sebagai perempuan dan laki-laki memiliki kontrol yang setaraf dalam hal pemanfaatan sumberdaya keluarga. Suami beserta istri bisa mempunyai properti atas nama keluarga.

Keempat, manfaat, yaitu bahwa segala bentuk aktivitas keluarga wajib memiliki manfaat yang sepadan bagi seluruh anggota keluarga.

Konstruksi teori yang dikemukakan di atas peneliti gunakan untuk menganalisis wacana kesetaraan gender yang ditampilkan Moh E Hasim dalam kitabnya Ayat Suci Lenyepaneun, khususnya pembahasan yang meliputiyaitu (1) asal muasal penciptaan perempuan; (2) kepemimpinan dalam rumah tangga, (3) nusyûz dan kekerasan dalam rumah tangga, (4) nilai kesaksian perempuan, (5) hak mendapat harta warisan; (6) poligini, dan (7) kekerasan seksual. Kepada para pembaca yang berminat menelusurinya lebih lanjut, silahkan untuk membacanya.

(Artikel telah dimuat di kolom Islam Digest Republika.co.id edisi Rabu, 3 November 2021)