Pengeras Suara: Identitas Kelompok dan Kenyamanan Individu

Oleh: Prof. Dr. Phil AL Makin, M.A., (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

MASYARAKAT Indonesia disamping agamis, terikat dengan norma-norma agama, juga bersifat komunal atau jamaah. Masyarakat komunal sangat kental dengan warna kebersamaan, keramaian, dan grup. Masyarakat kita masih erat dengan etnis serta budaya masing-masing di berbagai daerah, yang rata-rata menekankan pentingnya identitas bersama. Ini kemudian menjadi faktor baru berjumpanya agama dan tradisi lokal.

Setiap kejadian, perdebatan, dan respons masyarakat perlu mempertimbangkan kunci ini, bahwa kolektivitas dan identitas menjadi penting. Siapa pun kita, apa pun profesi, seberapa sukses berkarir, atau sejauh mana menyelesaikan pendidikan, atau seberapa tinggi capaian, ternyata kita masih membutuhkan identitas kelompok. Kita dengan sengaja mengkait-kaitkan itu untuk merasa cozy at home (nyaman di rumah). Wilayah individu atau pribadi mendapat tempat yang kecil di Indonesia. Individu tenggelam dalam lautan kolektivitas. Keakuan pribadi terus berkurang, apalagi jika berhadapan dengan jamaah, ummat, dan etnisitas.

Memang sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat karena urbanisasi, tidak hanya merujuk perpindahan ke ibukota Jakarta, tetapi seluruh kota provinsi dan kabupaten, individu sepertinya mendapat porsi lebih besar dalam kehidupan. Pertumbuhan kelas menengah di akhir era Orde Baru juga mempengaruhi ini. Kepentingan individu, wilayah privat, dan ruang-ruang pribadi terus mendesak untuk diperhatikan.

Tanda-tanda masyarakat komunal dalam berekonomi, berpolitik, berbudaya, dan beragama, kita sangat jelas. Semua kepentingan selalu atas nama kelompok. Identitas pun ke arah kelompok. Individu masih tertekan, dan hampir tidak mempunyai kebebasan.

Karier, pendidikan, prestasi, dan posisi individu penting. Namun semua tetap dikaitkan dengan muasal muasal, agama, daerah, dan identitas primordial lain. Tentu kita selalu bertanya kepada kenalan baru, agamanya apa dan asalnya dari mana?

Soal penggunaan pengeras suara sebetulnya adalah irisan dari wilayah privat dan wilayah publik. Kelihatan sekali bahwa wilayah publik mendominasi. Kenyamanan individu bisa tenggelam. Suara pengeras suara itu atas nama kepentingan umat, jamaah, dan identitas umum. Sementara perlu juga disadari bahwa pengeras suara yang bising, tidak tepat jamnya, dan menderu-deru mengganggu kenyamanan individu.

Cara beribadah, cara berdoa, dan cara beragama umat Indonesia masih terikat pada kelompok. Cara berekspresi, melekatkan identitas, tampil berkenalan, dan berinteraksi satu dengan lainnya selalu identitas kelompok. Status Facebook, debat di Twitter, dan gambar-gambar unggahan di Instagram adalah identitas kelompok.

Pengeras suara sudah menjadi simbol publik dan terikat dengan identitas kelompok. Apalagi dikaitkan dengan agama dan kesakralan, tentu pengeras suara sudah kuat posisinya. Irisan ini mungkin sedikit membantu kita memberi gambaran yang sedikit berbeda.

Soal pengeras suara adalah soal individu dan posisinya dengan identitas kelompok. Pengeras suara sudah menjadi lambang keagamaan, sudah sakral statusnya karena diikatkan pada azan, tadarus, pengajian, tartil, ceramah, bacaan Kitab Suci, bukan sekedar teknologi pengeras suara produk China, Jepang, Korea, Thailand atau assembling dalam negeri seperti Glodok atau Sidoarjo.

Pengeras suara sudah menjadi milik umat dihadap-hadapkan dengan kenyamanan individu. Sudah bisa ditebak, masyarakat kita sensitif dengan kelompok, dan akan mengorbankan kenyamanan individu.

Kasus-kasus penistaan agama, pelanggaran undang-undang ITE, pasal-pasal penodaan agama selalu terkait dengan cedera-mencederai identitas kelompok, apalagi jika itu dirasakan sebagai identitas mayoritas. Individu mudah dikalahkan. Suara individu ditekan. Tentu masyarakat komunal berbeda dengan masyarakat individualis seperti di Eropa atau Amerika. Kepentingan individu dikedepankan. Kepentingan kelompok sulit dikonsolidasi.

Di sana, setiap perdebatan publik selalu menyangkut kepentingan masing-masing orang, bukan sebagai kelompok keagamaan, atau etnisitas. Tentu masih ada kelompok seperti partai politik, Demokrat dan Republikan di AS, namun berbeda dengan multi-partai kita.

Indonesia ini unik. Dalam hal demokrasi, kita memakai sistem multi-partai, demokrasi liberal. Sistem liberal seperti umumnya di negara-negara Barat, individu mempunyai peran yang sangat kental. Namun dalam demokrasi kita, dengan kebebasan yang liberal, tetapi identitas kelompok sangat mewarnai. Tentu Amerika atau India juga mengalami hal yang sama. Namun, pada dasarnya struktur masyarakat kita adalah jemaah.

Setiap kampanye dan perhelatan politik kita, kelompoklah yang dimajukan sebelum menyebut individu. Tidak heran demokrasi kita tidak sepi dari benturan identitas kelompok, baik agama atau asal daerah (primordialisme). Upaya pemisahan kepentingan politik dan legitimasi agama yang ideal sulit diwujudkan karena agama identik dengan komunalitas dan kolektivitas.

Pengeras suara adalah irisan antara individu yang dibela sebagai warga negara yang merasa terganggu dengan ketidaktepatan waktu, suara, dan kenyamanan, dan wilayah umum yang selalu terkait dengan identitas agama.

Surat Edaran Kementerian Agama SE 05 Tahun 2022 yang ditandatangani Menteri Agama tanggal 18 Februari 2022 adalah upaya moderasi, yaitu penyeimbangan antara identitas kelompok dan kenyamanan individu.

Moderasi diartikan keseimbangan tidak hanya antar kelompok beragama semata, tetapi juga antara warga sebagai pribadi dan kolektivitas jamaah agama. Ingat bahwa protes pada kebisingan suara tidak hanya datang dari luar agama, tetapi protes juga berasal dari penganut sesama agama, yaitu sesama Muslim. Pengaturan suara azan, pengajian, tartil, tahlilan, takbir sebagaimana termaktub dalam SE 05 tahun 2022 tidak hanya dalam kerangka antar iman, tetapi juga internal umat Islam.

Toleransi tidak hanya soal antar agama, tetapi juga internal antar kelompok dalam agama dan antar individu dalam kelompok. Kelompok dan individu harus saling toleransi dan menjaga moderasi dalam berekspresi.

Surat Edaran Kementrian Agama adalah soal moderasi dan toleransi tidak hanya antar agama, tetapi juga internal agama. Surat Edaran itu juga moderasi berekspresi identitas kelompok dan kenyamanan individu orang per orang.

Artikel ini sudah dimuat di halaman RMOL, edisi 26/2/2022.