Masjid dan Negara

Oleh : Prof. Phil Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga)

Perbincangan tentang pengeras suara di publik dalam dua pekan terakhir ini bisa diarahkan untuk diskusi publik yang lebih produktif guna memikirkan hal yang lebih substansial tentang rumah ibadah . Tidak hanya pengeras suara yang diatur negara agar kepentingan warga negara terlindungi, dan tidak dirugikan.

Pengaturan masjid secara utuh dan sendi-sendinya, serta rumah ibadah lain, sebaiknya menjadi perhatian kita semua. Administrasi, manajemen dan juga kemakmurannya perlu dipikirkan, bagaimana tempat ibadah menjadi tempat yang nyaman bagi jamaah dan sekitarnya. Rumah ibadah idealnya, terutama masjid, tidak sekadar tempat berdoa. Tetapi tempat ibadah adalah arena berkumpulnya umat, di mana komunikasi dan interaksi terjadi.

Tempat ibadah adalah potensi komunikasi masyarakat sipil dalam era demokrasi di warga yang relijius ini. Maka pemerintah dan masyarakat sangat berkepentingan untuk mengelola ini dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya itu, tempat ibadah dan negara idealnya menjadi bagian penting program pemerintah, karena warga Indonesia sangat terikat dengan ikatan identitas agamanya.

Agama sangat penting bagi warga, dan negara berkpentingan mengaturnya. Namun, bagaimana relasi idealnya dalam konteks Indonesia, sebagai warga agamis dalam negara hukum yang diharapkan netral dalam agama, tampaknya perlu mendapat perhatian khusus.

Demokrasi keterbukaan di Indonesia, tidak sama dengan negara-negara Barat. Kita masih harus memberi ruang dan melindungi ibadah, iman, dan kegiatan keagamaan warga. Berdemokrasi di Indonesia sekaligus juga beragama. Agama dan politik bertemu di situ. Itulah uniknya demokrasi di Indonesia, agama masih melekat.

Tentang pengaturan tempat ibadah kita baru melangkah pada aturan pendirian tempat ibadah. Ini bisa dilihat pada peraturan yang ada. Pengaturan pendirian tempat ibadah masih mengacu pada aturan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006. Selama Covid-19 juga pengaturan menjadi perhatian, Kementerian Agama berkali-kali mengatur ini.

Warga juga taat. Pengaturan rumah ibadah tentu mengandung banyak hal yang layak diperbincangkan di publik tanpa harus menyulut emosi, menggugah identitas kolektif, dan hal-hal yang sifatnya memicu konflik. Tetapi seharusnya antara tempat ibadah dan negara terjadi saling memahami dan relasi negara dan agama yang seharusnya mencerminkan keselarasan.

Kasus perbincangan tentang pengeras suara merupakan puncak gunung es. Di bawahnya ada banyak bongkahan dan pecahan persoalan terpendam di bawah air yang tidak terlalu jernih. Tempat ibadah tentu saja tidak hanya masjid, tetapi meliputi: kapel, gereja, pura, wihara, klenteng, persantian, dan lain-lain.

Diskusi soal rumah ibadah bukan untuk menyulut emosi, lalu bisa memojokkan kelompok lain, tetapi sebagai bahan pengaturan agar hidup lebih damai dan saling berkomitmen untuk melindungi keyakinan dan iman yang berbeda. Di sisi lain, kita saksikan dalam jangka 30 tahun terakhir, pertumbuhan jumlah masjid luar biasa. Sejak era kemakmuran tiga puluh tahun terakhir, kelas menengah Muslim Indonesia dari berbagai organisasi dan afiliasi meningkat tajam. Santri mendapatkan berkah Pendidikan sejak era Orde Baru dan mendapatkan posisi strategis secara ekonomi, politik, sosial, dan peran di negara kita.

Pertumbuhan ekonomi diikuti dengan pertumbuhan identitas keagamaan. Kemampuan ekonomi juga memicu kemampuan membangun masjid, pergi haji, umroh, mendirikan sekolah, rumah sakit, dan kantor-kantor keagamaan. Namun seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat agamis, tempat ibadah juga tumbuh. Pertambahan ini bisa disaksikan kira-kira kita tidak kurang mempunyai 800.000 masjid tersebar di pulau-pulau. Di Jawa setiap desa lebih dari satu masjid. Di Mataram, kota dengan seribu masjid, setiap sudut persawan dan pegunungan menara dan kubah menjadi bagian dari pemandangan alam.

Di sisi lain, di Manado, kota seribu gereja, setiap sudut kota terlihat gereja berdiri dengan menawannya. Setiap minggu dan hari besar, para jamaah berbondong-bondong, berpakain rapi, tampil menawan, menuju gereja. Demikian juga di Kupang, Manggarai, dan kota-kota Indonesia timur.

Di Bali, setiap sudut adalah pura. Persembahan dan doa setiap hari. Dupa mewangi menghiasi sudut rumah dan desa. Setiap hari besar Hindu, dengan khusuknya warga memohon pada Dewata. Tempat ibadah menjadi penting dengan keragamannya.

Tetapi aturan tentang tempat ibadah layak untuk diperbicangkan di publik. Di Malaysia, misalnya, para khatib, pemberi ceramah di khutbah Jumat adalah tugas negara. Takmir masjid dan pemimpin doa di masjid adalah petugas resmi negara. Negara mempunyai tugas mengatur dan sekaligus bertanggungjawab pada takmir, masjid, dan pengaturan khutbah. Teks khutbah disiapkan negara.

Sementara di Indonesia, semua berjalan alami sesuai dengan kondisi komunitas. Masyakarat bertanggungjawab penuh atas tempat ibadahnya. Dalam urusan agama pasar bebas belaku di masayrakat Indonesia. Masjid, khutbah, dan manajemen masjid menjadi tanggungjawab jamaah yang sepenuhnya merdeka mengatur tanpa campur tangan negara. Isi dan cara khutbah di Indonesia bebas tanpa kontrol.

Pengaturan tempat ibadah, termasuk masjid, perlu manajemen, administrasi, dan kemakmuran masjid hendaknya menjadi bahan perhatian pemerintah. Pengaturan tentang itu, masih perlu, karena selerasan antara masjid dan pemerintah masih meninggalkan pekerjaan rumah yang perlu digarap.

(Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Sabtu, 12 Maret 2022 - 14:46 WIB oleh Koran SINDO dengan judul "Masjid dan Negara).”