Menggali Makna Garuda Pancasila

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga)

Walaupun para perintis kemerdekaan kita pada awal abad ke-20 terdidik secara Eropa, mereka bertekad mengembalikan jati diri bangsa ini ke jauh hari sebelum era penjajahan.Kebanggaan identitas Nusantara bak sirna selama tiga abad selama hegemoni Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Penjajahan yang bersifat ekonomi, politik, dan sosial benar-benar menenggelamkan mental dan spiritual bangsa ini.

Para intelegensia abad dua puluh awal itu bertekad menggelorakan kembali kejayaan kepulauan ini sebelum pelayaran Eropa menguasai perdagangan di pantai-pantai dan mengatur pertikaian para pangeran di keraton-keraton. Para pemimpin visioner kita menemukan dua emperium maritim besar di masa lalu: Majapahit di Jawa dan Sriwijaya di Sumatera.

Memang, para pejabat dan peneliti Belanda dan Inggris mempunyai perhatian pada sejarah bangsa terjajah. Monumen, manuskrip, candi, prasasti banyak mulai dipelajari. Bahasa Sansekerta dengan huruf Pallawa, atau Kawi dan Melayu kuno dengan huruf Jawa kuno, mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa.

Dari situ, para pendiri bangsa ini mempunyai akses sastra dan bukti-bukti sejarah pra-kolonial. Narasi kebesaran Sriwijaya dan Majapahit pelan-pelan dikenali dan dijadikan inspirasi peletakan dasar Indonesia.

Kata Pancasila itu sendiri merupakan ungkapan Sansekerta dan Pali kuno yang juga menandai ajaran kebajikan Buddhisme.

Kata Pancasila itu sendiri merupakan ungkapan Sansekerta dan Pali kuno yang juga menandai ajaran kebajikan Buddhisme. Sriwijaya kala itu berjaya dari abad ketujuh sampai kedua belas Masehi, sebagai pusat Buddhisme, terutama aliran Mahayana, yang menghubungkan dua kekuatan besar dunia: China dan India.

Ekonomi dan politik emperium Sriwijaya berdasarkan perdagangan melalui maraknya pelayaran. Dari situ, Palembang berperan sebagai pusat dari mandala-mandala yang tersebar di pulau-pulau dan Benua Asia: Jawa, Barus, Malaka, sampai Campa. Baru akhir-akhir ini para arkeolog, ahli epigrafi, manuskrip dan sejarawan menyadari benar keagungan Sriwijaya, yang akhirnya diruntuhkan lewat serangan Chola dari India dan Singosari dari Jawa Timur.

Makna baru Pancasila

Para pendiri bangsa Indonesia memperkenalkan kembali istilah Pancasila dengan makna baru, menggunakan kata-kata lama. Istilah Pancasila itu mengingatkan kita pada kebesaran spiritual dan moral Buddhisme di Nusantara yang masih tersimpan apik di Borobudur, Kalasan, Batusangkar, Muaro Jambi, dan Plaosan.

Begitu juga, simbol Pancasila berupa burung Garuda mempunyai tujuan mengembalikan kegigihan mental bangsa ke era sebelum penjajahan. Burung itu hadir dalam narasi wayang yang berasal dari kisah tua dua ribu tahun lebih, yaitu Ramayana dan Mahabarata.

Ramayana telah membumi di Nusantara sejak lama dan telah terjadi penyesuaian rasa dari satu dinasti ke dinasti lain. Memang, kisah Ramayana yang ada di relief Prambanan lebih dekat dengan versi Melayu daripada versi India. Pangeran Balaputra Dewa sebagai perwakilan wangsa Syailendra memang orang Sriwijaya dan terjadi perkawinan antara dua wangsa: Sanjaya Jawa dan Syailendra Melayu.

Burung garuda hadir dalam Ramayana bersama Hanuman berperang melawan Alengka. Salah satu candi di Prambanan juga diberi nama Garuda. Begitu juga salah satu candi di Panataran di Jawa Timur bernama Garuda.

Garuda sendiri merupakan wahana (kendaraan) dari dewa Wisnu. Gambarannya bisa disaksikan dalam patung Airlangga, raja Kahuripan yang sebetulnya adalah putra asli Bali. Sejak era Mataram, Kutai, Tarumanegara, Majapahit, dua aliran utama saling beririsan: Sivaisme dan Wisnuisme.Avatar dari Dewa Wisnu yang terkenal dua: Rama dan Krisna. Kedua tokoh yang mendapatkan tempat tersendiri di hati orang-orang Nusantara.

Uniknya lagi, terjadi asimilasi ajaran Sivaisme, Wisnuisme, dan Tantrayana di Mahapahit. Kitab Sutasoma dan Negarakertagama sedikit banyak menyinggung hal itu. Dari situlah simbol Bhinneka Tunggal Ika kita diambil oleh para pendiri Indonesia.

Ketika Islam mulai berpengaruh secara sosial dan politik, terjadi lagi asimilasi antara tradisi-tradisi besar dunia. Banyak bukti menyiratkan bahwa Islam ke Nusantara ini dibawa oleh etnis China dan India.

Awal abad ke-20 dan tengah abad itu, dunia penelitian tentang Majapahit dan Sriwijaya belum begitu berkembang.

Khusus wilayah Aceh, unsur Turki masuk dalam ranah politik. Bisa dilihat betapa beragamnya budaya dan tradisi Islam yang merupakan perpaduan antara Arab, India, China, Turki dan diperkaya lagi dengan nilai-nilai lokal: Melayu, Aceh, Minangkabau, Jawa, Bugis, Sunda, Madura, dan lain-lain.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menyuratkan tidak hanya tradisi monoteisme dari Timur Tengah dan Eropa, seperti Islam, Kristen, dan Katolik, tetapi juga merupakan gambaran dari interaksi antarumat beragama yang masing-masing memberi tafsir pada ketuhanan secara berbeda.

Baik Tap MPR MPR No II/MPR/1978 maupun versi yang diperbaharui dalam Tap MPR No I/MPR/2003 tidak membicarakan ketuhanan secara eksklusif, akan tetapi semangatnya adalah harmonisasi antar agama di Tanah Air: toleransi, moderasi, persatuan dan kebangsaan.

Kembali ke masa laludemi masa depan

Awal abad ke-20 dan tengah abad itu, dunia penelitian tentang Majapahit dan Sriwijaya belum begitu berkembang. Nilai-nilai yang bisa diambil pun masih terbatas pada sumber Majapahit, sedangkan kekuatan maritim Sriwijaya belum begitu terang, terutama bukti relasinya dengan Benua Asia.

Saat ini dunia ilmu sejarah, arkeologi, filsafat, sosiologi, antropologi sudah demikian berkembang. Karena itu, kita mempunyai kesempatan untuk memahami lebih komprehensif lagi tentang Pancasila dan Garuda dan yang terkait.

Nusantara pra-kolonial sangat subur dalam menumbuhkan para tokoh berwawasan luas, seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kertanegara, Dharmasetu, Mulawarman, Balaputera Dewa, Sultan Iskandar Muda dan lain-lain. Era penjajahan menanduskan tanah ini. Era kemerdekaan hendaknya menumbuhkan tokoh-tokoh lain versi zaman ini. Kira-kira itulah tujuan para pendiri bangsa kala itu dalam kembali ke masa lalu demi masa depan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menggali Makna Garuda Pancasila".

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler