Makna Bashirah dan Indikatornya

Oleh: Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc.,M.Ag (Guru Besar Fakultas Adab dab Ilmu Budaya)

Ibnu ‘Athâillâh dalam kitabnya al-Hikam:
اجتِهَادُكَفِيمَاضُمِنَلَكَوَتَقصِيرُكَفِيمَاطُلِبَمِنكَدَلِيلٌعَلَىانطِمَاسِالبَصِيرَةِمِنكَ

Kegigihan usahamu untuk memperoleh apa apa yang telah dijaminkan (Allah) untukmu, dan kelalaianmu pada hal hal yang dituntut (Allah) atasmu, adalah suatu bukti terhapusnya penglihatan mata-hatimu

Makna Kebahasaan

Ijtihad” artinya berusaha semaksimal mungkin, “dlamana” (“kafala”= menjamin), “taqshîr” (“tahâwun” = melalaikan ), “inthimâs” = zâla (hilang, terhapus), bashîrah = nâzhir al-qalb (mata hati) hanya bisa melihat makna di balik yang inderawi, sedangkan bashar hanya bisa melihat benda yang inderawi.

Makna Global

Menurut Ibn ‘Ubbâd bahwa yang dimaksud dengan “madlmûn” (apa yang Allah jamin untuk hambanya) adalah rezeki yang diperoleh hamba guna menutupi kebutuhan hidupnya di dunia ini. Oleh karenanya hamba tidak diminta untuk bekerja keras untuk mendapatkannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “mathlûb” (yang ditutntut dari seorang hamba) adalah beramal yang dapat mengantarkannya kepada kebahagiaan di akhirat, serta bisa taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah melalui berbagai perbadatan dan ketaatan.

Selaras dengan prinsip pertama yaitu adanya jaminan Allah atas rezeki hambanya Allah swt. berfirman:

وَكَأَينمندَابةٍلاتَحمِلُرِزقَهَاٱللهُيزُقُهَاوَإِي"َاكُم ۚوَهُوَٱلسمِيعُٱلعَلِيمُ

Dan betapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kamu sekalian (manusia) dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Ankabut: 60)

Dan selaras dengan prinsip kedua yaitu yang dituntut dari seorang hamba adalah beramal agar bisa taqarrub dan ingat kepada-Nya, Allah swt berfirman:

إِننِىأَنَاٱللهُلَاإِلَٰهَإِلاأَنَا۠فَٱعبُدنِىوَأَقِمِٱلصلَوٰةَلِذِكى

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thâhâ: 14)

Selanjutnya, Ibn Athâillâh dalam kitab al-Tanwîr menfsirkan firman Allah swt:

وَٱلعَٰقِبَةُلِلتقوَىٰ

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Thâhâ: 132)

Maksudnya: Mengabdilah kepada-Ku (Allah), Aku akan memberikan (rizeki) yang menjadi bagianmu. Dalam ayat itu terdapat dua bagian, satu bagian merupakan jaminan Allah kepada hamba, satu bagian lainnya tuntutan Allah (atas suatu kewajiban) dari hamba-Nya untuk untuk dikerjakan dan tidak dilalaikannya. Barang siapa menyibukkan diri (mencari sesuatu) dengan apa yang telah dijaminkan kepadanya dan meninggalkan hal-hal yang diperintahkan Allah kepadanya, maka orang tersebut termasuk orang sangat bodoh dan lalai.

Perlu jadi renungan, bahwa jika Allah swt telah memberi rezeki kepada orang-orang yang ingkar, bagaimana mungkin Dia tidak memberi rezeki kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya, dan jika Yang Maha Kuasa telah memberi rezeki kepada orang-orang yang kafir, bagaimana mungkin Dia tidak memberikan rezeki kepada orang-orang iman?

Barang siapa yang mengerjakan hal-hal seperti yang telah disebutkan, yaitu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajiban, dan mengosongkan hati memikirkan yang telah dijaminkan (Allah) kepadanya, maka sungguh ia telah terbuka “bashîrah”nya, dan cahaya kebenaran telah menyinari hatinya, dan dia telah mencapai maksud tujuannya yang hakiki.

Secara sederhana maksud dari hikmah di atas adalah siapa saja yang disibukkan untuk mencari sesuatu yang telah dijamin Allah dan meninggalkan hal hal yang diperintahkan-Nya, maka itu adalah tanda orang yang buta mata hatinya. Dengan demikian jika Allah berkehendak membuka "bashîrah" seorang hamba, maka Allah akan menyibukkannya secara lahiriah untuk berkhidmat hanya kepada-Nya dan secara batiniah mahabbah kepada-Nya. Semakin besar seseorang hamba mahabbah dan berkhidmah kepada-Nya, maka semakin kuat cahaya "bashîrah" yang dimilikinya. Sebaliknya jika Allah swt berkehendak membiarkan seseorang sesat, maka secara lahiriah Allah akan menyibukan dirinya untuk berkhidmat dan mengabdi kepada selain Allah dan secara batiniyah yang bersangkutan akan mencintainya. Perlakuan ini bisa berlangsung secara terus menerus, hingga bashîrah (mata hatinnya) hilang, maka pandangan matanya akan menguasai cahaya mata hatinya. Yang terlihat hanya benda yang inderawi dan mengabdi fokus hanya kepada yang bisa diindera. Padahal mata (dhahir) berfungsi untuk melihat , mengenal dan membedakan hal hal yang bersifat nyata dan kongrit, sedangkan mata hati berfungsi untuk mengenal hakikat segala sesuatu yang dilihat mata (dhahir).

Menururt Dr. Ali, pada hakikatnya hamba bekerja untuk mengharap keridhaan Allah bukan mencari materi sebanyak banyaknya. Maka jika diniatkan begitu, selama bekerja hamba tidak akan meninggalkan kewajibannya. Jika seorang hamba bekerja dengan meninggalkan perintah Allah, maka belum tentu hasilnya banyak, tetapi yang sudah pasti ia tidak mendapatkan ridha-Nya. Namun jika yang bersangkutan bekerja dengan tetap melaksanakan perintah-Nya, maka materi dan ridha akan diperoleh secara bersamaan. Rezeki adalah sesuatu yang pasti, maka jangan kita risaukan, apalagi jika mengejarnya sampai meninggalkan perintah Allah.

Hikmah ini menyadarkan kita bahwa seringkali kita terlalu bersemangat mendapatkan sesuatu (materi atau uang misalnya) sehingga kita lalai atau lupa mengerjakan ibadah. Fenomena yang sering kita temukan misalnya, banyak orang bekerja tanpa kenal waktu, karena menginginkan hasil yang banyak. Ketika bekerja, dia meninggalkan salat yang menjadi kewajibannya, ketika mendapatkan penghasilan, dia tidak membayar zakat yang menjadi kewajibannya. Maka orang orang yang seperti inilah orang yang disebut buta hatinya. Dia tidak mampu melihat mana yang hakikat dan mana yang bukan.

Oleh karena itu, ada tiga hal penting yang harus kita perhatikan: Pertama, Sesuatu yang dijamin oleh Allah (seperti rezeki) maka jangan pernah merisaukan atau mengkhawatirkannya, apalagi bersu’uzzon kepada-Nya. Allah sudah menjamin rezeki bagi setiap makhluk yang ada di bumi, tetapi berapa bagian masing-masing adalah rahasia-Nya. Kedua, Sesuatu yang dituntut oleh Allah (kewajiban/perintah) kepada hamba-Nya, maka jangan diabaikan atau ditinggalkan. Setiap perintah yang diwajibkan, pada hakikatnya adalah untuk jaminan kebaikan hidupnya. Ketiga, Prioritaskan apa yang dituntut oleh Allah terlebih dahulu, jangan sampai karena ingin mengejar sesuatu yang sudah dijamin (rezeki) kita melalaikan perintah Allah. Ini adalah kebodohan yang luar biasa, dan tanda bahwa yang bersangkutan buta hati, tidak dapat melihat kebenaran yang sejati.

Manusia yang mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah manusia yang mampu melihat mana yang haq dan mana yang bathil. Janji dan jaminan Allah adalah sesuatu yang haq, sehingga harus menjadi keyakinan akan keberadaannya. Jangan sampai karena dorongan ingin mendapatkan sesuatu yang materiil membuat kita lupa akan keyakinan ini. Bekerja yang profesional adalah bekerja dengan tetap mentaati segala aturan yang berlaku, terutama aturan dari Allah SWT.