Berpuasa karena Diet dan Pertumbuhan Ekonomi

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia, sebagaimana juga manusia di dunia ini, sudah jauh lebih baik dalam lima puluh tahun terakhir ini. Berkat revolusi hijau lima puluh tahun lalu, perkembangan teknologi tiga puluh tahun terakhir, dan perkembangan informasi dan teknologi dalam sepuluh tahun terakhir, kehidupan manusia bertambah instan, mudah, dan membaik.

Warga dunia, juga warga Indonesia, bertambah makmur. Walaupun pertumbuhan penduduk dunia, terutama di Indonesia sangat cepat dan mengkhawatirkan, tetapi faktnya kemakmuran warga dunia terus meningkat. Angka kemiskinan dimana-mana ditekan. Kelaparan karena miskin sangat minim jumlahnya. Indonesia mengikuti statistik ini.

Panen padi dimana-mana meningkat, karena pengaturan air, pemilihan bibit, dan efesiensi pemeliharaan, pupuk, dan teknologi lainnya. Produksi gandum, jagung, kedelai jauh lebih besar ketimbang seratus tahun lalu.


Negara-negara maju seperti Amerika, atau bahkan negara-negara tetangga seperti Thailand, Filipina, bahkan Vietnam mengekspor hasil pertanian mereka. Pertanian dan perkebunan Indonesia juga meningkat, jika dibandingkan dengan Indonesia seratus tahun lalu.

Kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga tentu pertanian dan perkebunan kita perlu berbenah. Namun, makanan di dunia melimpah.

Yang jadi persoalan bagi kita saat ini bukan adakah makanan, tetapi bagaimana mengatur jadwal makan. Makan bukan lagi persoalan mewah dan sulit didapat. Tetapi makanan sudah lebih murah dan cepat diperoleh. Semua manusia menjangkau makanan.

Sulit mencari data, jika musim pembagian zakat fitrah atau mal, mana yang sesuai dengan kreteria dalam Kitab Suci atau Hadits, yang disebut fakir miskin. Kemiskinan seribu lima ratus tahun lalu tidak sama dengan kemiskinan saat ini. Kemiskinan seratus tahun lalu, tidak sama dengan kemiskinan masa kini.

Salah satu hikmah puasa yang sering kita dengar adalah agar merasakan kelaparan akibat dari tidak adanya makanan. Dengan lapar kita ingat diri dan orang lain yang lebih susah dari kita. Dengan begitu, orang-orang puasa akan bersyukur, lapar memang berat. Namun, sepertinya, argumen dan hikmah ini sudah perlu dilihat ulang. Puasa dan faktor kelaparan supaya bersyukur tampaknya perlu ditimbang ulang.

Hikmah puasa untuk merasakan kelaparan akibat kemiskinan perlu kontekstualisasi lagi. Mungkin hikmah lain dari puasa itu karena diet: mengurangi asupan kalori, protein, dan lemak dalam tubuh. Illat (causa) baru mungkin perlu disematkan dalam berpuasa, bukan merasakan penderitaan mereka yang tidak beruntung yang tidak mendapatkan asupan makan, tetapi demi kesehatan diri agar obesitas sedikit terhindar. Ini mungkin perlu diperhatikan dalam konteks masa kini.

Sumu tasihu (berpuasalah agar sehat), hadits yang dianggap kontroversial karena sanad dan konten sambungannya. Kalimat lanjutan itu adalah ajakan perperang agar memperoleh rampasan, dan saran bepergian karena mendapat kekayaan. Tetapi jika itu hadits lemah, atau dianggap bukan hadits sama sekali, teks itu perlu juga mendapat perhatian di era serba makmur ini.

Berpuasa tampaknya perlu ditambatkan argumen lain, yaitu dunia saat ini penuh dengan makanan cepat saji. Godaan makanan lemak tinggi, instan, dan tidak diproses alamiah tampaknya perlu ditambahkan. Kita lihat negara-negara maju lima puluh tahun lalu sudah kebanjiran makanan cepat saji yang menular ke negara-negara lain di dunia.

Amerika, Jepang, Korea, China dan negara-negara lain, termasuk Indonesia mempunyai persoalan suguhan instan. Ketika musim seperti pandemi ini, dengan mudah kita memesan makanan dengan jasa delivery hanya lewat telfon genggam. Makanan secara cepat datang tanpa kita repot untuk mendatangi restoran.

Amerika sudah lama prihatin akibat dari makanan cepat saji seperti hamburger, pizza, sandwich dan hotdog. Amerika sudah lama mengamati kesehatan warganya dengan makanan cepat saji. Tidak berhenti di sana, seluruh dunia pun juga sudah sama kondisinya. Produk makanan serta cepat dan gurih sekarang menguasai dunia.

Indonesia bukan pengecualian. Ayam goreng, kentang goren, daging sapi olahan, dan roti-roti dari gandum sudah lama mengisi perut kita. Restoran-restoran franchise hadir di mall-mall. Bahkan di jalan-jalan tol sudah banyak dan mudah didapat.

Bagi kita saat ini, tidak sulit mencari makanan, tetapi sulit menghindari makanan. Makanan ada dimana-mana. Dalam perjalanan, sebelum tarawih, menjelang buka puasa, dalam waktu sahur, dan setelah itu. Makanan melimpah dan sengaja kita limpahkan. Harga makanan dasar naik. Tetapi masyarakat tidak perduli. Kita bisa dan mengusahakan memasak dan membeli makanan.

Berpuasa tampaknya bisa dikaitkan dengan mengurangi makanan demi kesehatan. Sebulan bisa menghindari di siang hari. Malamnya tidak ada jaminan tidak mampir atau pesan ke makanan instan.

Idealnya, dengan berpuasa kita menahan diri mengurangi makanan, termasuk juga makanan cepat saji. Asupan ke tubuh dikurangi untuk mengurangi beban badan.

Dengan mengurangi makanan, paling tidak kita hendaknya sahur dan buka dengan masakan di rumah. Dengan begitu tubuh kita rehat sebulan menghindari minyak berlebih, daging olahan, gorengan, dan bahan-bahan dibekukan dan bahan pengawet.

Namun, praktiknya tidak begitu. Di bulan Ramadan, semua restoran bertambah ramai, termasuk restoran cepat saji. Semua jenis makanan laris terjual, bahkan antrian dan rebutan.

Puasa bukan berarti menghentikan atau mengurangi konsumsi, tetapi malah menambah kuota. Mungkin hikmah lain perlu ditambahkan, bahwa puasa malah justru memutar roda ekonomi masyarakat lebih cepat. Alasan diet tampaknya kurang tepat.

Artikel ini telah tayang pada RMOL.ID dengan judul "Berpuasa karena Diet dan Pertumbuhan Ekonomi", 03/04/2022.