Harapan dan Kenyataan dalam Pandemi, Cermin Sains dalam Masyarakat Agamis
Oleh: Prof. Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Banyak harapan publik dalam menghadapi pandemi corona seperti ini akan berdampak pada perubahan pola hubungan antara manusia dan alam, negara dan rakyat, serta sains dan agama.
Tetapi sejujurnya, jangan terlalu menggantungkan angan-angan terlalu tinggi. Masyarakat akan kembali pada jati dirinya, dan hidup kita akan kembali berjalan sebagaimana biasanya. Perubahan akan jelas terasa pada peta demografi, rasanya terlalu berani mengharapkan perubahan sikap mendasar.
Kaget setelah pandemi akan berlalu begitu saja, sejarah akan mencatat wabah ini di buku-buku, sebagaimana juga peristiwa-peristiwa pahit lainnya yang telah menghantam umat manusia berkali-kali. Tentu dengan menggelembungnya angka kematian, komposisi penduduk bumi tidak lagi sama. Sekitar 6 miliar populasi berkurang 95.000-an orang, misalnya (saat menulis ini dilaporkan www.covid19.co.id). Sekitar 260 juta rakyat Indonesia berkurang 200, misalnya.
Duka akan menempel di pikiran untuk menjadi bahan renungan. Namun, percayalah kesedihan dan duka akan sementara. Manusia akan kembali seperti semula, karena musibah juga sudah banyak menimpa kita semua. Hidup akan berjalan sebagaimana yang telah berlalu, seperti bumi mengitari matahari; matahari beredar di galaksi; dan gravitasi galaksi saling tarik-menarik antar sesamanya. Catatan akan menjadi sejarah. Hanya sedikit yang belajar menjadi bijak. Beruntunglah yang berubah.
Negeri kepulauan ini sudah banyak tertimpa musibah karena letak geografisnya cincin api, baik bencana alam atau bahkan celaka karena ulah sesama manusia. Sering kita dilanda gunung meletus, gempa bumi, tsunami, gempa bumi, banjir, kecelakaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Setelah bencana biasanya kita akan menghela nafas dan termenung sejenak, namun hidup akan berjalan sebagaimana mestinya. Itulah hidup kawan, suka dan duka silih berganti.
Setelah wabah corona ini berlalu, sebagian dari kita akan sibuk mencari kerja baru, karena banyaknya PHK. Para pemodal akan memperhitungkan kan kembali putaran uang. Kios-kios akan buka kembali. Pasar akan ramai lagi. Sekolah akan segera menghadirkan para siswa di kelas. Para seniman akan kembali pentas. Mal akan berjubel. Gedung sinema akan ramai lagi. Pengajian umum akan banyak lagi. Nada pesimistis dan kritis pada perkembangan sains di Tanah Air pada saat masa pandemi terdengar nyaring. Alat-alat medis kita terbatas untuk melayani lonjakan pasien.
Penelitian kita kurang cepat dan tanggap. Dana penelitian tidak sesuai dengan harapan untuk menopang penemuan. Para ilmuwan kita tak terfasilitasi dengan baik karena perhatian tidak seimbang. Sebelum pandemi pun pembicaraan juga sudah seperti itu. Masa virus corona menghangatkan wacana. Mungkin setelah corona tema akan menghilang lagi. Wacana seperti itu muncul lagi entah kapan. Harapan publik terbesar yang terdengar adalah bagaimana Indonesia bisa mengikuti perkembangan pengetahuan, sains dan teknologi agar bisa bertahan dan bersaing dengan negara-negara lain.
Pelajaran untuk pemerintah dan masyarakat
Bayangannya, wabah Covid-19 ini memberi pelajaran agar pemerintah dan masyarakat mengutamakan pengetahuan, sains, dan teknologi. Dana pemerintah dan swasta supaya meningkat untuk penelitian.
Para ilmuwan agar bersemangat melakukan penelitian dan berusaha menemukan banyak solusi ilmiah dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. Kenyataan yang kira-kira akan terjadi, kita semua akan kembali pada jati diri kita, karena merasa dilindungi dengan doa-doa dan yakin bahwa Tuhan selalu berpihak pada bangsa ini. Tuhan telah menyelamatkan umat ini dan selalu berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang maju tetapi “arogan.” Mereka diazab, kita dicoba. Mereka ingkar, kita beriman. Apapun yang terjadi Tuhan mengistimewakan manusia pilihan-Nya.
Masyarakat kita agamis, dan akan seperti itu. Asumsi itu akan menguatkan rasa aman, dan menghibur di saat pemulihan pasca-bencana. Faktor agama tidak bisa disimpulkan hanya dari sisi negatifnya. Agama dalam masyarakat komunal Indonesia berarti juga kekuatan untuk bertahan dalam menghadapi hidup yang tidak pasti. Hidup terlalu rumit, rasa nyaman bisa didapat dengan bersembahyang secara bersama-sama, yang berfungsi sebagai terapi gratis dan efektif. Sisi agamis kita telah menyelamatkan jiwa kita saat penuh cobaan, seperti krisis ekonomi pasca runtuhnya Orba dan tsunami yang menghantam Aceh.
Jika Eropa dan Amerika secara teori mengandalkan sains dan rasionalitas, karena memang mampu mendanainya. Penelitian berjalan terus atas dukungan pemerintah dan sponsor swasta. Masyarakat juga memandang sains lebih utama dari faktor keagamaan, yang sudah lama dikritisi di masa Abad Pencerahan. Para peneliti merasa mampu hidup dengan penelitian dan temuannya.
Lembaga pengetahuan berjalan, walaupun sindiran juga sempat terlontar selama masa corona: bahwa para bintang bola dan tenis mendapatkan jutaan dollar, sementara para ilmuwan mendapatkan dana penelitian sekadarnya.
Mintalah pada Christiano Ronaldo atau Lionel Messi, jika masyarakat menuntut obat dan vaksin. Para selebritis olahraga mendapatkan dana yang cukup membiayai ratusan laboratorium mereka. Sains di Tanah Air tidak akan berjalan sendiri, tanpa legitimasi agama, karena ukuran kemanusiaan kita masih berbahasa teologis. Lembaga yang ditopang dana mandiri masyarakat hanya organisasi keagamaan, bukan lembaga keilmuan.
Masyarakat kita menjunjung tinggi simbol suci. Sponsor-sponsor swasta dan politik lebih nyaman berkolaborasi dengan tokoh normatif. Tokoh masyarakat mendapatkan pengaruhnya, ilmuwan hanyalah bagian dari umat. Semua nasihat lebih afdol jika ditopang dengan dalil dan dilegitimasi tafsir majelis formal. Perhatikan media kita yang dipenuhi dengan hal-hal normatif teologis dan hampir bisa dikatakan terlalu sedikit, jika ada, konten sains. Plot sinetron-sinetron yang tayang siang dan malam selalu mengulang-ulang pertarungan baik dan buruk, kaya dan miskin, benar dan salah, menurut norma dan kacamata teologis normatif.
Perkumpulan untuk publik dalam bentuk forum selalu dihiasi dengan harapan-harapan indah, entah dimengerti kontennya atau tidak. Semua narasi bermuara pada kehidupan setelah mati. Ilmu pengetahuan dan sains menjadi bahan olok-olokan karena tidak abadi. Banyak pembicaraan menyindir gagalnya rasio manusia dan ilmu sebagai produknya. Coba lihat Italia, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat, masyarakat maju yang kehilangan banyak nyawa saat corona. Jika pemirsa ingin sedikit pendidikan pengetahuan, tentang kehidupan, alam, matematika, sejarah, hanya disajikan di channel-channel berbahasa asing. Sedikit kita yang mampu mengerti.
Kanal-kanal di Youtube asing banyak dipenuhi bahkan dengan rekaman-rekaman sejarah dan geografi Indonesia. Sedangkan kanal-kanal kita memproduksi candaan diselingi dogma-dogma yang lebih mengetengahkan kehidupan kekal dan abadi. Muhammad Abduh, tokoh modernis dan reformis Mesir abad 20 awal, benar tampaknya bahwa dogma keagamaan di negara-negara jajahan banyak merugikan akal. Sementara Muhammad Arkoun, tokoh Aljazair abad 21 yang tinggal di Paris, menyindir pengulangan cerita dan pola pikir yang sama di semua wacana pendidikan keagamaan. Bahkan Sukarno, Bapak Bangsa kita, juga jauh-jauh hari sering menyindir dalam berbagai tulisannya terhadap cupetnya akal dalam berfikir terutama di hadapkan doktrin yang sering memundurkan bangsa.
Sampai kini, agama menjadi tempat teduh untuk kenyamanan, jangan-jangan karena gagalnya pendidikan ilmu, sains dan pengetahuan kita. Masyarakat agamis akan melahirkan pemerintahan agamis. Ilmuwan agamis juga lahir dari situ. Saat menghadapi pandemi, kita berdoa demi keselamatan. Pasca-pandemi meneruskan doa untuk mencari kesempatan yang hilang. Politisi, pedagang, seniman, dan ilmuwan semua berdoa agar kehidupan baik-baik saja. Mari kita sematkan sikap optimisme agar sains dan teknologi dilindungi norma agama: bahwa agama menyuruh kita berpengetahuan dan menggiatkan penelitian untuk menemukan obat saat sakit dan perlindungan saat marabahaya datang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Harapan dan Kenyataaan dalam Pandemi, Cermin Sains dalam Masyarakat Agamis",edisi17/04/2020, 11:53 WIB
Baca juga: Kekerasan Daring dan Luring