Bangsa yang Ramah, Bukan Pemarah

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga)

Keramahan bangsa kita, dari dulu sudah dibanggakan. Cerita tentang senyuman, kisah persahabatan, dan berbagai berita tentang hubungan antar manusia menghiasi dongeng dan legenda. Berbagai etnis dan budaya lokal menawarkan kesantunan yang berbeda-beda.

Keramahan sudah menjadi mitos, legenda, dan mengakar di berbagai pulau di negeri ini. Bahkan keramahan inilah yang banyak diminati bangsa asing untuk datang. Mereka datang untuk bersahabat lewat berbagai kerajaan. Mereka ke sini untuk membangun relasi. Mereka berkunjung untuk menikmati anugerah manusia dan alam. Mereka juga berlabuh untuk menjajah.

Keramahan lewat senyuman, sapaan, dan tawaran kebaikan, banyak dijumpai lewat bermacam-macam etnis dan bahasa. Dari arah timur misalnya, di Menado, sapaan dan tawaran makanan setiap bertamu ke rumah-rumah kita dapati. Ketika bertandang ke Menado, sapaan akrab dan bersahabat, berupa pertanyaan: sudah makan belum, merupakan tanda perhatian. Etnis dan tradisi ini menawarkan banyak keramahan, senyuman, persahabatan, dan tawaran perkawanan.

Etnis Madura juga tidak kalah ramahnya, jika berkunjung ke pulau itu. Tawaran makanan, suguhan, dan berbagai kekeluargaan akan kita dapati. Setia kawan dan saling membantu kita jumpai. Pulau garam, panas, tetapi penghuninya bersahabat.

Dari ujung Aceh, dengan kedai-kedai kopinya, keramahan merupakan hal-hal sehari-hari. Di kedai-kedai itu, cengkerama penuh ceria terjadi, di siang hari, sore, bahkan sampai larut malam dan pagi. Sambil menenggak kopi berbagai jenis, saling menyapa, bernostalgia, dan berkenalan dengan orang baru terjadi. Suasana persahabatan di kedai kopi, saling berbagi cerita, dan bergurau mudah sekali di dapati di ujung Indonesia ini.

Di Kalimantan, berbagai etnis: Banjar, Dayak, Bugis, Jawa dan Melayu menawarkan senyuman dan sapaan yang khas. Bahkan, di Kalimantan Tengah, ada banyak budaya yang menyatukan antar iman dan agama. Seperti prinsip humabetang, yaitu rumah panjang dan luas yang mampu menampung semua iman, dalam keluarga besar dan ke arah samping, depan, dan belakang.

Keramahan bukan basa basi. Persahabatan antar etnis, sahabat lama dan teman baru, merupakan kekuatan dan disitulah kunci dari bertahannya bangsa ini. Negeri ini hidup karena saling sapa, saling mengerti, dan saling bantu.

Gotong royong bukan sekedar simbol dan ungkapan. Dari membangun rumah, membersihkan lingkungan, kendurian, upacara keagamaan, hari raya, dan lain-lain. Semua penuh kebersamaan. Masyakarat kita berpola komunal, jamaah, dan perkumpulan tradisional yang menjadi basis struktur sosial.

Tetapi, kenapa ada sisi lain yang sudah lama juga dicatat oleh pemerintah kolonial, tentang amuk? Bahkan kata amok, sudah masuk dalam bahasa Eropa dan itu lekat pada bangsa kita jua. Hati-hati amuk massa. Hati-hati pengeroyokan. Jangan anggap remeh penghakiman jalanan. Itu semua juga hadir dalam khazanah sosial Indonesia.

Banyak jurnal ilmiah yang mencatat intoleransi yang meningkat tajam setelah Reformasi ini. Rumah ibadah milik minoritas, jamaah yang tidak mempunyai kekuatan massa, kelompok yang tidak mempunyai daya tawar politik dan ekonomi besar, semua mendapatkan persekusi dan perlakuan yang tidak adil.

Satu sisi ada mitos keramahan, sisi lain ada fakta tentang kemarahan massa, sensitifnya emosi, mudah tersinggung, dan penyudutan ramai-ramai. Coba kita hubungkan dan fahami dua hal yang berlawanan ini.

Jika menyangkut individu, tidak menyangkut kelompok, etnis, dan agama, aman semua. Tetapi jika isu seputar identitas disinggung, yang terjadi adalah keprihatinan. Marah bersama, menyudutkan ramai-ramai, dan penghakiman kolektif.

Lihatlah medsos kita: Instagram, facebook, twitter, penuh dengan ujaran kebencian. Jika ada yang salah ucap, salah tulis, atau bahkan tidak salah sekalipun, hanya sedikit berbeda dari pandangan umum, yang lahir adalah makian, cercaan, cacian kata-kata yang sangat tidak senonoh. Di level Asia Tenggara, medsos kita paling penuh ujaran kebencian.

Dimana keramahan yang sudah menjadi mitos itu? Dimana kesantunan yang sudah menjadi barang merk dagangan selama berabad-abad itu? Jangan-jangan budaya amok, atau amuk kita, lebih kuat dari keramahan kita? Atau kita mempunyai dua sifat itu sekaligus?

Tampaknya, jika kita runut ada perbedaan. Keramahan adalah tradisi yang melekat, jika dalam kondisi damai. Keramahan jika berkaitan dengan keluarga dan individu. Keramahan jika tidak ada masalah, tidak ada yang tersinggung.

Amuk sewaktu-waktu akan muncul jika menyangkut persinggungan identitas, etnis, kelompok, agama, dan jamaah.

Patut juga dicatat bahwa perbedaan belum betul-betul menjadi tradisi kita. Orang yang tampil berbeda belum mendapatkan tempat. Tidaklah berlebihan jika kita simpulkan bahwa, hampir semua hanya mengikuti arus. Musim apa ini, durian, mangga, jambu, atau rambutan. Suasana kita sesuai dengan flora dan fauna kita, musiman.

Alam kita subur, semua menghijau. Gunung menjulang. Pantai meluas. Lautan membiru. Sawah menghampar. Langit indah dengan semua pemandangan laut, pantai, gunung, sawah, pedesaan, dan jalan-jalan setapak. Semua melahirkan senyuman. Semua memicu sikap ramah. Alam ramah, pemandangan indah, di negeri kepulauan ini, melahirkan persahabatan.

Negeri kita subur, bukan padang pasir. Negeri kita hijau, tidak gersang. Negeri kita penuh dengan anugerah alam, tidak kejam. Air di lautan tak terukur. Air tawar, meskipun berlimpah, menipis juga.

Kenapa sedikit berbeda dari umum berarti penodaan? Kenapa sedikit pandangan lain, ada penghakiman? Kenapa sedikit kritik, berarti perlawanan?

Artikel ini telah diterbitkan di halaman publika.rmol.id dengan judul "Bangsa yang Ramah, Bukan Pemarah" edisi Rabu, 02/02/2022, 23:12 WIB

Baca juga: Harga Perdamaian: Murah?

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler