Pemberontakan terhadap Penguasa yang Zhalim

Oleh: Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi, Lc.,M.Ag (Guru BesarFakultas Adab dab Ilmu Budaya)

Revolusi Arab atau yang biasa disebut Arab Spring, muncul pada akhir 2010 hingga awal 2011, akibat krisis politik di sebagian besar negara Arab. Revolusi tersebut merupakan gerakan rakyat yang ingin mengubah rezim diktator yang berkuasa dan menerapkan sistem demokrasi di negara mereka. Salah satu isu yang paling menonjol yang menimbulkan kontroversi dari revolusi tersebut adalah isu pemberontakan terhadap penguasa (al-Khurūj 'alā al-Ḥākim) yang zalim.

Saudara Taufiqul Hadi, Dosen Tetap pada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, sebelumnya Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama (STIS-NU) Aceh, telah meneliti topik tersebut dalam format disertasi dan mempertahankannya di depan sidang Promosi Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mengkaji pemikiran al-Būṭī dan al-Qaradāwī dalam permasalahan al-Khurūj 'alā al-Ḥākim khususnya dalam konteks revolusi Suriah yang keduanya mempunyai pandangan yang berdekatan sebelum revolusi, namun menjadi berseberangan setelahnya.

Penelitian tersebut mendiskusikan sejauh mana keterlibatan kognisi sosial di dalam proses penggalian hukum (istinbāṭ), dengan melihat pengaruh lingkungan, afiliasi dan wacana media yang turut membentuk sikap seseorang dalam memandang kasus tertentu dalam konteks wacana al-Būṭī dan al-Qaradāwī dalam revolusi Suriah

Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan normatif, pendekatan historis dan pendekatan komparatif. Pendekatan normatif didasarkan pada ajaran Islam, khususnya dalam teori fikih tentang masalah al-Khurūj 'alā al-Ḥākim. Pendekatan sejarah digunakan untuk mendapatkan biografi al-Būṭī dan al-Qaradāwī. Sedangkan pendekatan komparatif digunakan untuk membandingkan pandangan al-Būṭī dan al-Qaradāwī mengenai isu al-Khurūj 'alā al-Ḥākim dan revolusi Suriah.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa al-Būṭī menolak perlawanan terhadap pemimpin, baik sebelum maupun sesudah revolusi Suriah, dan menganggap perlawanan itu sebagai fitnah dikarenakan pemimpin tersebut belum mencapai batas kufur yang nyata. Sedangkan al-Qaradāwī terjadi perubahan sikap, awalnya ia membatasi perlawanan bersenjata terhadap pemimpin dan menganggapnya sebagai sikap kaum Khawārij, namun setelah pecahnya revolusi Suriah, ia mendukung revolusi dan pihak oposisi dalam gerakan perlawanan bersenjata terhadap pemimpin di Suriah. Aspek yang menyebabkan perbedaan pendapat keduanya karena adanya perbedaan dalam pemahaman hadis yang memerintahkan bersabar atas ketidakadilan pemimpin, perbedaan kriteria Ḥākim yang wajib ditaati, perbedaan atas legalitas revolusi dan perbedaan kecenderungan politik dan ideologis di antara keduanya. Dilihat dari penggunaan dalil dan metodologi, al-Būṭī lebih konsisten dari pada al-Qaradāwī jika dibandingkan sebelum maupun sesudah revolusi.

Dengan menggunakan pendekatan analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk, terlihat adanya keterlibatan kognisi sosial dalam proses istinbāṭ hukum yang dikeluarkan keduanya dalam bentuk fatwa ketika merespon gerakan revolusi di Suriah, dengan asumsi bahwa sikap al-Būṭī tersebut tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosialnya, sedangkan al-Qaradāwī dipengaruhi dari wacana yang dikembangkan oleh media, di samping adanya perbedaan afiliasi keduanya sehingga melahirkan sikap pro dan kontra terhadap revolusi Suriah. Dalam kaitannya dengan teori al-Imāmah kontemporer, konsep oposisi turut berkembang seiring dengan perkembangan konsep kepemimpinan negara bangsa yang bersifat komprehensif, maka penelitian ini menunjukkan para ulama kontemporer tidak lagi mengikuti secara konsisten apa yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, mereka lebih mengembangkan al-Khurūj 'alā al-Ḥākim sebagai desakan atau tuntutan, bukan berbentuk oposisi kekerasan sebagaimana yang diklasifikasikan oleh para ulama terdahulu di dalam kitab-kitab mereka.

Posisi al-Būṭī menjadi kontroversial karena penolakannya terhadap revolusi Suriah. al-Būṭī mengeluarkan serangkaian fatwa yang menimbulkan perdebatan antara pendukung dan penentang rezim Suriah, al-Būṭī banyak berbicara tentang pihak luar yang ingin mengacaukan negara. Dari posisinya tersebut, orang-orang menuduhnya sebagai pendukung kediktatoran, dan ia tewas dalam aksi bom bunuh diri saat mengajar di Masjid Al-Iman di Damaskus. Mengenai masalah pemberontakan terhadap penguasa dalam hukum Islam, al-Būṭī berpendapat bahwa pemimpin tidak boleh ditaati dalam hal kemaksiatan, tetapi tidak boleh khuruj (melakukan pemberontakan) kepadanya, melainkan cukup dengan ekspresi ketidaktaatan saja, meskipun pemimpin telah menunjukkan bukti-bukti akan kefasihannya.

al-Būṭī mengutip beberapa pendapat fuqaha, seperti al-Nawawi, Ibn Najim, dan al-Bajuri, yang mencegah pemberontakan terhadap penguasa dan keharusan patuh terhadapnya meskipun dia tidak adil, ia juga mengutip beberapa hadits untuk mendukung pendapatnya. al-Būṭī menggunakan dalil dan metodologi dalam bentuk yang konsisten baik sebelum maupun sesudah revolusi Suriah. Ia menggunakan Sadd al-Dzara'i’ (menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang) sebagai metode ushul dalam bentuk yang jelas dalam konteks pemahamannya tentang gagasan al-khuruj ala al-hakim dan kaitannya dengan konsep fitnah.

Adapun Al-Qaradawi, sebagaimana disebutkan dalam bukunya Fiqh al-Jihâd, dia menyerukan umat Islam untuk mengubah kejahatan sesuai dengan kemampuan manusia dalam menghadapi penguasa yang tidak adil, membimbing mereka dengan nasihat dan edukasi. Namun dalam perjalanan revolusi Arab, kehadirannya melalui fatwanya menunjukkan ide yang berbeda dari apa yang tertulis dalam buku tersebut, ia mengungkapkan bahwa dirinya seorang prajurit dalam semua revolusi Musim Semi Arab, dan menyerukan melaksanakan revolusi dengan mengerahkan segala usaha dan pengorbanan.

Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti mengajukan dua pertanyaan, yaitu: Apakah pemikiran al-Būṭī tentang isu pemberontakan terhadap penguasa yang zalim sesuai dengan zaman sekarang? Apakah dalam kasus ini pemikiran al-Qarâdawi tidak konsisten? Fenomena kontradiktif inilah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang persoalan pemberontakan terhadap penguasa dalam pemikiran Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dan Yusuf Al-Qarâdawi.

Untuk menganalisis permasalahan tersebut peneliti memerlukan informasi tentang konteks sosial. Maka, peneliti menggunakan teori kognisi sosial Teun A. Van Dijk dalam Critical Discourse Studies, yaitu sebuah gerakan ilmiah yang tertarik pada pembentukan teori dan analisis kritis terhadap wacana yang mereproduksi penyalahgunaan kekuasaan dan asimetri sosial dari konsep kekuasaan. Sejumlah konsep studi wacana kritis perlu dirumuskan sesuai dengan konsep dasar ilmu-ilmu sosial.

Dengan pendekatan kognisi sosial, Van Dijk tidak hanya menganalisis teks, tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial dan dominasi kelompok-kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi dan kesadaran membentuk dan mempengaruhi teks-teks tertentu. Wacana, menurut Van Dijk, memiliki tiga dimensi: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Tujuannya adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut menjadi satu kesatuan analisis.

Titik persamaan antara pemikiran al-Būṭī dan al-Qarâdawi, dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin, yaitu: a. Mengkritisi posisi kelompok garis keras dalam fikih al-Khurûj ‘ala al-Hâkim, b. Amar ma’ruf nahi munkar terhadap pemimpin adalah kewajiban hukum, c. Upaya keduanya dalam mengembangkan pendekatan moderasi. Adapun titik perbedaan antara keduanya yang menimbulkan kontroversi dalam isu ini adalah: a posisi dalam al-Khuruj ala al-Hakim yang zalim dengan senjata, b. kontradiksi dalam penggunaan dalil, c. Perbedaan dalam memahami konsep fitnah dan jihad, khususnya dalam kasus Revolusi Suriah.

Penyebab perbedaan pendapat antara al-Būṭī dan Al-Qarâdawi dalam hukum al-Khuruj ala al-Hâkim yang zalim tidak jauh berbeda dengan uraian para fuqaha sebelumnya. Peneliti merangkumnya ke dalam beberapa sebab yaitu:

1. Perbedaan dalam memahami hadis yang memerintahkan kesabaran atas ketidakadilan pemimpin, keduanya berbeda pendapat dalam keabsahan hadis Hudhayfah ibn al-Yaman. al- Qaradhawi berbeda dari al-Buthi, ia membantah argumen orang-orang yang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mencegah orang dari memberontak terhadap pemimpin yang zalim baik dengan demonstrasi damai maupun dengan revolusi bersenjata;

2. Perbedaan kriteria penguasa yang tidak diperbolehkan dilakukan pemberontakan terhadapnya. al-Buthi berpendapat bahwa otoritas pemimpin yang sah melalui salah satu dari tiga cara, yaitu bai'at, penunjukkan terhadapnya, dan dengan cara paksa. Maka tidak boleh khuruj ala al-hakim betapapun ia tidak adil atau fasiq. Sedangkan al-Qaradawi melihat pemimpin yang tidak disukai dan tidak diinginkan rakyat, namun ia memaksakan dirinya untuk menjadi pemimpin maka pemimpin tersebut tidak wajib ditaati. 3. Perbedaan antara keduanya dalam legitimasi revolusi di Suriah, apakah termasuk dalam konsep fitnah atau tidak? dan 4. perbedaan tren politik dan ideologi di antara keduanya.

Kasus revolusi Suriah dan kasus pemberontakan di negara-negara Arab banyak dimotivasi oleh pemahaman teks keagamaan yang ditopang oleh kognisi sosial yang memprodusir pemahaman sesuai dengan tren politik dan ideologi yang dianut. Sudah selayaknya kita bangsa Indonesia yang menganut moderasi dalam beragama, mengambil pelajaran dari gejolak di Timur Tengah tersebut, apalagi sekarang menghadapi tahun politik yang sangat rentan dengan konflik sosial. Semoga pergolakan politik yang pernah terjadi di Timur Tengah tidak terjadi di Tanah Air kita, Âmîn.

Artikel ini telah terbit pada rubrik Khazanah republika.co.id dengan tajuk "Mengapa Syekh Ramadhan Al-Buthi dan Yusuf Al-Qaradhawi Berbeda Soal Suriah dan Assad?" edisi Kamis, 26 Januari 2023.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler