Beragama, Bernegara, dan Berilmu
Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga)
Tiga hal besar dalam Republik ini yang tidak akan lekang oleh waktu dalam diskusi politik, publik, dan pendidikan: agama, negara, dan ilmu. Tidak mungkin menghindari tiga tema ini. Jika gagal merumuskan hubungan ketiganya dengan bijak, bangsa ini bisa saja terlindas zaman. Maka, renungan secara mendalam perlu diperbaharui setiap konteks dan keadaan.
Ketika negara ini hendak didirikan waktu itu, perdebatan besar seputar dasar dan bentuk bernegara saling tarik menarik bagaimana bisa berpolitik tetapi juga tetap beragama.
Dua hal itu bisa saling bertentangan, namun jika tepat rumusnya, bisa saling melengkapi.
Dari dua kutub ekstrem, apakah bentuk negara agama atau negara sekuler, jalan tengahlah yang dipilih oleh para pendiri dan pemersatu bangsa.
Jalan itu berupa Pancasila, yang selalu terbuka tafsirnya dan menekankan moderasi dan menghindari radikalisme dalam berideologi.
Jelas, beragama secara kaku tidak sesuai dengan kultur Nusantara yang beragam dan dinamis. Begitu pesan Soekarno, sang proklamator, dan HOS Tjokroaminoto, sang guru, jauh-jauh hari.
Mengambil arti secara literal apa yang tertera dalam Kitab Suci dan membabi buta mengikuti makna dan pakem ritual, teologi, dan norma agama tidak banyak memberi ruang ijtihad (baca: usaha menemukan jalan baru dan terbaik). Ijtihad adalah pintu kemajuan. Negeri di bawah angin ini bahkan sejak era mistis Wali Songo di Jawa dan legenda-legenda sakti lain di pulau bertebaran di zamrud khatulistiwa sudah lama berijtihad dalam urusan seni, budaya, dan sastra.
Para sesepuh menggabungkan budaya, agama, dan kemanusiaan. Itu yang bisa kita maknai sebagai beragama secara moderat. Itulah jalan Pancasila. Titik temu bidang yang sepertinya bertentangan, namun jika terkait secara selaras akan menjadi unik dan indah: beragama sekaligus bernegara. Solusi atas peliknya hubungan antara agama dan politik adalah terjaminnya kebebasan pemeluk agama-agama oleh negara. Begitu nasihat Driyarkara, imam dan intelektual yang mengalami era Soekarno dan Orde Baru.
Idealnya, agama menyumbang norma, moral, dan karakter, sedangkan negara bertindak sebagai pelindung yang menjaga muruah agama-agama yang ada. Dengan begitu, bernegara dan beragama tidak berbenturan. Begitu juga antar agama tidak terjadi konflik. Terangnya, jalan tengah ini tidak hanya menyelamatkan perdebatan yang tiada berujung, pilih agama atau negara, tetapi juga menjaga keselarasan hubungan antar iman di negeri yang kaya warisan keagamaan. Di era Orde Baru, ramuan cerdik antara agama dan politik digunakan secara efektif untuk menjaga stabilitas dan menopang kekuasaan tiga dekade.
Rakyat Indonesia adalah penyabar, ritme itu diikuti hingga pemerintah itu runtuh ditelan gegap gempita Reformasi. Demokratisasi hasil dari Reformasi menambah satu pekerjaan rumah, di manakah letak ilmu pengetahuan di hadapan agama dan negara? Baik di zaman kemerdekaan awal dan Orde Baru, potensi hubungan pelik ilmu pengetahuan dengan agama dan negara belum mengganggu.
Tiga puluh tahun lalu, ilmu pengetahuan dan sains belum secepat dan semasif sekarang ini. Waktu itu belum musim jurnal Scopus, sistem penjurnalan Sinta belum tayang, akreditasi belum lahir, dan Google Scholar belum bisa diklik dan keluar nama-nama para pengarang dan peneliti. Tidak hanya ilmu yang cepat, era digitalisasi dan media sosial instan ini melahirkan persoalan baru. Berilmu, beragama, dan bernegara bisa saja dibenturkan. Ilmu bisa dianggap bertentangan dengan agama, jika keduanya dianggap bersaing dalam wewenang publik, kebijakan pemerintah, dan prioritas langkah politik. Ilmuwan merasa dipinggirkan oleh selebritis dan youtuber.
Agamawan merasa memegang kendali. Politisi kurang pas dalam memberi ruang demi keadilan dan kemajuan. Popularitas bisa diraih tiba-tiba dengan ribuan like dan dislike. Namun, sebetulnya ilmu dan agama saling membesarkan. Dalam sejarah Republik ini, madrasah, pesantren, seminari, misionaris, perguruan tinggi, didirikan atas nama agama dan organisasi keagamaan. Ilmu dan agama saling mendukung dan melindungi. Di sisi lain, negara juga membiayai pendidikan dari dasar sampai universitas. Jelaslah negara telah dan akan terus menanam saham untuk ilmu pengetahuan demi generasi mendatang yang lebih baik. Jadi agama, negara, dan ilmu sudah lama saling terkait dan saling membesarkan. Namun, dimanakah letak perdebatan yang membenturkan ilmu, agama dan negara? Sepertinya, itu benar terjadi, jika keseimbangan antara ketiganya berkurang. Ada salah satu komponen dalam satu resep itu yang kurang porsi.
Ibarat masakan, terlalu banyak garam akan keasinan. Kurang cabai, lidah tidak merasa pedas. Kebanyakan kecap, hidangan terlalu manis. Resep yang tidak tepat itu terasa pada dataran ideologi, pencitraan media sosial, dan politik praktis instan. Beberapa minggu ini disuguhi youtube seorang ustaz yang menghujat teori Darwin dan bahkan lagu anak-anak balonku ada lima, wawancara Youtube terkenal di media sosial yang menerangkan Covid-19 hasil konspirasi negara-negara besar, pendakwah trendi dan kondang keliru membaca Arab, tuduhan adanya paham saintisme yang tidak berdasar penelitian, ilmu dianggap kepongahan, popularitas mengalahkan pengetahuan; dan lain-lain. Jelasnya, keselarasan antara agama, negara, dan ilmu saat ini sepertinya belum tercapai karena salah satu komponen tidak mendapatkan porsi yang seharusnya.
Komponen politik berlimpah, bahkan seolah-olah semua kita ahli dalam bidang ini. Komponen agama tak kalah, karena faktor komersialisasi dan popularitas dakwah yang mengalahkan isi. Bobot ilmu terasa ringan sekali dan tak mampu mengimbangi keduanya, karena tidak cukup mendapatkan bagian. Bisakah bangsa ini beragama, bernegara dan berilmu secara tepat dalam menghadapi era serba digital terbuka dan serba terukur yang mudah dilihat melalui website, portal, dan indeks?
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com dengan judul "Beragama, Bernegara, dan Berilmu" pada Rabu, 01/07/2020 16:00 WIB