Ilmu sebagai Kekalahan

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga)

Jika diibaratkan dalam sebuah perlombaan antara pengetahuan dan sektor lain di Republik ini, maka ilmu berada berdiri di garis paling bontot. Bidang-bidang kehidupan lain dipertimbangkan oleh masyarakat kita dalam hidup, terutama agama, ekonomi dan politik, pengetahuan mendapatkan porsi yang minim dan mungkin prioritas terakhir. Bahkan dunia pendidikan kita, tidak cukup menempatkan ilmu sebagai barang terpenting.

Para guru dan mereka yang berkhotbah di mimbar-mimbar sering menyerang ilmu pengetahuan sebagai produk duniawi, yang tidak menjanjikan pahala surgawi. Ilmu adalah produk manusia, iman terhadapnya adalah salah. Tidak keliru, ilmu itu dinamis dan keraguan dalam memeluknya adalah jalan yang selama ini ditempuh para ilmuwan. Namun, yang terlanjur sesat adalah ideologi yang mengkerdilkan ilmu dalam kehidupan.

Dalam berbagai suasana dan kondisi, ilmu dan sains selalu jadi bahan candaan. Agama, ekonomi, dan politik, di atas semuanya. Seni dan olahraga juga anak tiri lain di negeri ini. Ironisnya, masyarakat kita terlepas dari semua jenis profesi, etnis, dan iman kenyataannya memakai berbagai jenis produk sains dan perkembangan terkini. Lebih ironis lagi, dari kendaraan merek mesin teranyar, HP teknologi android terbaru, jenis medsos dengan aplikasi ter-updated, sampai WhatsApp group dengan anggota teraktif dalam sharing dan forward berita-berita politik dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral, banyak sekali yang menertawakan proses sains dan teknologi. Dus, kita lebih percaya pada rumor, mitos, berita-berita tak jelas asal muasal dan landasan, dan nasehat-nasehat ukhrawi yang sama namun diulang-ulang.

Jelasnya, bangsa ini memakai produk sains dan teknologi ala globalisasi dengan bangga, tetapi mengimani ideologi dan kepercayaan yang melawannya. Ibaratnya, kita semua ini sedang selfie dengan telepon genggam teranyar, tetapi tetap menunggangi kereta ditarik kuda seperti ratusan tahun silam. Sebuah ironi memang, ketidakpercayaan pada proses, tetapi pemakaian produknya dengan riang gembira. Cara berpikir masyarakat kita masih jauh ke belakang ratusan tahun, tetapi dengan senang hati mengkonsumsi produk sains terkini. Itulah kita, bangsa kita saat ini.

Sebuah sinisme dan pesimisme yang tak perlu diperjelas lagi, namun kadangkala relevan sebagai kritik terhadap kondisi terkini. Gambaran naif ini tidak berlebihan untuk melukiskan kontradiksi dan kekecewaan karena ilmu pengetahuan dipecundangi.

Dalam mimbar-mimbar, berlimpahlah anekdot-anekdot yang selalu merendahkan dan mengkerdilkan produk tidak suci: ilmu pengetahuan. Nasib para ilmuwan juga tidak mendapat tempat selayaknya, karena tidak popular. Mereka juga tidak mempunyai daya kekuatan yang layak untuk ditawarkan baik pada masyarakat maupun orang-orang politik. Sama seperti gambaran kontradiktif kereta kuda dan telepon genggam, para politikus kita juga sebenarnya percaya pada sains dalam pemenangan pesta demokrasi mereka: survei, statistik, polling, angka, dan prediksi. Tetapi dalam bargaining selanjutnya, pengetahuan tempatnya hanya bangku-bangku sekolah dasar.

Kebijakan-kebijakan berbau saintis yang merugikan popularitas akan segera dipotong. Selama masa Corona ini, berapa versi penyebaran, korban, dan kematian selalu dinamis. Angka resmi, angka informal, prediksi asal, rumor, teori konspirasi, dan hal-hal tak masuk akal seringkali lebih diterima khalayak. Kebijakan demi kebijakan dari berbagai daerah dan pusat tidak semuanya didahului oleh penelitian. Keputusan publik banyak pertimbangan. Ilmu dan produknya jika menyangkut massa mendapatkan ruang tidak leluasa. Pemimpin dan masyarakat jarang berbeda, karena keduanya saling memproduksi. Masyarakat akan melahirkan pemimpin yang seselera, begitu juga pemimpin akan mengaturnya sesuai dengan musimnya.

Harapan kita akan terobosan, masih terus didoakan dan diupayakan semoga kelak suatu saat ada perubahan ideologi, kebijakan, dan sikap terhadap sains dan pengetahuan. Di dunia global ini, ilmu dan kapitalisme kawin-mawin, dan itulah yang melahirkan banyak perubahan di negara adidaya Amerika. Sejarah penemuan dan paten selalu berkelindan dengan modal besar. Modal kecil akan dilindas oleh modal besar: seperti cerita persaingan Nicholas Tesla lawan Thomas Alfa Edison, serta Wright bersaudara lawan Glen Curtis. Hingga kini, pasar global telah menyaksikan kiprah usaha raksasa perpaduan pengetahuan dan kapitalisme di Amerika, seperti Microsoft, Apple, Facebook, Google, dan lain-lain.

Namun, karena politik identitas dan konservatisme sedang naik daun, banyak keputusan-keputusan politik di negeri adidaya itu justru menjadi bahan tertawaan, seperti respons terhadap virus corona yang lamban yang berakibat fatal dan anjuran sang presiden untuk menyuntik pasien dengan antiseptik. Pertarungan Demokrat dan Republikan dalam pesta demokrasi pemilihan presiden mendatang akan berkelindan pada pertarungan populisme dan keterbukaan. Sikap moral saintifik sedang dipertaruhkan. Di Indonesia, sejak kebangkitan ekonomi dan investasi modal pasca runtuhnya Orde Baru, pasar telah menggaet sentimen keagamaan. Modal besar di pasar dan tren publik menyatu dengan kebangkitan konservatisme. Bisnis dan popularitas selalu terkait dengan sentimen publik pada penampilan kesalehan di muka umum. Semua berbau agama layak dibisniskan dan ternyata membawa profit. Faktor agama telah mendongkrak politik dan juga sektor bisnis.

Para artis dan figur publik sadar betul bahwa faktor kesalehan cukup efektif dan layak dipertimbangkan untuk menarik simpati massa. Perlu disadari bahwa ilmu pengetahuan tampaknya belum serius akan kawin dengan makhluk jenis apa pun di negeri ini: politik dan ekonomi tampaknya masih ogah untuk bergandengan dengan ilmu. Belum ada ilmuwan yang nekat dengan modalnya. Belum ada pula sambutan modal besar yang mendanai riset yang ambisius. Kitab berharap dan tetap optimis, sambil melihat negeri lain di Asia seperti Singapura, Korea, China dan Jepang. Kapitalisme dan pasar bebas, jika sistem ini dianggap paling relevan dengan demokrasi saat ini, perlu disuntik dengan sains dan teknologi, tidak hanya mempertahankan permainan mimbar sambil memoles penampilan khusuk dan kata-kata saleh.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com dengan judul "Ilmu sebagai Kekalahan" pada Senin, 08/06/2020 16:10 WIB

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler