Mutiara-Mutiara Hikmah Ibn Athâillah
Oleh: Prof. Dr. H. Syihabuddin Qalyubi, Lc. M.Ag
(Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Bismillâhirrahmânirrahîm. Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw Rasulullah, para keluarganya para shahabatnya serta seluruh waliyullah, terutama Ibn Athâillah pengarang kitab al-Hikam al-‘Athâiyyah.
Dengan memohon petunjuk Allah SWT, al-faqîr akan mencoba memahami kitab al-Hikam yang penuh gaya bahasa tinggi, dan muatan makna yang sangat menyentuh hati. Gaya bahasa yang digunakan Ibn Athâillah dalam menyusun kata-kata mutiaranya sangat khas. Ia gunakan pilihan diksi yang akurat dan kalimat yang ringkas. Ia memakai seni imagery (penggambaran) yang sangat memukau para pembaca atau pendengarnya. Al-faqîr mencoba memahaminya melalui aspek bahasa dan sastra dan melalui beberapa kitab syarah al-Hikam, antara lain yang diulis oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ubbâd al- Randi, Abdullah Syarqowi, Ahmad ibn Muhammad ibn Ajibah al-Hasani , Abi al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Zarruq Muhammad Sa’id Ramadhan al Būthi, beberapa artikel jurnal dan karya-karya ilmiahnya lainnya.
Berikut ini akan akan al-faqir urutkan penjelasannya satu demi satu:
Mutiara Hikmah: 1
مِنْ عَلَامَةِ الِاعْتِمادِ عَلَى العَمَل – نُقْصَانُ الرَجاءِ عِنْدَ وُجُودِ الزَلَل
Diantara tanda seseorang mengandalkan dirinya pada amal (ibadah/perbuatan) nya adalah kurangnya pengharapan (kepada rahmat Allah swt) ketika tersandung musibah atau dosa.
Berdasarkan analisis kebahasaan, kata mutiara ini menggunakan uslub al-taqdîm wa al-ta’khîr (gaya pengedepanan dan pembelakangan) dimulai dengan mendahulukan khabar (predikat) atas mubtada (subjeknya), yaitu prase min ‘alâmatil i’timâd ‘alal-‘amal (di antara tanda orang yang mengandalkan diri pada amal). Style ini digunakan supaya pesan yang disampaikan dapat langsung ditangkap pembaca. Penggunaan huruf jar “min” mengandung makna littab’îdh (sebagian) dalam pengertian bahwa berkurangnya harapan kepada Allah itu adalah sebagian dari tanda-tanda mengandalkan diri kepada amal ibadahnya, jadi masih ada lagi tanda-tanda lainnya.
Kata ‘alâmah mengandung arti makna tanda tertentu (seperti rambu lalu lintas) atau gambar yang melambangkan keberadaan sesuatu (seperti gambar bahaya zat beracun), sedangkan ‘ilm al-‘alâmah dalam linguistik adalah semiotika (sebuah disiplin ilmu dan metode analisis yang dapat mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada suatu objek untuk diketahui makna yang terkandung dalam objek tersebut.)
Kata al-I’timâd derivasi dari kata i’tamada ya’tamidu kata sinonimnya ittikâl artinya mengandalkan atau menyandarkan diri. Sebagaimana peribahasa Arab:
لَا تَشْرَبْ السَمَّ اِتِّكالاً عَلَى التِرْيَاق
Janganlah engkau meminum racun, karena engkau mengandalkan diri pada penangkalnya
Peribahasa ini memberi pelajaran, bahwa kita tidak boleh merasa sombong berani minum racun, denan mengandalkan pada penawarnya. Karena boleh jadi penangkal itu karena sesuatu dan lain hal tidak bisa menwarkan racun tersebut
Adapun yang dimaksud dengan al-‘amal adalah seluruh perbuatan peribadatan berupa shalat, shadaqah, dzikir dan sebagainya yang dikerjakan untuk mendapatkan pahala dari Allah swt. Ar-raja secara etimologi bermakna harapan, secara terminology bermakna keterikatan hati kepada hasil yang diinginkan di masa yang akan datang. Sedangkan al-zalal adalah al-itsm atau al-dzanb (dosa).
Kata mutiara ini menggunakan gaya bahasa as-saj’u atau asonansi yaitu kesesuaian huruf akhir pada dua fashilah (akhir kata pada setiap faqrah). Dengan pemaknaan lain adalah gaya bahasa perulangan yang merujuk pada perulangan vokal pada kata atau frasa. Penyebutan kata al-‘amal dan al-zalal kedua kata ini menggunakan akhiran yang sama yaitu “al” . Gaya asonansi ini memberikan efek musikalisasi kata yang apik dan estetis, sehingga pada langkah berikutnya dapat memberi efek kepada petutur (pembaca atau pendengar) untuk mendengarkan konten kalimat atau kata-kata mutiara tersebut.
Secara umum Kata Mutiara di atas dimaksudkan Ibn Athâillah untuk memotivasi para sâlik (seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme Islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya) agar bersunguh-sungguh mellakukakn ketaatan serta berbagai perbuatan kebajikan, namun dengan tidak hanya mengandalkan semata kepada amal peribadahan itu, tetapi mengandalkan diri kepada karunia Allah. Kata Mutiara ini tidak dimaksudkan menyuruh para sâlik untuk meninggalkan ibadah, karena Ibn Athâillah sendiri termasuk ahli ibadah sepanjang hidupnya, dan ajakannya untuk beribadah sangat jelas dalam berbagaia bukunya. Ia memaksudkan dengan kata mutiara ini mencegah para sâlik terlalu percaya kepada pahala ibadah yang dilaksanakannya, tetapi harus percaya dan berpegang teguh kepada karunia Allah, sehingga si pendosa pun tidak berputus asa untuk memperoleh rahmat-Nya, malahan senantiasa mengharapkan kasih sayang-Nya. (Ibn Ubbâd al-Nafari al-Randi). Sebagaimana firman-Nya:
Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Asy-Syûrâ: 25)
Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.“Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816).
Sepintas tampak seperti kontradiksi, Allah swt dengan rahmat-Nya akan memasukkan hamba ke dalam Surga, pada waktu bersamaan Allah menyuruh hamba untuk beribadah kepada-Nya. Sebetulnya tidaklah kontradiksi, karena beribadah itu hak Allah dan kewajiban atas manusia sebagai hamba-Nya. Sedangkan surga adalah pemberian dan anugrah Allah kepada hamba-Nya, sebagai manifesti sifat-Nya yang Rahim (kasih) dan pemaaf kepada hamba-Nya. Sebagaimana firmannya:
dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa. (al-A’râf: 156)
Menurut Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, jika hamba mengharapkan kemuliaan dan pemberian Allah, pada waktu bersamaan ia mengandalkan diri pada amal ibadah yang bisa saja terjadi nilai amal ibadahnya itu sedikit dibandingkan dosanya yang banyak, lalu bagaimana harapan itu bisa terwujud. Itu suatu analogi, jika hamba hanya mengandalkan diri pada amal ibadahnya bukan pada anugerah dan kemuliaan-Nya.
Sangatlah tidak layak jika ada ungkapan: Allah swt memberi pahala kepadaku karena amal ibadah yang aku lakukan. Allah swt memasukkanku ke Surga karena amal ibadahku yang aku kerjakan. Makna ungkapan ini seakan-akan Allah swt monitoring nilai surga, yang tidak diukur nilainya dengan sejumlah uang atau likuiditas keuangan tertentu, tetapi setara dengan ibadah, ketaatan, serta menjauhi perbutan yang diharamkan. Sehingga jika anda telah melakukan ketaatan, dan menjauhi perbuatan yang dilarang maka anda telah membayar harga sebuah Surga. Oleh karenanya anda berhak memilki barang (Surga) yang telah anda beli.
Apa hakikatnya seperti itu? Dalam pengertian apakah tatkala anda melaksanakan perintah-perintah Allah berarti anda berhak memiliki Surga berkat usaha keringat anda? Sebagaimana si pembeli sebidang tanah berhak atas tanah tersebut setelah yang bersangkutan membayar harga tertentu kepada si penjual. Jika direnungkan secra mendalam, sudah barang tentu permaslahannya berbeda. Saya ketika membayar harga sebidang kebun yang disepakati penjualnya, maka secara otomatis seketika itu saya pemilikinya sah secara hukum, saya berhak mengusir orang yang tinggal di kebun saya itu, karena saya sudah membayarnya secara kontan.
Demikian itu transaksi antara sesama manusia. Namun ketika Allah memerintah hamba-Nya untuk melaksanakan ketaatann dan menjauhi perbuatan haram, kemudian Allah swt memberi taufiq sehingga anda bisa melaksanakan kewajiban dan menjauhi yang diharamkan. Sudah barang tentu secara keseluruhan permaslahannya berbeda.... Siapa yang memberi kekuatan sehingga anda bisa melaksanakan ibadah shalat? Siapa yang memberi kekuatan sehingga anda bisa melaksanakan ibadah puasa? Dan siapakah yang melapangkan dada sehingga anda bisa beriman? Jawabannya sudah tentu adalah Allah swt. Oleh karena itu janganlah berhalusinasi bahwa anda berhak atas pahala dan Surganya Allah,Sejatinya anda mempersembahkan peribadatan adalah karena perintah-Nya, melaksanakan kewajiban serta menjauhi apa yang dilarangnya, juga adalah karena-Nya.
Marilah kita meluruskan niat dan aqidah, bahwa amal yang kita laksanakan adalah karena Allah, bukan karena hal lainnya. Andaikata, pada akhirnya kita mendapat kebahagiaan di dunia atau kebahagiaan di akhirat berupa surga ataupun kebahagiaan lainnya, maka kebahagiaan itu melulu karena angerah dan kasih-sayang-Nya. Semoga kita termasuk golongan ini. Âmîn.
Artikel ini telah dimuat pada laman Opini Spost.id edisi 19/05/2022
Baca juga: Agama dan Perdamaian