Kritik Perilaku Beragama

Oleh: Prof. Dr. Phil Al Makin, M.A. (Rektor UIN Sunan Kalijaga)

Agama tidak hanya merujuk pada sesuatu yang sifatnya suci, sakral, tak tersentuh, dan ghaib. Agama tidak hanya tentang teologi: Tuhan, Malaikat, Kitab Suci, ajaran-ajaran yang sifatnya moral dan tinggi.

Agama juga menyangkut kemanusiaan. Agama juga menyangkut institusi keagamaan yang didirikan oleh manusia. Agama juga berkait dengan perilaku manusia yang beragama itu sendiri.

Agama dijalankan dan ditunjukkan manusia. Agama juga berkait dengan sikap manusia beragama, dan bagaimana agama dipraktikkan oleh manusia yang memeluknya. Agama adalah juga tentang manusia, dan semua perilaku dan sikap manusia yang meyakini dan menjalani agama.
Agama menurut iman kita sempurna, tetapi manusia tidak sempurna. Begitu juga perilaku manusia tidak sempurna juga. Institusi yang dibangun manusia dan sikap kita juga tidak sempurna. Manusia tidak sempurna.

Disinilah praktek beragama, dari segi kemanusiaan dan yang menyertainya, hendaknya menerima kritik, evaluasi, pertimbangan dan bisa dipikirkan ulang. Agama sebagai perilaku, institusi, sikap manusia layak untuk dikritik untuk menjadikan praktek beragama kita lebih baik lagi.

Melihat ulang dan memikirkan ulang sikap kita beragama, perilaku kita beragama, dan tindak-tanduk kita beragama bahkan sudah diperintahkan salah satu hadits Nabi SAW, “hitung-hitunglah (hisab) perilaku Anda, sebelum Anda dihitung di akhirat kelak.”
Maka kritik dari para pengamat, cendikiawan, dan filosof bahwa berperilaku agama yang tidak tepat, atau penyalahgunaan institusi agama yang berlebihan bisa berakibat fatal dan bisa menjadi energi negatif bagi kehidupan manusia dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan dalam membangun peradaban. Agama (baca: beragama) dalam arti ini terbuka dan layak untuk dievaluasi (baca hisab).

Itulah yang dilakukan oleh para cendikiawan, ulama, pembaharu dan mereka yang mengikutinya. Bahkan para Nabi atau pendiri agama juga membawa pesan kritis terhadap masyarakat yang berperilaku layak untuk dikritisi terhadap praktek keagamaan yang sudah ada.

Penduduk Makkah disoroti Nabi Muhammad SAW. Penduduk sezaman dan setempat juga dilihat secara waskita oleh Nabi Isa (Yesus). Perilaku orang-orang dua ribu lima ratus tahun yang lalu juga dilihat ulang oleh sang Siddharta Gautama, yang menawarkan jalan tengah.
Di Indonesia, Gus Dur (Abddurahman Wachid) juga demikian, bagaimana beliau selalu menyoroti penggunaan agama dalam politik. Nurcholish Madjid juga menawarkan banyak gagasan tentang pemilahan nilai-nilai keagamaan yang mulia dan perilaku politik kita yang duniawi.

Beragama tidak lepas dari sikap manusia yang terbuka untuk diperbaiki. Itulah sabda Nabi Muhammad SAW, kritiklah perilaku kita, sebelum diadili nanti di akhirat.

Saat ini di era keterbukaan media sosial, informasi dan teknologi bebas, persaingan pasar bebas, demokrasi liberal, dan otonomi segala aspek kehidupan, simbol-simbol agama bisa saja secara sadar atau tidak sadar tersalahgunakan.

Kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bisa saja menyeret para pemeluk agama untuk menggunakan simbol-simbol dan legitimasi agama untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Kritik terhadap praktek semacam ini diperlukan untuk kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang sehat dalam kehidupan yang bertambah plural.

Jujur saja. Saat ini di media sosial kita dipenuhi dengan bullying (perundungan), kekerasan kata-kata, pemojokan, penyerangan, dan bahkan sering kita jumpai pembunuhan karakter. Informasi dengan sangat mudah didistorsi, dibolak-balik, dan diputar-putar.

Istilah populernya, isu yang digoreng. Dalam penggorengan itu banyak melibatkan sentimen agama. Sesuai dengan namanya, penggorengan melibatkan minyak, serok, dan bolak-balik isu. Distorsi demi distorsi, pembalikan demi pembalikan, dan dipenuhi dengan minyak licin.

Makna dan niat asal dikaburkan dengan proses penggorengan kata-kata. Simbol-simbol agama tidak jarang hadir untuk penyerangan, pemojokan, dan kebencian dan semacamnya sengaja dihadirkan untuk penguatan posisi. Inilah pentingnya kritik terhadap perilaku dan sikap beragama.

Dalam dunia yang serba terhubung ini, dan dalam era yang sudah multi-disiplin ini, kita bisa mengambil banyak pelajaran dari berbagai tradisi, sekaligus juga bisa menggunakan perspektif lain untuk melihat tradisi beragama kita sendiri.
Karl Marx (1818-1883) filosof Jerman bersikap kritis pada institusi agama dan praktek keagamaan di masyarakat Eropa kala itu. Kritik itu bisa dihadirkan ulang demi muhasabah, penghitungan pada kelemahan tradisi sendiri atau mawas diri.

Toh, kita tidak kurang tauladan yang menyuarakan pentingnya muhasabah, dari KH Musthofa Bisri sampai Buya Syafi’i Ma’arif. Dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Chalil Staquf hingga Ketua Umum Muhammadiyah KH Haedar Nashir.
Dengan berbagai bahasa pengungkapan yang berbeda, dengan cara menyindir yang berbeda, semuanya mengarah pada perlunya mawas diri terhadap perilaku beragama, sikap, dan bahkan tafsir kita terhadap agama.

Hisablah diri sendiri, umat sendiri, praktek dan perilaku diri sebelum dihisab kelak. Lebih baik menunjukkan kelemahan dan memperbaikinya daripada menganggap diri selalu benar dan menolak semua kritik. Masyarakat kita yang religius membutuhkan sikap ini.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman publika.rmol.id dengan judul dengan judul "Kritik Perilaku Beragama" edisi Kamis, 26/05/2022, 14:00WIB

Baca juga: Pancasila yang Lebih Sederhana

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler