Sisi Terang dan Gelap Publikasi Ilmiah Perguruan Tinggi untuk meraih Profesor (Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Terserah kita cenderung memilih yang mana dulu, pencapaiannya dahulu atau kelemahaannya. Akankah kita menonjolkan kebaikan atau kekurangannya lebih dahulu? Itu tergantung mata kita memanandang. Gelas yang separuh terisi air bisa dikatakan itu gelas separuh air atau separuh kosong. Separuh kosong berarti air yang di dalamnya, di dasar gelas prioritas kedua. Separuh penuh berarti kekosongan di atas gelas dinomerduakan.
Dalam menyikapi hidup dan kehidupan juga sama. Kalau kita tunjukkan kelemahan, maka kebaikan-kebaikan bisa terkubur. Kalau kita tonjolkan prestasi-prestasi, kekurangan demi kekurangan akan terkubur. Tetapi biasanya lebih viral kita sebut kelemahan, kritik, keburukan, dan sisi gelap. Kita sebut kebaikan dan prestasi tidak menarik. Apalagi netizen kita, sangat menikmati jika keterpurukan seseorang atau lembaga diulang-ulang. Memang ada kenikmatan tersendiri kalau menyaksikan orang lain terpuruk dan jatuh. Berita baik berarti diam. Tidak ada berita berarti wajar. Berita buruk menyebabkan heboh dan jauh lebih menarik karena menjadi gosip dan isu santer.
Perguruan Tinggi di Tanah Air ini dalam jangka lima belas atau sepuluh tahun terakhir sebetulnya menggembirakan. Alat ukurnya banyak. Dari segi finansial, gaji para dosen, Guru Besar (GB), tenaga pendidik meningkat. Dua puluh tahun yang lalu, seorang dosen yang baru diangkat bergaji antara 500 sampai 750 ribu rupiah, sebagaimana para PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang lainnya. Level setelah tamat S1. Sekarang, GB menikmati tunjungan lebih layak. Begitu juga dosen, sebagaimana juga guru dan pegawai, ada remunerasi, sertifikasi, riset dan lain-lain. Tentu jika dibandingkan dengan kita masa lalu, ini sisi lebih baik. Tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara lain, silahkan Google saja: Berapa gaji dosen dan GB di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina? Kita masih jauh tampaknya untuk menuju gelas penuh.
Tetapi secara finansial, kampus-kampus kita juga semakin mampu. Apalagi dengan skema PTNBH (Perguruan Tinggi Berbadan Hukum) yang mengelola keuangan lebih mandiri, dengan menentukan standar tarif sendiri, tentu kondisi lebih makmur. Tetapi BLU (Badan Layanan Umum) atau Satker (Satuan Kerja) pun juga menikmati peningkatan kesejahteraan para dosen, GB, dan tendik.
Kedua soal publikasi. Dalam jangka sepuluh tahun terakhir, publikasi Indonesia dengan jurnal-jurnal internasional, kerennya sebutlah Scopus, jauh meningkat. Penulis termasuk yang termasuk memperjuangkan indeks Scopus di Tanah air di awal tahun 2013. Waktu itu, jari kita tidak habis untuk menghitung jurnal Indonesia yang terindeks Scoups. Penulis sendiri memperjuangkan beberapa jurnal Scopus dalam ilmu sosial dan humaniora. Namun, saat ini, di laman Sinta.kemdikbud.go.id terdapat 145 jurnal terindeks Scopus segala bidang di Indonesia. Jauh bukan?
Para akademisi kita sudah meningkatkan publikasi internasional mereka. Namun, catat bahwa gelas separuh penuh dan separuh kosong. Tadi itu berita baiknya. Apa sisi gelapnya?
Banyak isu soal ghost writer (penulis hantu) yang membantu, atau terlibat perjokian dalam menulis jurnal Scopus untuk meraih professor. Mereka yang menerbitkan karya ilmiah membayar penulis lain untuk menyelesaikan papernya. Bagaimana bisa, grammar bahasa Inggris saja tidak lancar bisa menulis artikel dalam bahasa Inggris yang standar?
Nah ini sisi gelapnya. Jadi walhasil, GB-GB itu bisa terindikasi sebagai gelas kosong. Begitu juga banyak yang tergoda jurnal-jurnal yang abal-abal (predatory). Ini isu lama. Jurnal terbit di Scopus berbayar, tetapi setelah itu jurnal berhenti terbit. Atau jurnal itu tidak serius hanya menampung yang bayar saja, kualitas tidak masuk hitungan. Abal-abal. Biasanya jurnal itu diletakkan di negara lain, seperti Pakistan, Banglades, Amerika, Taiwan dan lain-lian. Padahal, pengelolanya bisa jadi ya orang-orang Indonesia itu sendiri. Apa yang tidak bisa kita akali di negeri ini? Mesin, sistem, pola, nilai, akreditasi, dan lain-lain dengan mudah kit acari jalan pintasnya. Jurnal, GB, dan tulisan pun ada jalan tikusnya untuk meraih sisi kegelapan.
Sepertinya jumlah GB terus meningkat, dari pengukuhan satu ke pengukuhan yang lain di berbagai universitas. Tetapi sesungguhnya jumlahnya masih rendah. Hanya dua persen dari 311.63 dosen aktif di Tanah Air yang meraih GB. Sangat rendah. Bandingkan dengan negara-negara tetangga dekat di Asia atau di Eropa, masih jauh. Namun pencapaian GB menjadi sisi terang manakala publikasi ilmiah kita meningkat. Tetapi menjadi gelas kosong separuhnya, jika sistem, mental, dan moral kita tidak diperbaiki.
Memang panggilan Profesor itu bergengsi, seperti Pak Haji, Kyai, Gus, Jendral, Raden, Ketua, Direktur, Dirjend, dan sebutan-sebutan lain yang rasanya membanggakan. Masyarakat kita masih hirarkis dan paternalistik, posisi dan kedudukan masih mendapat hati yang luas di masyakat. Masyakarta kita masih komunal (berkerumun) belum betul-betul egaliter. Maka gelar-gelar keagamaan, kebangsawanan, kepangkatan, posisi di kantor mempengaruhi cara kita memperlakukan orang lain. Maka GB dan Professor dianggap salah satu dari gelar-gelar sosial tadi, bukan sekedar hasil pekerjaan professional di tempat kerja yaitu Perguruan Tinggi.
Sisi gelas separuh terisi, tumbuhnya jurnal-jurnal terindeks internasional. Sisi lain gelas masih kosong, karena pekerjaan rumah memperbaiki maraknya penulisan-penulisan ilmiah yang ditengarai dibantu oleh beberapa pihak, merupakan pekerjaan kita yang harus diselesaikan. Gelas separuh terisi, separuh kosong, kan?
Percayalah sisi terang kita jauh lebih positif. Optimis saja. Yang menulis dan meneliti secara serius dan dipublikasikan di jurnal internasional jauh lebih banyak di Tanah Air. Jangan hanya sisi gelap saja yang ditonjolkan. Publikasi ilmiah terus melaju, semoga pelan-pelan gelas terisi menuju penuh. (Tulisan ini sdh terbit di kompas.com pd tgl 30/7/2024)