Berderma Maslahat untuk Ketahanan Sosial Budaya Oleh: Fathorrahman Ghufron

Baru baru ini, pemerintah mengesahkan Undang Undang Nomor 59/2024 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional (RJPN) 2025-2045. Di dalamnya terdapat 17 arah pembangunan untuk mengorkestrasi berbagai pelaku pembangunan, baik dari kalangan pemerintah maupun non pemerintah dalam 20 tahun ke depan. Salah satu navigator pembangunan yang ditegaskan dalam RPJN tersebut adalah program ketahanan sosial budaya dan ekologi sebagai instrumen penting mewujudkan Indonesai Emas 2045.

Dari program tersebut, terdapat derivasi kebijakan yang berkaitan dengan beragama Maslahat sebagai landasan spiritual, etika, moral, dan modal dasar pembangunan. Adapun salah satu aspek kinerja kemaslahatannya adalah “pengembangan dana sosial keagamaan dan filantropi, pemberdayaan umat beragama, dan peningkatan produktivitas”.

Dalam kaitan ini, filantropi merupakan salah satu aktifitas kemanusiaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Laporan World Giving Index (WGI) yang dirilis oleh Charities Aid Foundation (2023), Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia dengan skor 68 poin. Raihan prestasi ini mengulang kembali peringkat Indonesia yang didapuk sebagai negara paling dermawan pada tahun 2021. Berdasarkan laporan tersebut, di tahun 2021ada lebih 8 dari 10 orang Indonesia yang giat berdonasi. Prestasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kedermawanan di Indonesia meningkat tiga kali lipat di banding kerelawanan dunia.

Besarnya kepedulian masyarakat Indonesia dalam hal berderma, tidak berlebihan bila filantropi ditasbihkan sebagai salah satu soko guru penting dalam penguatan pembangunan dalam 20 tahun mendatang. Terlebih lagi, triger utama kesadaran filantropi masyarakat Indonesia lebih banyak disokong oleh ajaran agama dan tradisi lokal yang memengaruhi cara pandang hidupnya (world view).

Pada titik ini, ada persenyawaan ideologis ketika beragama maslahat dijadikan sebagai landasan spiritual dan modal dasar pembangunan dalam RPJN 2025-2040, dan filantropi didudukkan sebagai salah satu indikator penting untuk membentuk ekosistem ketahanan sosial budaya. Terlebih lagi, akar semiotika filantropi merujuk pada makna “cinta umat manusia” yang memang sangat dibutuhkan untuk melapisi berbagai aktifitas kepublikan yang berbasis kemaslahatan.

Spirit Berderma

Sebagai praktek kemanusiaan yang paling otentik, spirit kedermawanan yang berkembang di Indonesia dilakukan dengan berbagai model. Merujuk pada tulisan Chusnan Yusuf “Filantropi Modern Untuk Pembangunan Sosial” setidaknya ada dua cara yang banyak ditempuh oleh masyarakat Indonesia.

Pertama, cara tradisional yang dilakukan dengan skema memberi langsung (direct giving) kepada pihak yang diinginkan dan dianggap layak menerima manfaatnya. Dalam skema ini, beberapa komponen donasi seperti shadaqah, infaq, zakat, dan lain semacamnya terkadang diarahkan pada aktifitas keagamaan maupun aktifitas sosial yang berbasis belas kasihan (charity). Sebagian darinya terkadang disalurkan untuk kepentingan pendidikan seperti menjadi wali asuh maupun diberikan kepada pihak lain yang kurang mampu untuk memenuhi kelangsungan hajat hidupnya.

Kedua, cara modern dengan skema penyaluran kepada lembaga yang dipercayai untuk mendistribusikan sumbangannya. Dalam skema ini, biasanya yang melakukan adalah lembaga usaha yang mencanangkan program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) maupun pengusaha sukses yang menghibahkan sebagian besar dari pendapatannya untuk program pemberdayaan masyarakat, pelestarian lingkungan, dan kepentingan umum lainnya.

Dari dua model tersebut, skema memberi langsung menjadi cara berderma yang paling banyak dilakukan. Merujuk hasil kajian Lembaga Filantropi Indonesia, donasi untuk kegiatan keagamaan, penyantunan, dan pelayanan sosial yang sifatnya jangka pendek lebih dominan di banding aksi donasi yang berjangka panjang yang dikelola secara organisatoris dan modern.

Namun demikian, lepas dari pilihan cara berderma yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara demarkatif, ekosistem filantropi yang dibangun atas dasar empati sosial, kerelawanan, dan gotong royong menjadi modal ketahanan sosial budaya yang bisa menunjang terwujudnya Indonesia Emas. Meskipun dalam prosesnya ada skala tertentu yang perlu dikedepankan, terutama dengan model pengembangan cara berderma yang perlu dilakukan lebih organisatoris dan sistemik.

Dalam kaitan ini, keterlibatan berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga usaha, serta masyarakat dalam kesatuan derap kesetiakawanan untuk berkontribusi dalam mengatasi berbagai problem sosial, tentunya mempunyai nilai lebih yang mampu memperkokoh sendi-sendi kebangsaan. Terlebih lagi keterlibatan tersebut dilakukan berdasarkan kepedulian dan kepekaaan sosial yang tak dipengaruhi oleh nuansa kepentingan sesaat.

Mengantisipasi Modus Penyimpangan

Justru yang menjadi tugas bersama adalah bagaimana mengantisipasi berbagai modus penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam menghimpun dana sosial dari berbagai pihak. Sebab, ada berbagai lembaga yang selama ini bergiat dalam penggalangan dana kemanusiaan yang terindikasi kuat melakukan praktek mal administrasi. Dampaknya, dana sumbangan masyarakat yang sudah diperoleh tidak terlokalisir sebagaimana mestinya. Naifnya, dana yang diperoleh sekian besar didistribusikan untuk menggaji pengelola dengan jumlah yang tak masuk akal.

Di samping itu, ada pula beberapa lembaga sosial keagamaan mengalihkan dana sumbangan pada kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai peruntukannya. Semisal digunakan untuk kegiatan jihadis dengan mengatasnamakan penyelamatan akidah maupun sistem kepercayaannya. Bahkan, ada pula lembaga yang secara ideologis berafiliasi pada perserikatan transnasional dan getol menyuarakan pemurnian dasar negara yang mengacu agama tertentu serta menolak Pancasila sebagai dasar negara, turut menghimpun dana masyarakat untuk kegiatan radikalisasi.

Kehadiran berbagai lembaga yang selama ini melakukan penghimpunan dana, baik secara tradisional maupun modern, namun dalam prakteknya diperuntukkan untuk kegiatan yang bertolak belakang dengan spirit kedermawanan dan sendi-sendi kebangsaan, tentu menjadi tantangan serius yang harus diantisipasi.

Oleh karena itu, kita perlu bersikap kritis dan waspada sedini mungkin untuk menyalurkan dana sumbangan. Jangan sampai, pemberian dana yang kita lakukan justru berubah menjadi “jebakan batman” yang dapat merugikan diri kita. Sebab, pemerintah telah berkomitmen menjadikan “pengembangan dana sosial keagamaan dan filantropi” sebagai indikator beragama masalahat untuk menopang dan ketahanan sosial budaya dan mewujudkan Indonesia Emas 2024. ( Tulisan ini sdh terbit di koran Bisnis Indonesia 19/10/2024)

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Wakil Katib PWNU Yogyakarta

Kolom Terpopuler