Sambutan Rektor Wisuda Sarjana Agustus 2024 Hari ke II (Al Makin Rektor UIN Sunan Kalijaga)
Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri. Apabila datang saat (kerusakan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu, untuk memasuki masjid (Baitulmaqdis) sebagaimana memasukinya ketika pertama kali, dan untuk membinasakan apa saja yang mereka kuasai.
Coba sekali-kali Anda letakkan HP Anda. Sekali-kali offline. Sekali-kali berpisah dari Instagram, Tiktok, Facebook, atau chat grup Anda. Sekali-kali diam dan merenung dibawah pohon, didekat sungai, didekat pantai. Sekali-kali.
UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga Mendunia
Kali ini saya akan lanjutkan buku lama wisuda kemarin, dua ribu tiga ratus atau empat ratus tahun lalu, buku ini ditulis. Nabi Muhammad itu seribu lima ratus tahun lalu menerima wahyu. Jadi buku ini lebih tua seribu tahun. Bukunya Aristotle, Etika Nichomacus, atau Nichomachean ethics.
Kenapa kita membaca buku-buku kuno? Karena usia manusia itu sudah satu juta lima ratus tahun, yang disebut homo sapiens. Usia peradaban kita dua puluh ribu tahun, dari Mesir, Yunani, Majapahit, Mataram, New York, London, dan Jakarta. Peradaban modern, seperti sekolah dan kuliah Anda ini, juga teknologi dan informasi ini, sudah lima ratus tahun. Jadi jangan hanya baca buku-buku yang terbitan tahun-tahun terakhir. Tetapi bacalah yang kuno-kuno. Dalam buku tua tersimpan banyak pengalaman manusia ribuan tahun, seperti Ethika Nichomacus.
Jangan lupa membaca buku ya. Jangan hanya mendengar dari Tiktok, Instagram, atau Youtube. Dengarkan lalu baca bukunya. Dunia saat ini penuh dengan informasi lo. Informasi bukan pengetahuan. Berita dan update. Bukan kebijakan. Jadi ada tiga hal yang berbeda: informasi, atau berita, yang sangat berlimpah dan lebih-lebih; kedua pengetahuan yang masih langka dan terbatas, hanya orang-orang yang baca buku dan belajar yang mendapat pengetgahuan; dan terakhir kebijakan, hikmah atau wisdom, ini lebih langka lagi.
Semua yang kita tangkap dari internet melalui web, podcast, atau tayangan lainnya itu baru informasi. Itu tak terbatas setiap hari ditambah. Kita harus menyaringnya. Pengatahuan diatasnya, harus didalami seperti Anda selama kuliah, mempelajari teori-teorinya. Mempelajari tulisan, dan buku-buku sebelumnya. Mendalami secara kritis dan menelaah secara hati-hati. Itu pengetahuan. Pengetahuan didapat dari refleksi, renungan, memikirkan, tidak hanya menerima. Informasi dari sekedar mendengar atau membaca sekilas. Berbeda ya.
Kebijaksanaan, hikmah atau wisdom adalah pengetahuan yang sudah mendalam dan menjadi tingkah laku, menjadi akhlak, karakter, dan kepribadian itulah kebijaksanaan.
Bukunya Aristoteles yang berusia 2400 tahun ini sudah menjadi wisdom, Sophia, tidak hanya pengetahuan, karena sudah diuji ribuan tahun.
Siapa itu Aristoteles?
Aristoteles lahir di Stagia di Machedonia, Eropa, 384 dan meninggal 322 SM. Dia seorang filsuf yang berguru pada Plato di sekolah seperti Anda ini, disebut Akademia di Athena Yunani kuno. Aristoteles mempelajari dan mengembangkan bidang filsafat, geografi, astronomi, biologi, kimia, matematika, hukum, etika, dan semua cabang pengetahuan. Waktu itu pengetahuan itu menjadi satu. Semua filsuf harus mempelajari semua ilmu. Tidak seperti sekarang yang sudah terjadi spesialisasi.
Aristoteles menjadi guru dan mentor penakluk dunia, Alexander sang Agung, the great yang menguasai Yunani, Mesir, Arab, Persia, dan India. Sepertiga dunia dia taklukkan. Gurunya Aristoteles mempelajari dan mengembangkan semua pengetahuan. Tulisan Aristoteles tentang politik menjadi inspirasi bagi dunia Kristen, Islam, dan dunia modern saat ini. Dialah yang membahas demokrasi secara mendalam, kelemahan dan kelebihan demokrasi, sebagai sistem negara dan masyarakat, setelah gurunya Plato. Dia juga yang mengembangkan ilmu jiwa, yand lalu dipelajari di Islam oleh para filosof Muslim dan dikembangkan oleh filsafat modern, menjadi psikologi.
Para filsuf Muslim, mulai al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Miskawayh, Ibn Khaldun membaca karya-karya Aristoteles melaui bahasa Siriak, serumpun dengan bahasa Ibrani, terjemahan dari Yunani. Lalu karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Orang-orang Barat masa pencerahan, 500 tahun lalu kembali membaca Aristoteles lewat karya-karya filsuf Muslim. Kita semua mewarisi ilmu kuno Aristoteles lewat berbagai terjemahan dan sudah menjadi ilmu-ilmu lain yang sudah Anda pelajari selama S1, S2, dan S3.
Baiklah kita baca Nichomecian Ethic. Ethika Nichomacus. Buku tentang kebaikan dan kebahagiaan ini.
Buku ini membahas tentang prinsip manusia hidup. Menurut Aristoteles manusia hidup itu bertujuan untuk bahagia, berkembang, makmur dan berkecukupan. Dalam bahasa Yunani kuno disebut uedomania. Biasanya dalam bahasa Arab disebut Sa’adah. Dalam bahasa Indonesia disebut bahagia. Dalam bahasa Inggris disebut happiness. Happy, bahagia, dan senang. Dalam bahasa Jawa biasanya orang menyebut, selamet. Bukan senang. Bukan kesenangan tetapi keselamatan.
Anda ingin bahagia?
Anda ingin selamat?
Doa kita allahumma inna nas’aluka salamatan fiddin, afiyatan fil jasadi…artinya eudomania. Kebahagiaan.
Manusia hidup menghadapi kenikmatan, penderitaan, godaan, dan tantangan. Maka Aristoteles mengembangkan apa itu bahagia. Pada bab pertama dia bahas khusus tentang kebaikan, menjadi baik. Bagaimana manusia menjadi baik dan berbuat kebaikan.
Dokter menjadi dokter yang baik kalau ia menyembuhkan penyakit. Pilot atau nahkoda menjadi baik kalau bisa menyetir kapal, pesawat, mobil, atau motor dengan selamat. Anda menyetir bukan? Ingin baik dan selamat itulah tujuan hidup.
Dari sepuluh bab, kemarin pada wisuda hari pertama, kita bahas bab 1 dan 2. Kini kita bahas bab 6 dan 7. Loncat ya. Itu perkara berfikir dan control diri. Ini penting.
Sekarang anak-anak, yang setiap saat pegang HP, katanya yang penting viral, yang penting gagah. Trend-nya saat ini, semua diukur dari berapa menarik followers/pengikut. Dapat like berapa? Dapat jempol dan komen bagaimana di medsos? Dapat haters berapa? Dapat forward, atau di tautkan ke grup lain tidak? Ini ukuran anak sekarang yang main media.
Kita berbuat atau tidak berbuat, seharusnya tidak tergantung kita viral atau tidak. Kita harus mandiri menilai tindakan dan ucapan, tanpa perlu konfirmasi dan dukungan orang lain. Kebaikan tetap kebaikan dapat like atau tidak. Kebaikan tetap kebaikan dapat hate atau tidak. Dapat simbol love atau tidak.
Keburukan, kejahatan, kekeliruan tetap kekeliruan dengan atau tanpa dukungan. Kita hendaknya mandiri dan percaya diri dalam mengerjakan kebaikan, tanpa butuh komen, butuh support dan viral. Jika masih butuh like dan followers, berarti belum ikhlas, masih riya, dalam bahasa agama.
Kebijakan (Sophia/hikmah/wisdom), di sisi lain, menurut Aristoteles, itu terletak pada kemampuan kita untuk menahan diri, untuk tidak melakukan kesalahan atau berbuat tanpa kendali. Kendali diri adalah kekuatan, tanpa kendali diri dan emosi adalah kelemahan. Orang yang tidak bisa mengendalikan diri tak layak memimpin dunia, katanya.
Dunia harus diberikan pada orang yang bisa memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu, yaitu Anda para sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pimpin dan kendalikan diri sendiri, emosi kendalikan: kesedihan, kesenangan, kemalangan, kebencian, cinta dan lain-lain, baru Anda bisa mengendalikan dunia sekitar.
Bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain, dalam bisnis, lamaran pekerjaan, naik jabatan, jika Anda tidak bisa menenangkan diri sendiri. Diri sendiri masih dikuasai emosi, lupa diri, marah-marah, dan menakut-nakuti orang.
Orang hebat bukan orang yang mampu menakuti dan mengertak orang lain, tetapi orang yang membuat orang lain berani. Orang yang memotivasi dan mebesarkan nyali orang, bukan mengerdilkan dan menghardiknya.
Kebijakan, atau wisdom itu dari situ, dari pengetahuan tentang diri sendiri yang diterapkan. Lalu menahan diri, memberi ruang kepada diri sendiri, bertanya pada diri sendiri sebelum bertanya kepada orang lain.
Kuasai diri sendiri dulu. Jangan serahkan diri Anda pada orang lain. Andalah ahli diri sendiri. Itu Sophia tingkat pertama, hikmah dan kebijakan tingkat pertama.
Wisdom juga berkait dengan pemahaman. Pemahaman tentang diri sendiri dan sekitar. Memahami adalah tanda kebijakan. Karena tidak memahami, Anda akan mudah menghakimi dan meberi cap label pada orang lain dan sekitar sebagai jahat, baik, buruk dan merugikan diri sendiri. Padahal yang berbicara itu ego, bukan kebenaran. Ego mudah tersinggung, mudah merasa menjadi korban, merasa difitnah dan lain-lain.
Keutamaan, virtue, atau fadilah dalam bahasa Arab, adalah kesabaran pada diri sendiri. Anda harus sabar mendengar pada diri sendiri. Sabar dengan diri Anda ya, karena Anda akan bersama diri sendiri terus sepanjang hayat. Sahabat bisa pergi, orang tua bisa meninggal, suami istri kadan tidak berasama, tetapi Anda akan bersama diri Anda terus. Sabarlah pada diri sendiri. Dengarkan. Diam dan refleksi keinginan, mimpi, dan keluh kesah diri. Jangan tumpahkan ke orang.
Coba sekarang diam sejenak.
Diam seperti tadi. 2 menit saja, untuk bersabar mendengar diri sendiri maunya apa?
Aristoteles dalam bab 7, buku Nichomecian Ethic menjelaskan bedanya antara orang baik dan tidak baik. Orang baik yang mempunyai control diri, tidak lupa diri, ingat, sadar, dan tercerahkan dalam bahasa Buddhisme-nya. Dalam Islam yang sudah pada hakikat, sadar dan selalu ingat. Ingat itu bisa dengan praktik, meditasi, yoga, atau zikir.
Seneca, filosof selanjutnya menyebut wise man. Nietzche menyebut super man, uebermensch. Muhammad Iqbal menyebutnya khalifah. Pemimpin. Yaitu orang yang menemukan diri dan mengendalikannya.
Orang yang tidak mempunyai kendali pada diri sendiri, akan menuruti emosi dan ego. Itu bukan diri sendiri, tetapi bisikan dari tidak adanya kebijakan, hikmah atau Sophia. Semua yang dinginkan diambil dengan segala cara.
Semua keinginan diutarakan, diungkap, dan diucapkan. Semua keluh kesah diutarakan. Semua complain disampaikan. Yang dikejar hanyalah kepuasan sesaat. Padahal kita tahu, marah, benci, cinta, sedih, senang itu semua hanya sesaat dan sementara.
Misalnya, setelah mandi air dingin atau setelah jalan-jalan di kebun melihat pohon-pohon, perasaan sudah berganti lagi. Jangan putuskan perkara penting saat emosi tidak stabil. Tidak bijak, tidak penuh kendali. Itulah kendali diri, atau wisdom, Sophia, dan hikmah.
Orang yang tidak punya kendali diri itu sama dengan binatang buas, beast, hayawan. Saya kira al-Ghazali dan para sufi Muslim banyak membahas tentang nafsu dalam diri sendiri, nafsu serakah, nafsu kemenangan, nafsu kejayaan, nafsu tampil, nafsu update status, nafsu menyerang, nafsu kebencian, nafsu menjatuhkan orang lain. Semua nafsu. Nafsu harus dikendalikan, atau kita yang akan dikendalikan nafsu, demi kepuasan diri dan kemarahan.
Orang yang mempunyai kendali diri akan kuat. Keperkasaan dan kekuatan orang bukan diukur dari badan gagah, menakut-nakuti orang, menggertak, atau bluffing, kehebatan diri sendiri diukur dari menjatuhkan orang lain. Itu salah, menurut Aristoteles.
Orang yang mengendalikan diri akan kuat dan terarah. Orang yang tidak mempunyai kendali diri akan terbawa arus emosi dalam dirinya. Dia kehilangan diri sendiri.
Orang moderate, tawassuth, adalah orang yang mampu menyeimbangkan diri. Itulah bijak. Dalam bahasa Yunani, orang yang kehilangan diri sendiri karena egonya besar disebut akrateis. Sedangkan orang moderat dan menahan diri disebut phronesis, sophrosune.
Kebijakan sendiri disebut Sophia. Hikmah. Dalam bahasa Jerman disebut weis, artinya pengetahuan, wissenschaft itu pengetahuan. Tetapi Sophia diatas itu.
Kekuatan itu menahan diri. Menahan tidak bicara. Menahan tidak berbuat. Menahan tidak melangkah. Menahan diam diri dan tenang, mengendalikan diri.
Kendali diri itu seperti air dalam, tenang. Kendali diri seperti gunung, kokoh. Kendali diri seperti batu, diam.
Sesuatu yang dimulai dari emosi akan berakhir malu dan memalukan. Sesuatu yang didahului pikir dan refleksi akan berakhir bahagia. Begitu.
Orang yang tidak bisa mengendalikan diri, berarti lemah, dan mudah terombang-ambing. Tidak adanya kendali diri bisa membawa pada kehancuran pada diri sendiri, karir, dan masyarakat.
Perbuatan-perbuatan tidak tepat dan sesuai moral dilakukan untuk meraih tujuan, dalam bahasa modernnya disebut Machievelli, menempuh segala cara untuk meraih keinginan, tanpa peduli etika, moral, norma, dan hukum. Semua dilanggar, manuver, zigzag, dan biar membingungkan lawan. Ini tidak benar.
Kita akan berfikir benar (logos), saat kita tenang. Saat kita dikendalikan oleh amarah diri, yang terjadi adalah buru-buru, karena harga diri merasa direndahkan. Ini kelemahan. Dalam bahasa Aristoteles ini ekstrem, tidak moderat, tidak terkendali dirinya.
Saya kutip dalam bahasa Inggris versi Nichomecian Ethics:
Someone who lacks self-control fails to stick to their reasoning because something in them, their desire, is too strong. And this other kind of person, because it’s too weak. And someone with self-control, in the middle, does stick to what reason says, without either of those things shifting him off course. (p. 178).
Orang yang tidak bisa mengendalikan diri akan gagal berfikir karena kuatnya emosi. Dan karena itu dia lemah dihadapan orang lain juga, terlalu dikuasai emosi. Sedangkan orang yang menguasai diri sendiri, moderate, selalu memegang daya pikir, tidak akan kehilangan jalan yang benar. (p. 178).
Jadi pesan Aristoteles kuasai diri Anda sendiri, atau Anda dikuasai emosi Anda.
Beberapa orang bijak dari China, Sun Tzu misalnya juga mengatakan, Anda kuasai dunia dengan menguasai diri sendiri terlebih dahulu. Kata Nabi Muhammad, orang kuat bukan orang yang menang bergulat, tetapi orang yang mengalahkan emosi dalam diri, orang yang mengalahkan diri sendiri.
Kita butuh pemimpin yang mengendalikan diri, tidak terjebak permainan, menahan diri, menguasai diri, dan mampu menahan tidak melakukan kesalahan, salah ucap, salah kata, salah tindakan. Andalah orangnya, pemimpin kita masa depan. Alumni UIN Sunan Kalijaga, wisudawan wisudawati sekarang.
Menahan diri itu harus setiap hari dan sedikit demi sedikit. Aristoteles mengutip, telos, atau habit, yang membentuk akhlak, karakter, diri sendiri soal kendali diri:
Training ourself, dear friend,
Takes a very long time to accomplish
But when it comes to an end,
It will form a new part of your nature (p. 180)
Latih diri sendiri, wahai kawan
Itu akan butuh waktu panjang untuk melakukan
Tetapi pada waktunya
Itu akan membentuk Anda yang baru
Tentu control diri akan baik bagi diri sendiri dan juga baik bagi sahabat, kawan, dan hubungan antar manusia (keluarga, kelompok, masyarakat). Kontrol diri baik bagi negara dan masyarakat. Kita membutuhkan control diri, bukan yang mudah komen, mudah membenci, mudah menghakimi, mudah menilai, mudah memojokkan, dan mudah menjatuhkan. Tahan diri. Teliti dulu. Diam dulu, jangan buru-buru.
Selanjutnya Aristoteles membicarakan tentang pleasure and pain (kesenangan dan penderitaan). Sebagai orang yang menahan diri, Anda harus juga menahan diri dari keduanya, dan menyeimbangkan agar dalam diri Anda tetap menjaga moderasi. Saat duka, tetap kuat. Saat suka, tetap terkendali. Tidak ada yang melebihi batas. Semua dilalui dengan berfikir dan refleksi (logos).
Anda nanti akan melalui tahapan sulit dalam hidup, juga kesenangan dan keberhasilan. Disitulah ujian letaknya. Kalau senang bagaimana, kalau mendapatkan Amanah bagaimana? Kalau tidak mendapatkan bagaimana? Apakah menyalahgunakan? Apakah iri, dengki, dan memojokkan orang? Apakah sewenang-wenang. Aristoteles banyak membicarakannya. Anda silahkan baca dalam bahasa apa saja.
Bagi Artistoteles negara dan bangsa, waktu itu disebut city-state, akan bahagia, eudamonia, jika individuanya memegang virtue, fadilah, kemulyaan, kautamaan ini.
And semua adalah calon pemimpin;
Pengusaha
Ilmuan
Politisi
Gubernur
Menteri
Presiden
Parlemen
Guru
Semua membutuhkaan akhlaq, karakter, moral, virtue, fadilah. Yang utama adalah menahan diri dari emosi menguasai diri.
UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia