MENGATASI ANCAMAN KRISIS AIR BERSIH (Noor Saif Muhammad Mussafi, Ph.D. Dosen Fak. Saintek)
Dewasa ini ancaman krisis air bersih terjadi dimana-mana. Musim kemarau yang berkepanjangan pada 2024 telah mengakibatkan kekeringan terjadi di berbagai daerah. Beberapa kecamatan di Cimahi, Grobogan, dan Wonogiri mengalami penyusutan sumber-sumber air sehingga warga terpaksa membeli/mendatangkan tangki air bersih. Tak terkecuali Yogyakarta yang turut mengalami krisis air. Menyikapi kondisi tersebut Gubernur Sultan Hamengku Buwono X bahkan sampai mengeluarkan status siaga darurat kekeringan DIY per 1 Agustus 2024 melalui SK Gubernur DIY No 286/KEP/2024.
Yang lebih tragis lagi, menurut hasil penelitian dari pakar hidrogeologi BRIN (2019), fenomena krisis air di Jawa ditengarai akan mengalami puncaknya pada tahun 2040. Setidaknya ada tiga faktor, ancaman krisis air tersebut akan semakin nyata. Pertama, ketidakseimbangan antara persediaan dan permintaan air bersih. Dalam hal ini jumlah penduduk di pulau Jawa yang lebih dari separo populasi nasional dan masih terus bertumbuh tidak diiringi dengan peningkatan stok air. Apalagi dua tahun terakhir tren curah hujan di pulau Jawa cenderung mengalami penurunan.
Kedua, faktor antropogenik. Yaitu perilaku lalai manusia yang berpotensi menyebabkan bencana. Diantara perilaku antropogenik terhadap air yaitu (1) eksploitasi air untuk kebutuhan rumah tangga dan industri dan (2) alih fungsi lahan secara masif tanpa memperhatikan dampak ekologis. Ketiga, pencemaran air karena sampah dan limbah industri. Aktivitas keseharian rumah tangga seperti mandi dan mencuci pakaian, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan pencemaran sungai. Di samping itu limbah industri yang tidak diolah secara cermat berpotensi mengandung bahan kimia beracun, logam berat, dan zat-zat berbahaya lainnya sehingga dapat menurunkan kualitas air, merusak ekosistem sungai, bahkan membahayakan kesehatan manusia.
Berdasarkan fakta dan data tersebut, maka diperlukan kesadaran ekologis sebagai aksi nyata dalam mengantisipasi peluang bencana tersebut. Kesadaran ekologis dapat ditopang melalui berbagai kanal salah satunya mengaktivasi pengetahuan keagamaan kita terhadap fiqih ekologi.
Revitalisasi Fiqih Ekologi
Dalam kaitan ini, fikih ekologi merupakan konsep keilmuan yang mengajak kita pada kedalaman reflektif bagaimana kita memperlakukan alam dan seisinya. Melalui perangkat dalil naqli, baik yang bersumber pada kitab suci maupun ijtihad ulama, fiqih ekologi juga memandu kita pada sikap bijaksana memperlakukan air yang menjadi karunia Tuhan kepada semua makhluknya.
Pesan-pesan sublimatik sebagaimana disitir dalam al qur’an (7:57) dan (21:30) perlu dijadikan panduan praksis untuk memperlakukan air secara produktif dan proporsional. Merujuk pada pandangan Yusuf Al Qardlawi dalam buku “Islam Agama Ramah Lingkungan”, ada empat aspek yang bisa diderivasi dari pesan sublimatik al qur’an. Pesan ini sekaligus menjadi landasan konsepsional dalam merevitalisasi fiqh ekologi dalam kehidupan kita. Pertama, hemat penggunaan air. Gerakan berhemat air diharapkan dapat berkontribusi dalam ketersediaan air bersih di masa kini dan akan datang, apalagi kini masih banyak saudara kita yang mengalami kesulitan air di beberapa daerah. Nabi Muhammad SAW telah memberikan keteladanan nyata dalam pemanfaatan air untuk berwudhu. Dalam suatu hadits dijelaskan bahwa beliau berwudhu hanya dengan 1 mud air (cakupan dua telapak tangan orang dewasa atau 500 ml).
Kedua, pemanenan air hujan. Ide ini telah diungkapkan dan direalisasikan oleh para pakar hidrologi seperti Agus Maryono. Beliau menyampaikan proses pemanenan air dapat dilakukan melalui kolam pengumpul air hujan, sumur resapan, lubang resapan biopori, dan parit resapan air hujan. Ketiga, gerakan menanam pohon. Secara ilmiah, semakin banyak pohon maka cadangan air yang ada di dalam tanah makin banyak tersimpan karena diserap oleh akar. Untuk itu penghijauan lahan kosong merupakan langkah konkrit untuk menambah debit air di dalam tanah.
Keempat, menjaga kebersihan sumber-sumber air. Gerakan ini bertumpu pada usaha penjagaan objek aliran air seperti sungai/laut/danau dari aneka pencemaran akibat sampah atau sejenisnya yang merusak kualitas air. Ingat, kerusakan bumi ini baik yang terjadi di darat maupun laut sebenarnya tidak terlepas dari ulah manusia sendiri (QS. 30:41).
Keempat hal tersebut merupakan modal kebajikan (ihsan) dan etika sosial bagi kita dalam melakukan konservasi air melalui upaya perlindungan, pemeliharaan, dan pelestarian keberadaan sumber daya air). Dengan cara demikian, maka kita bisa menyelamatkan kehidupan kita dan generasi mendatang dari ancaman krisis air bersih. (tulisan ini sdh terbit di KR tgl 19 Sept 2024)