SIDANG ISBAT DI TENGAH WABAH CORONA
(Susiknan Azhari*)
Hasil Konferensi Penyatuan Kalender Islam, 21-23 Syakban 1437/28-30 Mei 2016 di Istanbul Turki memberi harapan untuk mengakhiri perdebatan seputar hisab dan rukyat dalam memulai dan mengakhiri Ramadan. Dalam konteks Indonesia hasil konferensi tersebut sudah dikaji bersama antara pemerintah dan ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia. Kaitannya dalam penentuan awal Ramadan 1441 Kementerian Agama RI akan menggelar sidang isbat awal Ramadan 1441 H. Lewat sidang isbat tersebut, Kementerian Agama RI akan menetapkan waktu awal Ramadan 1441 hijriah dimulai.
Selama ini yang menjadi acuan sidang isbat adalah rekapitulasi hasil hisab yang berkembang di Indonesia dan laporan rukyat dari Sabang sampai Merauke. Metode ini dianggap sebagai jalan untuk mengayomi pandangan keberagamaan yang berkembang di negeri ini antara pendukung hisab dan rukyat. Hanya saja dalam situasi seperti sekarang ini masih relevankah sidang isbat menunggu hasil rukyat?.
Berdasarkan rekapitulasi hasil hisab yang berkembang di Indonesia menunjukkan ijtimak awal Ramadan 1441 terjadi pada hari Kamis Wage 23 April 2020 pukul 09:29:01 WIB. Pada saat matahari terbenam di seluruh wilayah Indonesia posisi hilal masih di atas ufuk (moonset after sunset). Selengkapnya perhatikan tabel berikut.
No. |
Kota |
Tinggi Hilal |
Elongasi |
Umur |
1 |
Merauke |
+02° 51’ 07’’ |
04° 11’ 34’’ |
06j 05m 29d |
2 |
Yogyakarta |
+03° 53¢ 09² |
04° 53’ 39’’ |
08j 07m 59d |
3 |
Pelabuhanratu |
+03° 30’ 22’’ |
04° 44’ 50’’ |
08j 22m 59d |
4 |
Sabang |
+03° 28’ 31’’ |
05° 06’ 34’’ |
09j 19m 12d |
Memperhatikan data di atas secara teoritis sudah memenuhi syarat wujudul hilal yang dipedomani Muhammadiyah dan Visibilitas Hilal MABIMS yang dipedomani Kementerian Agama RI. Dengan kata lain secara teoritis awal Ramadan 1441 H akan dimulai secara serempak pada hari Jum’at 24 April 2020. Kasus seperti ini sudah sering terjadi jika posisi hilal sudah memenuhi kriteria Visbilitas Hilal MABIMS maka ada laporan keberhasilan melihat hilal. Data yang terkumpul selama tiga belas tahun (1427/2006-1440/2019) juga menunjukkan hal yang sama. Dengan kata lain Taqwim Standar Indonesia yang digunakan oleh Kementerian Agama senantiasa bersesuaian dengan hasil observasi di Lapangan.
Menghadapi kasus semacam ini tentu saja dilematik bagi Menteri Agama. Jika sidang isbat tetap dilaksanakan dan menunggu hasil observasi maka akan mendapat kritik dari masyarakat luas seakan-akan Menteri Agama tidak memahami dan hanya memperhatikan salah satu kelompok serta tidak peka terhadap situasi yang sedang berkembang. Dalam kondisi seperti sekarang ini sebaiknya sidang isbat tidak perlu dilaksanakan. Argumentasinya dapat dirujuk pada Keputusan Menteri Agama RI No. 70 Tahun 1987 dan merujuk “fikih corona” yang telah difatwakan berbagai ormas Islam di dalam negeri maupun luar negeri, salah satunya terkait pelaksanaan salat jum’at diganti salat zuhur di rumah.
Menteri Agama tinggal mengumumkan awal jatuhnya bulan Ramadan 1441 H sebagaimana pernah dilakukan pada masa lalu. Langkah ini sebagai jalan tengah yang harus ditempuh untuk mewujudkan kebersamaan tanpa menimbulkan riuh di masyarakat. Sebaliknya jika sidang isbat tetap dilaksanakan dan menunggu hasil observasi di Lapangan, memperhatikan cuaca yang sedang berlangsung, dan perbedaan dalam memulai awal Syakban 1441 maka ada kemungkinan terjadi perbedaan dalam memulai awal Ramadan 1441.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menjelaskan bahwa 51 persen publik tidak menginginkan adanya sidang isbat. Penelitian ini melibatkan 1.200 responden yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Hasil survei LSI menjadi renungan bersama dan penting bagi upaya penyatuan kalender Islam. Terlepas validitas survei tersebut, saatnya Menteri Agama RI melakukan terobosan dan landasan bagi upaya mewujudkan kalender Islam pemersatu ke depan. Oleh karena itu dalam penetapan awal dan akhir Ramadan 1441 H dan tahun-tahun yang akan datang agar negara tidak “terbebani”, khususnya Menteri Agama RI maka perlu sifat kenegarawanan para elite ormas, khususnya para pendukung rukyat untuk memberi keleluasaan kepada Menteri Agama RI menetapkan awal Ramadan 1441 merujuk pada pengalaman dan masukan para saintis dengan memperhatikan aspek syar’i dan sains. Dengan demikian semua komponen anak bangsa terayomi dan kebersamaan tetap terjaga.
Wa Allahu A’lam bi as-Sawab.
*) Prof. Dr. Susiknan Azhari, Guru Besar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta