“Physical Distancing”, Tantangan Baru Ritual Keagamaan Kolektif
Oleh: Prof. Sangkot Sirait
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Untuk mengurangi risiko penyebaran wabah virus korona (Covid-19), satu dari anjuran pemerintah adalah melaksanakan ibadah di rumah.
Dalam beberapa hari kemudian muncul pro-kontra atas anjuran tersebut, terutama menjelang pelaksanaan ritual keagamaan yang biasanya dilaksanakan secara kolektif atau berjemaah, sudah tiba. Jumat, misalnya, adalah hari spesial bagi umat Islam, karena pada hari tersebut dilakukan shalat berjemaah, disebut halat Jumat.
Tidak hanya itu, di kalangan Muslimin juga dianjurkan agar setiap shalat wajib 5 (lima) waktu sehari semalam lebih baik dilaksanakan secara berjemaah, terutama di masjid atau di langgar terdekat dari rumahnya. Ibadah kolektif lain, seperti haji dan umrah, mengalami nasib serupa.
Hari Minggu merupakan hari yang sangat spesial bagi umat Nasrani. Mereka berkumpul dan beribadah di gereja, disamping mendengarkan siraman-siraman rohani secara bersama. Demikian halnya di vihara, pura, kelenteng, dan masih banyak tempat-tampat yang dipandang suci oleh pemeluk agama tertentu yang lain.
Tradisi ritual keagamaan kolektif yang sudah berjalan berabad-abad seperti itu, di era musibah Covid-19 seperti sekarang, mengalami perubahan bentuk yang signifikan dan mengagetkan. Perintah agama untuk melaksanakan ibadah secara kolektif atau berjemaah, terutama di ruang publik, untuk sementara waktu dikurangi atau dibekukan sama sekali dalam masa yang belum pasti.
Sekarang tempat-tempat ibadah sangat sepi, ritual-ritual ataupun tradisi keagamaan yang menjadi pelipur lara masyarakat, khususnya Nusantara, sudah tidak terlihat dan terdengar lagi. Hari-hari umat yang penuh keceriaan serta silaturahmi atas berkah ibadah-ibadah kolektif, di masjid, gereja dan tempat-tempat suci lainnya, sudah jarang terlihat.
Emile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of Religious Life menulis, ide masyarakat merupakan ruh dari agama. Dalam buku Seven Theories of Religion karya Danial L. Pals, disampaikan inti pemikiran Durkheim berupa “Society as Sacred”.
Dengan melihat betapa pentingnya fungsi dan peran komunitas dalam konteks kehidupan masyarakat, yang di dalamnya ada tradisi dan keberagamaan, komunitas menempati posisi penting dan suci. Tidak mungkin dilakukan ritual keagamaan di komunitas atau jemaah yang tidak suci. Semua aspek kehidupan manusia, seperti hukum, moralitas, keluarga, ilmu, seni dan agama, didasarkan kepada dimensi sosial masing-masing.
Tanpa sebuah masyarakat yang memberikan dukungan atas semua itu, tidak satu pun dari aspek tersebut bisa eksis. Banyak sekali ibadah yang pada dasarnya merupakan kewajiban individu, bahkan sah apabila dilaksanakan dengan seorang diri, tetapi tidak dirasakan sempurna bila ia tidak dihubungkan dan dikerjakan bersama-sama dengan orang-orang di sekitarnya. Di sinilah terlihat fungsi sosial dan komunal agama sebagai inti agama itu sendiri, agama hakikatnya bersifat kolektif.
Kesadaran baru
Dalam konteks sosiologi, agama dan masyarakat ibarat dua sisi mata uang, yang satu tidak bermakna tanpa sisi yang lain. Ritual-ritual keagamaan yang semestinya merupakan urusun individual dengan Tuhan mengalami hal serupa. Seseorang yang berangkat dari rumah ke tempat ibadah, masjid misalnya, mungkin tidak sekedar atas nama Tuhan dan ibadah, tetapi juga tersirat perasaan kebutuhan lain di dalamnya.
Misalnya dengan melaksanakan ibadah berjemaah, seseorang bisa bertemu kawan-kawan satu wilayah, tokoh masyarakat, orang yang dihormati dan masih banyak aspek lain yang dirasakan. Perasaan-perasaan keagamaan yang sangat dalam akan muncul dan lebih khidmat manakala dilaksanakan secara berjemaah. Jadi, sistem peribadatan yang terdiri dari jemaah beserta perasaan-perasaan mereka serta dilakukan dalam waktu bersamaan merupakan inti kehidupan jemaah secara keseluruhan.
Tujuan utama sistem peribadatan, seperti untuk memenuhi kewajiban, tidak sepopuler jika peribadatan itu dilaksanakan bersama-sama. Dalam Islam, misalnya, salat dan mohon ampun kepada Tuhan kapanpun waktunya bisa dilakukan secara individual. Namun, melakukan shalat tersebut secara berjemaah, terutama di masjid, merupakan kesempatan yang sangat berharga.
Masih banyak lagi jenis ritual keagamaan kolektif yang mengalami hal serupa, dan ini bisa berlaku dalam tradisi keagamaan apapun. Dengan demikian, tujuan ritual-ritual keagamaan tersebut adalah memberikan kesadaran betapa pentingnya jemaah, dan sebagai bukti identitas diri bahwa mereka bagian dari jemaah. Adanya tempat ibadah yang hingga sekarang dipenuhi jemaah kendati penuh resiko barangkali bisa dijelaskan lewat perspektif ini.
Di masa belakangan ini, nilai agama sebagai perekat kehidupan jemaah mengalami problematika. Ada ikatan sosial secara umum, terutama semua anggota masyarakat sekarang merasa satu nasib, yakni sama-sama terisolasi di rumah. Dalam kondisi yang kurang kondusif seperti hari-hari ini, prinsip-prinsip asketik yang bernuansa mistik, seperti yang didengungkan para mistikus agama, mungkin bisa saja dilakukan, misalnya prinsip “kesendirianku justru menjadikanku lebih dekat dan rindu kepada Tuhan”.
Bagi masyarakat Nusantara yang sistem keberagamaannya cenderung lebih bersifat formal, sikap seperti ini mungkin tak mudah diwujudkan, tapi harus dilakukan. Physical Distancing menjadi tantangan baru ritual keagamaan kolektif kita di tengah pandemi Covid-19 yang bersama-sama harus bisa kita perangi.
ARTIKEL OPINI “PHYSICAL DISTANCING”,
TANTANGAN BARU RITUAL KEAGAMAAN KOLEKTIF di muat di Harian Nasional Kompas, edisi 16 April 2020.