Pidato Rektor Pada Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Kajian Gender Prof. Alimatul Qibtiyah

Ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, janin dalam kandunganku menjadi hamba yang mengabdi, maka terimalah dariku ini. Sungguh, Engkaulah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Maka ketika melahirkannya, dia berkata, “Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.” Padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan, dan laki-laki tidak sama dengan perempuan. ” Dan aku memberinya nama Maryam, dan aku mohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang kejam.”

UIN Sunan Kalijaga untuk Bangsa UIN Sunan Kalijaga Mendunia!

Yang saya hormati Ketua dan Sekretaris Senat yang baru, Prof. Siswanto Masruri dan Prof. Maragustam, teman bermain pingpong yang baik hati. Prof. Mara selamat ya, mari bekerjasama dan saling mendukung.

Para pejabat UIN, Wakil Rektor, Dekan, DirekturPascasarjana, Kabiro. Yakita mempunyai Kabiro baru dari Jember. Pak Masykur namanya. Beliau sudah telfon saya. Alhamdulillah beliau masih diklat, selesei itu insyaalah bertugas ke kampus kita. Kita syukuri. Semoga empat tahun ke depan bisa bekerjasama terus.

Semoga Bapak Ibu hadirin tetap sehat dan bahagia. Terhindar dari covid-19. Semua yang hadir baik yang daring atau luring.

Selamat Prof. Alimtul Qibtiyahadalah Guru Besar kedua yang kita kukuhkan sejak saya menjadi Rektor. Semoga berkah, menjadi ilmuwan harapan, penuh komitmen, bersemangat, dengan dedikasi tinggi. Dan setialah pada ilmu pengetahuan.

Saya cukup mengenal dekat Bu Alim ini, dan orang Ngawi ini luar biasa mentalnya dan semangatnya. Sewaktu mahasiswa saya kos di depan kos bu Alim. Kosnya milik tukang bakso Pak Paino, kos saya Dewo Bimasakti, milik Pak Mislanto. Anak Pak Paino bernama Muslim yang sering memetik jambu depan kos saya. Bu Alim yang saya tahu berteman dengan teman saya bernama Dini Al-Islami orang Ngawi yang cerdas juga, dan membuka kios di depan fakultas Dakwah waktu itu. Bu Alim sering diskusi dan pinjam buku dengan kawan saya Dini Islami. Bu Alim ini ulet sejak mahasiwa dengan usaha kecil-kecilan. Saya tahu Bu Alim sering terlihat bawa nampan atau tempat pisang goreng, kalau gak salah. Berkah ya Bu.

Bu Alim lalu pergi ke Amerika, tepatnya diNorthern Iowa dengan keluarganya, saya tidak tahu di sana. Lalu Bu Alim menyelesaikan Ph.D di Western Sydney, Australia, sama juga dengan Pak Dr. Muttaqin. Sebentar lagi menyusul ya Pak. Disitulah saya berjumpa dengan Prof. Arskal sahabat lama saya, dia sebagai senior lecturer.Saya sebagai fellow, dan saya sempat diajak mengajar di kelas di Western Sydney. Saya bekerjasama dengan Prof. Adam Possamai dan menerbitkan buku saya Challenging Islamic Orthodoxy. Bu Alim Sudah pulang.

Bu Alim pernah kontrak rumah di Gedong Kuning waktu itu, saya juga mengontrak dekat situ. Saya pernah silaturahim ke kontrakannya.

Nah semangat pantang menyerah ini ceritanya berlanjut di Al Jamiah, penyelesaian artikel Bu Alim. Dia tidak kenal menyerah, dikritik dan diminta perbaikin. Dia tidak patah semangat. Dia tidak merasa minder. Tetapi dikerjakan dan tetap maju terus. Tentu saya di Al Jamiah dibantu Teh Prof. Euis Nurlaelawati. Terimakasih Teh Prof. Terus rawat Al Jamiah ya Bersama Prof. Ratno dan Mas Dr. Ikhwan, juga Mas Saptoni yang baik hati dan tulus.

Saya pelajari dari Bu Alim adalah tidak pernah malu, percaya diri, ulet, dan pantang menyerah. Ini sifat baik yang mengantarkan Bu Alim ke Amerika, Australia, Guru Besar dan Komnas Perempuan. Selamat dan UIN turut bangga.

Agak serius sekarang ya.

Beberapa buku dan artikel tentang feminisme yang saya baca. Saya juga mengikuti diskusi dan banyak belajar. Saya sering datang ke PSW (Pusat Studi Wanita) dan bercengkerama dengan para aktivis di sana, walapun secara resmi saya tidak pernah bergabung. Saya berusaha tidak berdiskusi dan tidak berdebat, saya menjadi pendengar saja. Tapi berusaha menjadi, bukan mendebat. Kata Marcus Aerelius, kaisar Romawi yang filosof itu, kesukaan saya dalam bukunya Meditation, be the one. Never discusses or debate what good is but be the one.

Bu Ruhaini Dzuhayatin yang sebentar lagi GB sebagai aktivis dan juga ardent defender Bahasa Inggrisnya, saya kagumi, dan guru saya, yang membimbing saya saat belajar Bahasa Inggris, selalu assertive soal gender ini. Adik saya, Anis Hidayah, pendiri Migrant Care selalu mengingatkan saya tentang praktek kesetaraan gender ini. Saya ditegur ketika menggunakan kata wanita, gunakan perempuan yang lebih netral. Saya turuti. Istri saya Rofah selalu juga mengontrol saya, baik pemilihan kabinet, Dekan-Dekan, Wakil Dekan. Keputusan saya juga tidak lepas dari pengawasan istri saya, searah dengan reformasi pemahaman kesetaraan gender, without discussingwhat good is, but be the one. Never just debate what feminism is, but be the one. Istri saya tesisnya tentang Gerakan Aisyiah, tentu saya ikut membaca dan bahkan mengedit juga. Diam-diam saya menikmati juga.

Banyak interpretasi ayat-ayat Quran dan hadits-hadits pilihan menguatkan argument itu. Maka banyak para feminist Muslim memakai legitimasi itu. Seperti Prof. Nina Nurmila Bandung. Saya menerbitkan dan membaca paper-paper beliau. Teh Prof. Etin Anwar di Amerika, asalnya Bandung, juga saya suka buku dan karyanya. Argumen dan juga sikap progresifnya.

Saya belajar banyak tentang isu gender ini. Hampir semua tokoh kita belajar juga tentang hal ini. Prof. Amin Abdullah tentu saja. Pak Sodiq. Pak Waryono juga aktifis gender. Prof. Yudian juga sangat menghargai istrinya, ini termasuk be the one, no discussion ini. Tidak mendebat tetapi menjadi.

Di Indonesia yang saya pelajari tradisi matrilineal Minangkabau. Saya suka ini para pendiri Indonesia ini dari etnis dan tradisi ini, dari Dr. Abdul Rivai, sang dokter yang karirnya luar biasa sebelum kemerdekaan, Tan Malaka, Syahrir, Hatta, Agus Salim, Yamin. Semua dari Padang, para tokoh kemerdekaan dan penggagas republikini. Ternyata sistem matrilinial sepertiMinangkabau memproduksi banyak pahlawan, tokoh, dan para penyumbang pemikiran Indonesia.

Sekarang para orang Minang Padang masih berperan penting. Buya Syafii Maarif, juga Azyumardi Azra. Ini hasil dari budaya matrilineal ini, saya kira. Jadi Indonesia itu kalau jujurya yang mendirikan orang Minangkabau, yang pergi ke Belanda dan Batavia, Jakarta. Naar Republik Indonesianya Tan Malaka, luar biasa pengaruhnya. Tokoh seperti Abdul Rivai luar biasa perjalanan hidupnya. Lalu orang seperti Sukarno, gurunya Tjokroaminoto yang menjadi tokoh dan penggerak massa adalah symbol tak lepas dari perang orang-orang Minang. Pemikiran orang-orang Minang, dengan system matrelinial ini luar biasa. Patut dijadikan studi ini, kenapa matrelinial bisa begitu.

Kalau dalam tradisi Semitik tentu Yahudi ya dengan system matrilinial bisa menghasilkan banyak tokoh dan peraih nobel.Tradisi tua Yahudi bertahan sekian generasi beribu tahun dari peradaban kuno, klasik, hingga modern globalisasi ini dengan banyak prestasi dari para seniman, politisi, ilmuan. Hollywood, tidak karya hanya ilmiah. Orang-orang Yahudi tidak diragukan kontribusinya. Sigmund Freud, Einstein. Dalam studi Islam tentu Ignaz Goldziher, Joseph Schacht. Bahkan sampai sekarang. Ini hasil system matrelinial. Apakah ada kaitan antara Minangkabau dan tradisi Yahudi sehingga keduanya melahirkan banyak tokoh? Mari kita teliti.

Kita patut belajar itu.

Saya baru belajar dari hasil fellowship saya dari Hongkong, India, China dan Indonesia dibawah ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies) adalah tradisi China, dari kawan saya di University of Hongkong David Palmer, orang Kanada tamatan McGill yang menjadi dosen di Hongkong. Saya belajar tentang China, agama, tradisi, dan terutamaTaoisme.

Saya akhir-akhir ini membaca buku Taoisme. Judulnya. Tao Te Chin. Ini ditulis 2500 tahun yang lalu, pada waktu yang sama saat Dharma Budhisme India dikonsepkan, juga sama saat Pythagoras di Yunani mengajari filsafat dan matematika. Ajaran Tao ini menjadi sumber pokok dari Taoisme di China dan menjadi dasar tradisi spiritualitas negeri Panda dan Tirai Bambu itu.

Jadi Tao adalah jalan, sedangkan Te adalah nilai sedangkan Ching itu kitab suci. Nah buku ini sederhana tapi kuat karakter dan narasinya, juga puisinya, saya sangat menyukainya. Terutama prinsip-prinsip keseimbangan. Ini juga ajaran moderasi, tawasut yang selama ini saya kemukakan di banyak pidato dan kesempatan. Ajaran tawasut tidak hanya dalam tradisi kita. Tapi itu Kembali pada ajaran Yunani 2500 tahun yang lalu pada filosof seperti Epictetus, Seneca, gurunya kaisar Nero di Romawi, juga Marcus Aerelius. Nah saya menemukan konsep moderasi, tanpa sengaja, yaitu bersikap tengah-tengah pada Taoisme China.

Ada dua unsur yang harus dijaga keseimbanganya yaitu, Yin dan Yang.

Gambar bola dengan dua warna hitam dan putih, gelap dan terang, membagi unsur, dengan bentuk melengkung.Kalau Anda bisa bayangkan menggambarkan unsur keseimbangan alam dan moral manusia. Antara Yin dan Yang. Berikut saya kemukakan sekilas apa yang saya pelajari dari Tao Te Ching:

Yin merupakan unsur perempuan, diam, pasif, dan kekuatan bumi. Bumi itu terkait dengan kehidupan, pemberi hidup. Yang adalah laki-laki, agresif, atau ofensif, aktif, pemberi kekuatan dan itu adalah langit. Bumi dan langit harus seimbang. Perempuan dan laki-laki harus seimbang. Ini kan tawasut yang selama ini kita bicarakan. Jadi tradisi China patut juga dipelajari.

Dalam sebuah hadits yang konon tidak terlalu kuat takhrijnya, diragukan, karena sanadnya, katanya carilah ilmu sampai China.

Konon dalam tradisi Nusantara, yang datang lebih dahulu itu tradisi China, dengan bukti-bukti material seperti porselin dan lain-lain. Tradisi India, Buddha datang kemudian. Lalu tradisi Timur Tengah pada era Baghdad dan selanjutnya. Tradisi Timur Tengahdatang menjelang kekuatan colonial Eropa menguasai Nusantara. Tepatlah kiranya, kita mempelajari China.

Kekuatan dunia saat ini, China sangat dominan, bisa menguntit Amerika dan Eropa. India tentu saja dengan Mahabarata dan Ramayana yang mempengaruhi kita semua seperti terpahat di candi Prambanan, di relief-releif itu penuh dengan ukiran Ramayana. Borobudur dengan sutera-suteranya itu menunjukkan Tantrayana dan Mahayana, pada era wangsa Syailendra.

Kembali pada tradisi moderasi unsur perempuan dan laki-laki menurut kitab Tao Te Chin dan tradisi China:

Kembali pada unsur Yin dan Yang menarik ini. Berikut daftar sederhana:

Yin

Yang

Gelap, malam

tradisional

Siang, cahaya

reformasi

bulan

halus

matahari

keras

intuisi

perbintangan

intelektual

dunia tampak

Pasif, statis

harimau

Aktif, dinamis

Dragon, naga

berkurang

Hati, paru-paru

Menambah,

Kulit, usus

konsevatif

inovatif

Dua unsur ini menarik jika dikatikan tidak hanya dengan laki dan perempuan yang seimbang, sebagaimana kabinet UIN Sunan Kalijaga 2020-2024 kita saat ini, para Dekan, Wakil Dekan, para Kajur dan Sekjur dan semua unsur, tapi juga lebih luas lagi skala nasional. Dua organisasi Islam di Indonesia saya kira bisa diukur dan dianalogikan dengan dua Yin dan Yang. Harus seimbang antara tradisi dan inovasi. Harus tawazun antara Nurani dan intelektual. Harus baik dan terukur antara konservatif dan inovatif. Juga harus setara antara pasif dan aktif, static dan dinamis, antara matahari dan bulan, antara harimau dan naga. Menarik bukan? Ternyata unsur keislaman dan keindonesiaan ini sudah dibahas 2500 tahun lalu di dalam tradisi tua Taoisme China.

Penulis Tao Te Ching diasosiasikan dengan tokoh tua berjanggut Lao Tzu, atau Lao Tse, atau Lao Zi.Kurang begitu jelas persisnya peristiwa itu sudah 2500 tahun lalu. Apakah Kitab itu karya beliau sesungguhnya atau tradisi yang sudah ada lebih tua kemudian ditulis, kurang jelas. Tapi beliau dalam gambarnya sedang menunggang kerbau air. Arti kata Namanya adalah orang tua atau guru tua, old master. Dilahirkan di Honan, 24 Maret 604 SM. Konon sang guru tua menunggang kerbau ingin rehat dari dunia menuju kearah Barat. Dia mendekati daerah Guan Yin Zi. Seorang pejabat membujuknya untuk menulis ajaran-ajaran bijaknya. Lao Tzu lalu bersembunyi di gunung dan menulis Tao Te Ching. Setelah itu, sang master lalu pergi ke Barat dan tidak pernah nongol lagi.

Saya baca terjemahan, Tao Te Ching oleh Tolbert McCarrol. Anda bisa download.

Sekali lagi saya bangga dengan Bu Alim, jangan lupa menyeimbangkan Yin dan Yang ya, feminine dan maskulin, kampus dan Komnas Ham, dunia luar dan dunia dalam, Gerakan dan pengabdian serta penelitian, menulis dan aktif di luar, riset dan bergerak. Jangan lupa akar, bumi, matahari, bulan. Jangan lupa darimana kita berasal. Jangan lupa mengabdi lagi. Ingat kita punya satu wadah UIN Sunan Kalijaga.

Setelah ini kita mengingat Kembali

UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa UIN Sunan Kalijaga mendunia.

Mohon maaf jika ada kekurangan.

OlehProf. Dr. Phil. Al-Makin, S.Ag., MA, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta