Pidato Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pada Pengukuhan Guru Besar Prof. Abdul Munip

UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia.

Yang terhormat Ketua dan Sekretaris Sidang Terbuka Rapat Senat, para Wakil Rektor, Dekan, Direktur Pascasarjana. Semoga sehat selalu. Semoga semua siap terus diajak Kerjasama. Mari bekerjasama. Saling memahami. Saling mengerti. Semua ada bagian, karma dan dharmanya. Tidak perlu semua persis seperti yg kita bayangkan. Semua pihak harus saling mengerti demi kepentingan UIN Sunan Kalijaga. Tidak semua keinginan kita itu terpenuhi, sesuai dengan kepentingan pribadi. Ingat ada kepentingan UIN dan kebersamaan. Mari saling mendukung, mengangkat. Lupakan dan maafkan saling ketersinggungan dan kesalafahaman.

Selamat Prof. Dr. Munip atas capaiannya. Semoga berkah, setia pada ilmu, manfaat, dan terus menulis dan meneliti, itulah tugas GB. Yang lain-lain itu bonus.

Relasi saya denganProf. Munip ini tidak banyak, karena tidak pernah bersama dalam satu team dan satu wadah yang erat. Tetapi saya secara pribadi cukup terkesan dengan beliau. Dia sosok yang pendiam dan saya kira murah senyum. Tekun. Dan tolong diteruskan ketekunan itu, tetap produktif dan setia pada ilmu pengetahuan.

Pak Munip bergabung pasukan posdok Angkatan kedua 2017. Program ini diinisiasi oleh Prof. Yudian Wahyudi Sunan Anbiya, dan eksekutornya adalah LP2M dibawah saya dan sekretaris Dr. Soehada, Kapuslit Dr. Muhrisun, meski di teks pidato Prof. Munip terlewat nama beliau-beliau. Ya kadang jatuh cinta itu tak harus dibalas ya. Pak Soehada, Muhrisun, yang mencairkan dana lewat LP2M terlupa disebut, mohon kapan-kapan ya disebut ya peran mereka. Mereka yang juga bertanggung jawab di pemeriksaan BPK dan Itjend untuk dana dan laporan keuangan, dan itu tidak mudah. Terima kasih hendaknya juga dengan jelas dan eksplisit. Terutama LP2M dan semua pengurusnya.

Pak Prof. Munip waktu bergabung program Posdok sudah menyelesaikan paper, dan akan diterbitkan. Jadi mengikuti sesi sambil menunjukkan terbitan yang akan datang ke saya. Ini Langkah progresif ini.

Pak Munip Ketika akan diangkat jadi Wadek juga senyum saja. Ini misterius ini. Beberapa hal misterius. Saya tidak ingin membahasnya, dan saya tidak ingin tahu isi hatinya, tentang saya, LP2M, dan teman-teman saya. Saya berbaik sangka dan mempunyai citra yang baik tentang beliau, Pak Munip, saya mengharap hal yang sama dari dia. Saya ikhlas. Kok.

Saya dengar Pak Munip kooperatif dengan bu Dekan Dr. Sumarni, sebentar lagi Prof. juga. Alhamdulillah itu sudah cukup. Pak Munip juga team saya inti dalam soal pelunasan Kampus 2 Pajangan. Semoga beliau ikhlas dan mau membantu penyelesaikan kampus Pajangan, berusaha meyakinkan semua pihak terkait agar melunasi hutang pemerintah. Sebagai ucapan terimakasih pada kampus, LP2M, dan rektorat saya yang suka cinta pada Pak Munip.

Bidangnya translation, atau penerjemahan, saya kira disamping menikmati presentasi tadi, juga harus melihat bahwa penerjemahan itu sudah terjadi sejak awal peradadaban Islam. Dari Yunani ke Latin. Dari Latin ke Syriak. Atau dari Yunani ke Syriak. Dari Syriak ke Arab. Itulah transfer pengetahuan di era Umayyah dan Abbasiyah yang menjadikan modal penerjemahan itu masa keemasan. Dalam buku saya Keragaman dan Perbedaan, penerjemahan itu menunjukkan keragaman, karena pelaku penerjemahan itu dari berbagai unsur agama, etnis, dan budaya, tidak hanya Arab dan Islam. Tapi Yahudi, Krstiani,Persia, Afrika, India, Latin, Siria, dan lain-lain.

Saya tertarik membahas sedikit tentang Pendidikan/Tarbiyah.

Pendidikan hendaknya dikembalikan pada sejarah. Jadi sejarah tetap penting. Saya tidak setuju, kalau pelajaran sejarah dihilangkan dari kurikulum kita. Tanpa sejarah manusia lupa siapa dirinya dan bumi ini. Sejarah berkembang terus. Sejarah kecil, nasional, dunia, dan sejarah peristiwa-peristiwa.

Mari kembali 2500 tahun yang lalu di era dua kota atau polish dalam bahasa Yunani: Athena dan Atlanta.

Athena adalah kota demokrasi, kata itu pertama kali dilapal dan dipraktekkan. Ada majelis ada kontrol dan ada pemilihan pemimpin. Ada warga dan ada hegemon (penguasa).

Sementara itu, Atlanta adalah kota militer. Setiap warga menjadi tentara. Dilatih untuk berperang dan membunuh musuh. Kota ini seperti mesin dan diharapkan menalkukkan kota lain.

Di Athena lah lahir banyak pengetahuan disamping praktek demokrasi tertua. Ada Plato dan Aristoteles. Juga Socrates sebelumnya. Pendidikan di situ kalau dibaca seluruh karya-karya filsafat ada 4 hal penting:

  1. Etika
  2. Estetika
  3. Pengetahuan/kognitif
  4. Olah raga

Pertama. Etika adalah bagian penting, dari semua filsafat dan kebijkan, baik Plato, Aristoteles, Socrates, sampai ini diteruskan di era Romawi kuno. Etika atau moral selalu dibahas terdahulu dan Panjang lebar. Apa itu kebaikan, keberanian, nilai-nilai mulia. Yunani sangat menekankan kejujuran, keberanian, dan kemanusiaan. Menjadi manusia dan warga polish atau kota.

Dalam bahasa sekarang etika menjadi adalah character building. Pendidikan saat ini di Indonesia seakan-akan melupakan ini, sayangnya. Penddikan hanya pada penilaian, capaian grafik, dan angka. Nilai tinggi dan mencapai cumlaude. Di Tarbiyah kita tertinggi cumlaudenya. Saya tandatangan ijazah cumlaude banyak sekali, disbanding fakultas lain.

Statistik juga andalan ini. Ini baik sebagai ukuran dan dilihat dunia. Tapi bagaimana dengan akhlaq, atau etika?

Nabi Muhammad juga mengatakan.

(HR. Baikhaqi)

Mungkin kita perlu bertanya relasi antara prestasi IP (Indeks Kumulasi) dengan akhlak. Apakah kita sudah benar-benar mencetak generasi dengan karakter dan moral yang luhur? Hasil saya kira tidak berbohong. Banyak pemimpin-pemimpin kita dengan jabatan tertinggi di istana, parlemen, bupati, camat, lurah ditemui tersangkut beberapa kasus.

Ini karena perlu perenungan mendalam apakah benar Pendidikan kita? Penddikan mengejar karir, pekerjaan, kemakmuran, dan serba dunawi tentu penting. Tetapi bagaimana Pendidikan yg menekankan kejujuran, kutamaan, keberanian, dan integritas?

Dunia pendidikan harusnya merasa berdosa jika masyarakat sudah berbelok. Praktek demokrasi sudah seperti yang dikiritk oleh Socrates 2500 tahun waktu lalu, hanya besar-besaran di wacana saja. Hanya saling menjatuhkan, bukan saling mendukung dan mengangkat. Tidak diberengi dg perbaikan akhlak kolektif masyarakat. =

Demokrasi kita adalah buah dari pendidkan kita. Kaitkan itu. Masyarkat adalah hasil dari pendidkan. Maka jangan hanya kaitkan dengan sistem politik. Sistem politik seperti apapun jika Pendidikan kita tidak mengejar kakakter, saling menghormati, saling menyayangi, saling mendukung, bijaksana, ya akan menghasilkan saling mencurangi, menjatuhkan, saling menghancurkan. Apakah demokrasi kita seperti itu, sebagaimana yangg dikiritk Socrates 2500 tahun yg lalu?

Tentu penddikan jawabnya, tidak hanya mengejar statistic, webometric, website-website, ukuran-ukuran. Jerman dan juga negara-negera maju sudah mulai lagi melihat ke belakang nilai-nilai tradisional mereka. Kita pun layak melihat nilai-nilai tradisional kita, nilai-nilai etnis, budaya local, dan membaca serat, kidung, babat, dan relief candi.

Dalam relief candi Borobudur ada sutera-sutera, dari ajaran tantrayana, Mahayana Buddha, tepatnya Gandawyuha. Ada Sudana yang mencari kalyanamitra, 53 guru dan sahabat, kesana kemari. Mencari kebajikan, kebijakan, dan persahabatan. Perguruan dan pendidikan itu tentang persahabatan, bukan hanya soal kompetisi dan saling mengalahkan. Bukan mencari hanya kemakmuran yang instan. Sukses yang cepat. Menguasai dunia yang eksploitatif. Tetapi harmoni dengan alam, masyarakat, dan membangun negara.

Era globalisasi ini hendaknya lebih mengingatkan kembali nilai-nilai akhlaq yang sesungguhnya. Tetapi yang sesungguhnya dari hati terdalam, iklas tanpa pretensi apapun. Apakah Pendidikan kita seperti itu masih ada selain yang terpahat di candi Borobudur?

Kedua. Pendidikan kedua adalah estetika, atau keindahan. Ini kata Muhammad Iqbal, filosof dari India, adalah universal, bahkan lebih universal dari keyakinan spiritual dan interpretasi keagamaan dan rasa keimanan kita.

Kalau Anda setuju baju saya indah, saya tidak tampan,semua hampir setuju itu. Kalau Anda setuju Incess Syahrini cetar membahana, semua setuju, tanpa memandang ras, suku, agama, keayakinan, mazhab organisasi. Itulah estetika keindahan.

Estetika ini harus diajarkan lagi, lewat seni, musik, lukis, tari, gamelan, arsitek, dan semua bentuk keindahan. Keindahan menjadi citarasa universal dan ini menyatukan kita semua.

Para pengagum Luna Maya bersatu karena keindahannya. Para pengagum Kim Kardasian juga bersatu tanpa memandang bangsa dan agama. Para pengagum lukisan Leonardo Da Vinci Monalisa atau Last Supper mendunia tanpa memandan dimana tinggal. Para pengagum suara emas Alicia Keys mendendang tanpa memandang imannya. Para pengagum kasidah ria, rock, dangdut, Nella Charisma, Rhoma Irama, kecapi suling, berjoget bersama tanpa bertanya dari partai apa. Keindahan hendaknya juga menjadi prioritas kita, keindahan menyatukan. Itulah estetika.

Para mahasiswa kita hendaknya dimaksimalkan peran seninya, tidak hanya politik. Drama, teater, musik, lukis, menari, gamelan, dan lain-lain. Kita juga hendaknya sering-sering karaoke, mendengar musik, melihat tari, dan menikmati lukisan.

Ketiga. Pendidikan ketiga adalah pengetahuan atau kognitif. Ini menjadi sering salah kaprah akhir-akhir ini karena pengetahuan tidak dinikmati prosesnya, yaitu pencarian. Tetapi menjadi hafalan dan mekanik. Mencari pengetahuan tidak ditekankan, tetapi hanya prestise gelar, dan formalitas semata. DIlihat dari relief candi Borobudur, Gandawyuha tentang Sudana dalam mencari guru dan sahabat Kalyanamitra, bagaiman iya berjalan mencari kebajikan, ini seperti penddikan tempo dulu di cantrik, atau nyantri di pesantren.

Kisah Sudana dan Kalyanamitra di Borobudur bisa diterjemahkan dalam arti riset dan penelitian yang tekun. Disinilah mungkin perlu direnungkan di fakultas Tarbiyah yang menyumbang banyak BLU tertinggi diantara para fakultas yang lain. BLU dan dengan mahasiswa terbanyak itu.

Karena saya sendiri adalah asesor jurnal di Ristekdikti dan seakarang di Mendiknas, pentingya kita melihat kualitas tulisan-tulisan di jurnal-jurnal kita. Banyaktulisan dari fakultas Tarbiyah yang sifatnya hanya menulis kopi-paste saja. Penerjemahan Bahasa Arab di Malang, misalnya, lalu ada tulisan lain persis di Banjarmasin, di Aceh, di Jakarta, di Yogyakarta. Semua sama tinggal diganti kotanya. Konten dan argument hampir atau persis sama. Ini kan penghafalan. Tidak pencarian. Bahkan sudah kopi paste.

Tarbiyah perlu berfikir keras memadukan antara pencarian riset dan pendidikan bukan hafalan. Antara pemikiran yang mendalam dan perenungan. Bukan hanya mekanik dan tinggal menerapkan yang sifatnya chicken soup atau aplikatif.

Keempat. Pendidikan keempat terakhir adalah olah raga, ini penting saat covid-19ini untuk meningkatkan imun tubuh.

Tapi ingat juga olahraga kita secara nasional juga mengecewakan. Bulu tangkis yg katanya andalan juga tampak berjuang keras dalam kompetisi denganatlet-atlet dari Eropa, China, Malaysia, India dan Jepang.

Indonesia jelas tertinggal dalam sepak bola. Juga tenis. Olahraga tidak menjadi prioritas kita. Kita semua menjadi penikmat liga Eropa. Tetapi tidak bermain dan belum memproduksi pemain profesional.

Kita juga penikmat tenis dan semuanya, tetapi tidak mendorong putra putri kita untuk mengambil karir olahraga.

Sepertinya semua dicita-citakan supaya menjadi pejabat, atau orang-orang sukses terpandang, tokoh, terkenal dan mempunyai pengaruh. Padahal, karir olahraga juga mempunyai pengaruh dan menjanjikan karir yang luar biasa juga.

Roger Federer juara tenis dunia, berapa dia dapat dalam sekali menang dalam tournament. Begitu juga Raphael Nada, Novak Djokovic, Venesa Williams, Maria Sharapova dan lain-lain. Berapa pengahasilan Christiano Ronaldo, juga Lionel Messi, pemain-pemain terkenal lain.

Jadi kita masih abai pendidikan olah raga, sebagai gaya hidup juga sebagai pilihan karir. Olah raga sepertinya kurang keren, kurang prestisius. Negara-negara Eropa Timur sangat gencar, terutama negara-negara bekas komunis seperti China dan Russia. Mereka kuat dalam senam, tenis, dan atletis.

Kita kurang dan masih tidak memandang sisi olahraga. Kita suka menghafal, hasil instan, gagah-gagahan, dan kurang dedikasi dalam karir pilihan. Kurang yakin, selalu melihat orang atas yang enak-enak sebagaimana dalam sinetron kita, naik mobil mewah, berdasi, cantik dan ganteng, ke luar negeri terus, ke hotel terus, pakaian perlente.

Itulah pendidikan kita. Dibentuk oleh sinetron. Universitas kita juga kalah jauh dengan propagandapopuler dan mungkin juga para penghafal dan penjaja hal-hal instan yg berbau ancaman dan janji-janji manis yang tidak realistis.

Semoga UIN Sunan Kalijaga mampu mengemban amanat sebagai Pendidikan harapan bangsa.

UIN Sunan Kalijaga untuk bangsa, UIN Sunan Kalijaga mendunia.

Selamat Prof. Dr. Munip semoga berkah dan setia pada pengembangan Pendidikan kita.

Mohon maaf jika ada kekurangan.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr.Phil. Al Makin, M.A.