Takjilan Ala Mesir
Pada penghujung tahun 2004 saya bersama kawan-kawan mendapat tugas dari kampus untuk riset selama 6 bulan di Mesir. Sebetulnya kala itu merupakan kesempatan yang kedua kalinya tinggal di Mesir, karena tahun 1978 sampai 1982 saya pernah tinggal di Mesir untuk studi di Universitas Al-Azhar. Percaya atau tidak, di sana ada pepatah, bahwa barang siapa yang pernah minum air sungai Nil maka ia akan datang lagi ke Mesir untuk kedua kalinya.
Pada kedatangan saya ke Mesir yang pertama saya kurang begitu paham tradisi orang Mesir kebanyakan, karena kala itu saya tinggal di asrama al-Azhar (Madinatul Bu’uts al-Islamiyyah), namun yang kedua kalinya ini saya agak sedikit memahaminya, karena saya tinggal menyatu dengan masyarakat Mesir yaitu di Rab’ah dekat masjid Rabi’ah al-Adawiyah.
Pada waktu itu kebetulan berbarengan dengan bulan Ramadhan. Pada bulan suci ini tampaknya para dermawan di Mesir berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk mendaptkan pahala sebanyak-banyaknya. Salah satu bentuknya adalah pemberian bantuan (musa’adah) dalam bentuk uang, makanan, atau sembako kepada para fakir miskin, termasuk juga kepada mahasiswa asing yang belajar di sana.
Di samping itu, ada juga para dermawan yang memberikan makanan berat untuk berbuka yang dikenal dengan Maidaturrahman (Meja Hidangan Allah Yang Mahapengasih) yang diberikan secara cuma-cuma di mesjid dan di tempat-tempat umum lainnya. Diberikan untuk fakir – miskin, para mahasiswa yang membutuhkan, dan para pekerja yang tidak sempat pulang ke rumahnya. Beberapa tahun belakangan ini tersiar kabar, bahwa Maidaturrahman yang tersebar di Mesir dan negara-negara Arab lainnya dimaksudkan untuk promosi dan pamer, sekalipun ada juga orang-orang yang merahasiahkan identitasnya agar terhindar dari riya .
Jalan-jalan di Kairo selama Ramadhan dipenuhi dengan Maidaturrahman, yang dianggap sebagai salah satu manifestasi paling menonjol dari solidaritas sosial yang menjadi ciri Bulan Suci. Hidangan berbuka ini bervariasi dari satu meja ke meja lainnya, sesuai dengan lingkungan tempat mereka diadakan, dan tergantung para dermawan yang menjamin. Maidaturrahman yang paling populer di Cairo adalah Maidah al-Azhar yang menjamu sekitar 4000 orang yang berbuka pada setiap harinya, lalu Maidah al-Husain, Maidah Sayyidah Zainab, dan Maidah Maidan Ramses (Ramses Square) yang diselenggarakan oleh masjid al-Fath.
Penamaan hidangan berbuka dengan Maidaturrahman, konon diambil dari surat al-Maidah (salah satu surah dalam Alquran) dalam surah itu disebutkan Allah SWT menurunkan hidangan makanan dari langit untuk nabi Isa as. Kata al-Rahman diambil dari salah satu nama-nama Allah (al-Asma al-Husna) yang artinya Maahapengasih. Nama ini digunakan agar dengan hidangan tersebut umat Islam satu sama lain bisa saling mengasihi dan menyayangi.
Berdasarkan beberapa sumber, Maidaturrahaman berawal sejak Rasulullah SAW, beliau pernah menjamu tamu delegasi yang datang dari Taif ketika mereka berada di Madinah, dalam bentuk jamuan yang sangat sederhana. Ada yang mengatakan orang pertama yang mengadakan Maidaturrahman di Mesir adalah Pangeran Ahmed bin Tulun - pendiri daulah al-Tuluniyyah - pada tahun keempat dari masa jabatannya, kala itu ia mengumpulkan para pemimpin, menteri, pedagang, dan pejabat di meja hidangan pada hari pertama bulan Ramadhan.
Ada lagi sumber yang mengatakan, sebagaimana dituturkan sejarawan Dr Ibrahim Marzuq, Maidaturrahman dimulai sejak khalifah al-Aziz Billah dari daulah Fathimiyyah untuk menjamu jamaah masjid jami Amru bin al-‘Ash. Konon pada masa itu dapur istana sepanjang bulan Ramadhan mengeluarkan 1100 piring per hari, berisi berbagai macam makanan untuk dibagikan kepada orang miskin dan yang membutuhkan berbuka, Pada waktu itu hidangan ini dinamai “Dar al-Fithrah”.
Maidaturrahman, sejatinya mirip takjilan di Indonesia, hanya saja porsinya besar sekali. Umumnya setiap porsi terdiri dari sepiring nasi, satu biji ‘isy baladi (roti Mesir mirip roti Cane Aceh) separuh ayam bakar, salathah (salad), beberapa biji kurma dan air mineral.
Pengalaman kami di masjid Rabiah al-Adawiyyah, mungkin juga di masjid lainnya sama, bahwa setiap jamaah yang datang lebih awal dan itikaf di mesjid biasanya langsung Takmir memberikan kupon untuk ditukar dengan paket Maidaturrahman, namun jika jamaah datang ke mesjid bertepatan adzan maghrib, cukup diberi beberapa biji kurma dan sebotol air mineral.
Pada masa covid-19, sesuai dengan edaran pemerintah Mesir Maidaturrahman dilarang diselenggarakan, demikian sebagaimana dilansir koran “al-Yaom al-Sabi", karena tidak diperbolehkan banyak orang berkumpul. Namun para koki tetap melaksanakan pekerjaannya seperti tahun-tahun yang lalu, mereka memasukkan makanan itu kedalam kotak berisi daging, ayam, atau ikan, dengan nasi, sayuran dan salad, serta jus dan permen untuk disebarkan oleh para sukarelawan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dengan demikian covid-19 tidak menghalangi niat orang untuk berbagi. Semangat ini mungkin perlu ditularkan ke mesjid-mesjid dan seluruh umat Islam di seluruh pelosok negeri ini.
Oleh Syihabuddin Qalyubi
Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu BudayaUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta