Media Sosial dan Hoax
Oleh: Bono Setyo
Direktur COMTC (Center for Communication Studies and Training) Dosen Fakultas Ilmu Sosial & Humaniora UIN Sunan Kalijaga
Masa pandemi yang belum tahu kapan akan berakhir ini semakin diperparah oleh maraknya berita-berita hoax di medsos yang tentunya dilakukan oleh orang-orang atau kelompok yang tidak bertanggungjawab dan tidak memiliki empati terhadap masa pandemi. Padahal efek pandemic benar-benar telah menyentuh seluruh bidang kehidupan dan taruhannya adalah nyawa. Lepas dari takdir, jarak kita terhadap kematian menjadi sangat dekat.
Fenomena hoak sebenarnya sudah lama ada, sejak manusia pertama (Adam) ada hoak juga sudah ada. Bahkan, semua nabi/rosul menjadi korban hoak. Sehingga Allah SWT sampai mengingatkan manusia di QS Hujurat: 6 "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita (hoak), periksalah dengan cermat (check and recheck) agar kamu tidak tertimpa musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu akan menyesal atas perbuatan itu".
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa akhir-akhir ini berita-berita hoak semakin marak? Banyak faktor yang menyebabkan suburnya hoak akhir-akhir ini. Salah satunya adalah keberadaan media social (medsos).
Keberadaan Medsos
Di era digital sekarang ini, keberadaan medsos adalah sebuah keniscayaan. Kita tidak mungkin tidak menghindar dari medsos. Medsos telah menjadi bagian dari kita.yang memiliki pengaruh sangat besar di seluruh bidang kehidupan masyarakat.(Workman, 2014) Di Indonesia saat ini, medsos memiliki jumlah pengguna yang sangat besar, sebaran penggunanya pun tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, dari usia anak-anak, muda bahkan sampai usia tua.
Berdasarkan data hasil “Indonesian Digital Report 2020” rilis dari HootSuite (We are Social) dapat diketahui bahwa dari total populasi (jumlah penduduk di Indonesia) adalah 272,1 juta, dari total populasi tersebut jumlah pengguna media sosial aktif sebanyak 160 juta (59%). Jumlah pengguna media social tersebut tersebar dalam berbagai platform antara lain: Youtube (88%), Whatsapp (84%), Facebook (82%), Instagram (79%). (Kemp, 2020)
Keberadaan dan perkembangan media social di masyarakat tersebut tentunya akan membawa segudang dampak dan permasalahan yang baru di masyarakat Oleh karena itu, perlu adanya kajian secara mendalam dan komprehensif tentang penggunaan medsos dan dampaknya bagi masyarakat sehingga dengan begitu masyarakat akan dapat mengoptimalkan penggunaan medsos untuk hal-hal yang positif, dan dapat mengeliminir dampak-dampak negative serta menghidari penyalahgunaan atas keberadaan medsos saat ini, terutama di masa pandemi.
Perkembangan Medsos
Pesatnya perkembangan medsos ini dipengaruhi oleh dua hal, antara lain: Pertama, Perkembangan teknologi, yg mengalami evolusi semakin kesini semakin cepat. Hal ini bisa kita lihat kebelakang, sejak belum ditemukannya teknologi internet, yaitu mesin cetak, radio, televisi, hingga saat ini dengan adanya media baru (online dan medsos). Teknologi berkembembang sangat pesat, bahkan bisa dikatakan sebagai revolusi teknologi.
Kedua, Semua orang saat ini bisa memiliki medsos. Jika untuk memiliki media konvensional seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan medsos.
Faktor kedua inilah yang menjadi karakter spesifik medsos dibanding media konvensional atau media mainstream, yakni semua orang dapat memiliki dan memproduksi konten apa saja tanpa adanya filter (editing) dari siapapun dan pihak manapun. Pengguna medsos dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lainnya. Selain itu, factor kedua ini yang juga berpotensi memunculkan berita-berita hoak atau hate speech.
Dampak Medsos
Pemanfaatan medsos saat ini makin bervariatif, medsos tidak lagi hanya digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi atau bersosialisasi, namun medsos seringkali juga digunakan sarana pendidikan, sarana promosi (baik promosi yang sifatnya komersial maupun yang social), dan lainnya. Bahkan saat ini perusahaan-perusahaan terbesar di dunia seperti Amazon, Ebay, Alibaba, Lazada, Gojek dan lain-lain berkembang pesat karena dukungan medsos.
Terlepas dari banyaknya dampak positif medsos tersebut, seringkali medsos telah disalahgunakan oleh orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompoknya, yang dapat menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi pihak lain bahkan bagi masyarakat dan negara.
Medsos seringkali juga disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak pantas seperti pornografi atau bahkan kriminal (isu babi ngepet, penggandaan uang, dan berbagai modus penipuan atau criminal lainnya). Dan herannya masyarakat kita itu seringkali percaya terhadap modus penipuan/kriminal semacam itu padahal modus serupa sudah seringkali terjadi.
Selain itu, penyalahgunaan yang paling sering saat ini adalah digunakannya medsos untuk penyampaian berita atau informasi bohong (Hoax) dan ujaran kebencian (hate speech). Penyebaran hoax dan hate speech di Indonesia saat ini dari ke hari makin tumbuh subur.
Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tidak sampai 300 situs. Artinya, terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai. Sementara itu data dari Kementrian komunikasi dan informasi (Kemenkominfo) menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar hoax. (Sumber: https://kominfo.go.id)
Tema-tema HOAX
Berbicara tentang hoaks tidak bisa dilepaskan dari adanya ujaran kebencian (hate speech). Dua hal itu seperti dua sisi dari mata uang yg sama. Ada beberapa isu atau tema hoaks dan ujaran kebencian antara lain: SARA (suku, agama dan ras), politik, selebritis, ilmu pengetahuan, kesehatan dan bahkan agama. Diantara isu-isu tersebut yang akhir-akhir ini sering diviralkan menjadi berita/informasi hoaks adalah tema politik dan SARA. Kedua tema hoax ini sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan NKRI. Mengapa demikian? Politik sebagaimana diketahui selalu berkaitan dengan kekuasaan dan kekuasaan bagi manusia selalu menjadi ambisi dan bahan untuk diperebutkan. Tidak jarang perebutan kekuasaan berakhir dengan konflik bahkan chaos. Tema politik, selaliu marak manakala menjelang pemilu. Padahal hampir setiap tahun di Indonesia selalu ada pemilu, sejak dari pilpres, pilgub, pilkada bahkan pilkades selalu muncul isu-isu hoaks. Sedangkan SARA adalah sesuatu yang sensitive dan resisten apabila sampai dipertentangkan. Banyak contoh kasus di Indonesia pertentangan (konflik) yang bersumber pada SARA dan berakibat fatal, seperti konflik suku Dayak-Madura di Kalimantan Barat, konflik agama Muslim-Kristen di Ambon, dan lain-lain. Contoh hoax dan ujaran kebencian tema SARA akhir-akhir ini adalah tentang isu-isu penistaan agama yang dilakukan oleh Jozeph Paul Zhang, Desak Made, Yahya Waloni, dan lain-lain jika tidak segera ditindak secara tegas oleh aparat yang berwenang akan terus berkembang dan dapat berakibat fatal.
Mengapa Hoax Mudah Berkembang?
Setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi tumbuh suburnya hoax dan hate speech, yaitu: 1) Kultur masyarakat, 2) Adanya perkembangan teknologi digital, 3) Rendahnya literasi media. Pertama, Kultur masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa berkembangnya fenomena hoax dan hate speech satunya adalah andil dari masyarakat sendiri. Masyarakat kita begitu mudah mempercayai suatu kabar dari mulut ke mulut tanpa meng-kroscek dari sumbernya langsung, budaya gosip seolah menjadi sebuah pembenaran paling nyata dalam setiap pembicaraan. Tradisi masyarakat kita cenderung suka membicarakan hal-hal yang tidak perlu, keburukan dari orang lain atau bahkan hal-hal yang sifatnya personal. Kebiasaan ghibah, fitnah dan namimah seakan sudah menjadi kultur bagi masyarakat.
Kedua, Adanya perkembangan teknologi digital. Yang dimaksud teknologi digital tersebut adalah media on-line dan medsos. Kedua media ini seakan menjadi ladang yang subur bagi bersemainya benih-benih hoaks dan hate speech di masyarakat. Bahkan, media saat ini telah menjadi First God bagi masyarakat di berbagai usia. Orang bangun tidur yang diingat buka Tuhan sehingga dia beribadah tapi langsung buka medsos. Ketiga, Rendahnya literasi media bagi masyarakat. Survei World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi Indonesia berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara.(CCSU, 2016) Hal ini menunjukkan betapa rendahnya tingkat literasi media masyarakat kita, sehingga kondisi ini akan semakin mempermudah merebaknya budaya hoaks dan hate speech. Hasil riset DailySocial.id menyebutkan 44% masyarakat Indonesia tidak bisa mendeteksi Hoax. Akibatnya, masyarakat percaya begitu saja terhadap berita/informasi yang diterimanya. Tiga hal inilah yang menjadikan fenomena hoax dan hate speech begitu cepat merebak menjadi sebuah budaya masyarakat Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh karena saat ini bangsa Indonesia sedang berada di tahun politik dimana tahun ini akan dilaksanakan pesta demokrasi yang sebenarnya merupakan agenda rutin 5 tahunan bangsa Indonesia.
Solusi
Setidaknya ada dua langkah atau cara yang bisa dilakukan untuk membendung tumbuh dan berkembangnya medsos. Pertama, melakukan kegiatan penyadaran pada masyarakat (literacy media/digital) agar bijak dan cerdas dalam bermedia. Kegiatan ini tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun membutuhkan waktu yang panjang dan berkesinambungan secara konsisten di berbagai kalangan masyarakat sehingga masyarakat menjadi sadar (aware) dan melek media, yaitu dapat memilah dan memilih berita atau informasi mana yang baik dan menyehatkan untuk dikonsumsi.
Langkah kedua adalah membudayakan sikap tabayun (klarifikasi), seperti yang diingatkan Allah SWT dalam QS Hujurat: 6 "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita (hoak), periksalah dengan cermat (check and recheck) agar kamu tidak tertimpa musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu akan menyesal atas perbuatan itu". Tabayun dalam arti mencari kejelasan tentang sesuatu sampai jelas benar keadaannya. Meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa memutuskan masalah, baik dalam hal hukum, agama, kebijakan publik, sosial-politik dan lainnya hingga jadi jelas permasalahannya.
* * * * * Referensi Arwendria, A. and Oktavia, A., 2019. UPAYA PEMERINTAH INDONESIA MENGENDALIKAN BERITA PALSU. BACA: JURNAL DOKUMENTASI DAN INFORMASI, 40(2), pp.195-206. CCSU. 2016. World's Most Literate Nations, diakses di http://www.ccsu.edu/wmln/rank.html Kemp. 2020. Digital 2020: Indonesia. Datareportal.
https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia Workman, M., 2014. New media and the changing face of information technology use: The importance of task pursuit, social influence, and experience. Computers in Human Behavior, 31, pp.111-117.