Dilihat 0 Kali

WhatsApp Image 2025-01-17 at 16.46.53.jpeg

Jumat, 17 Januari 2025 16:49:00 WIB

Jejak Konstitusi: Perjalanan Empat Mahasiswa Menggugat Demokrasi

Di suatu sudut kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berdiri sebuah komunitas kecil bernama Komunitas Pemerhati Konstitusi. Sebuah wadah bagi para mahasiswa Fakultas Syariah untuk mengasah pikiran kritis, bersikap solutif, serta mengkaji isu-isu ketatanegaraan dan pemerintahan terkini. Dengan semboyan berpikir kritis, bersikap solutif, mereka melangkah bersama, menyelami permasalahan konstitusi, hingga akhirnya menemukan panggilan yang lebih besar pada tahun 2023.
 
Adalah lomba debat yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI pada 2023 menjadi titik balik mereka. Dengan mosi final tentang Presidential Threshold, mereka menyadari bahwa pemilihan presiden 2019-2024 menyisakan luka berupa polarisasi tajam di masyarakat. Namun, lebih dari itu, ada hal yang menekan nurani mereka: mengapa hingga 32 keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberi kesempatan kepada DPR untuk memperbaiki UU Pemilu selalu diabaikan? Pertanyaan itu bersemayam dalam hati mereka.  

Empat mahasiswa itu—Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Talis Khairul Fatna, dan Faisal Nasirul Haq —memutuskan untuk mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Bukan keputusan yang mudah, mengingat mereka hanyalah mahasiswa biasa tanpa pengalaman praktik hukum yang mumpuni, hanya teori-teori yang terurai dalam pikiran. Namun, idealisme mereka bak cahaya yang tak padam, menuntun langkah mereka melawan ketidakadilan sistem.  

Pada akhir Januari 2024, Enika, yang menjadi penggerak utama, berkonsultasi dengan senior dan pimpinan Komunitas Pemerhati Konstitusi. Dukungan pun mengalir. Ketiga pemohon lainya kemudian dikontak, dan bersama mereka mulai menyusun permohonan. Prosesnya tidak mudah. Bahasa dalam dokumen sering kali dianggap terlalu tajam, tidak halus, dan bertele-tele. Bahkan, untuk membuat petitum saja, mereka harus belajar dari nol. Mereka berkonsultasi dengan para alumni yang sebagian adalah akademisi dan praktisi hukum, memperhalus permohonan hingga mencapai bentuk yang layak.  Rencana awal mereka untuk mengajukan permohonan sebelum Pilpres 2024 urung dilakukan. "Tekanan politik terlalu besar," pikir mereka. Maka, dengan tekad menjaga idealisme, mereka memilih menunggu hingga pilpres selesai.
 
Pada Juni 2024, setelah masa PHPU Pilpres, akta registrasi perkara pun diterima. Empat mahasiswa ini mulai mempersiapkan persidangan pendahuluan. Namun, saat sidang pertama digelar, kendala jarak muncul. Mereka sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di tempat berbeda, salah satunya di Ciamis. Meski demikian, teknologi menjadi jembatan mereka. Dengan komunikasi jarak jauh, mereka berhasil melewati sidang pertama, meski harus menerima banyak koreksi dari hakim terkait petitum dan argumentasi.
 
Sidang demi sidang mereka jalani. Mereka belajar dari kritik, memperbaiki dokumen, hingga akhirnya sidang lanjutan tiba: mendengar keterangan ahli. Namun, di sinilah mereka menemui tantangan baru. Tidak ada ahli yang bisa dihubungi tepat waktu. Keempat mahasiswa ini berjuang mati-matian. Dukungan dari Bapak Gugun El Guyanie selaku Kaprodi dan  Ibu Proborini Hastuti selaku Sekprodi HTN memberikan semangat baru. Rizki Maulana Syafei pun berhasil menghubungi Dr. Yance Arizona, seorang akademisi UGM yang terkenal dengan pemikiran kritisnya. Dr. Yance setuju membantu mereka, menyuarakan pentingnya konstitusionalitas dalam proses demokrasi. Sidang terakhir berlangsung, dan mereka menanti dengan penuh harap. Di tengah ketidakpastian, muncul rasa pesimis. Teman-teman satu angkatan bahkan sempat mengolok mereka, "Kalau permohonan kalian dikabulkan, kami akan buat patung kalian di kampus!"  

Namun, takdir berpihak pada mereka. Pada 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mereka. Air mata haru tak terbendung. Perjuangan panjang ini membuktikan bahwa idealisme, kegigihan, dan keberanian dapat melampaui batas-batas ketidakmungkinan.   Empat mahasiswa ini telah mencatatkan namanya dalam sejarah kecil konstitusi Indonesia. Perjalanan mereka bukan sekadar perjuangan hukum, tetapi juga bukti bahwa di tangan pemuda yang gigih, demokrasi selalu menemukan jalannya.

Keberhasilan ini tidak membuat langkah mereka terhenti. Mereka justru semakin sadar bahwa mengawal demokrasi adalah perjalanan panjang. Putusan Mahkamah Konstitusi bukanlah obat mujarab untuk menyembuhkan segala penyakit pemilu. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki secara struktural dan holistik. Jika substansi pemilu sudah diperbaiki melalui putusan ini, mereka tahu masih ada pekerjaan rumah besar: membenahi struktur dan budaya pemilu di Indonesia. Aktivisme dan akademik, bagi mereka, bukanlah dua jalan yang terpisah, melainkan beriringan, saling melengkapi demi terciptanya tatanan hukum yang lebih baik.

Kini, mereka bertekad untuk terus melangkah. Ada keinginan besar untuk memperjuangkan perbaikan di bidang lain, demi menghadirkan keadilan substantif bagi masyarakat. Mereka percaya, perjuangan kecil ini adalah awal dari kontribusi lebih besar dalam memperbaiki wajah hukum dan demokrasi di Indonesia. Sebuah perjalanan yang masih panjang, tetapi keyakinan mereka bahwa perubahan itu mungkin telah tertanam kuat di hati mereka. (tim humas)