Prof. Dr. H. Shofiyullah Muzammil, M.Ag. dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Filsafat Hukum Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melalui Sidang Senat Terbuka. Dalam kegiatan yang digelar pada Selasa (6/5/2025) di Gedung Multi Purpose, ia menyampaikan pidato pengukuhan bertajuk “QIRĀ’AH MU’ĀṢIRAH FĪ AL AHKĀM: Mempertemukan Ushul Fiqh dengan Filsafat Hukum dalam Diskursus Hukum Kontemporer.”
Dalam pidatonya, Prof. Shofiyullah mengajak hadirin menyelami samudera filsafat hukum Islam, dari pemikiran klasik hingga tafsir kontemporer. Ia menyingkap inspirasi dari pemikir Muslim modern Muhammad Shahrūr dan menyandingkannya dengan warisan pemikiran Thomas Aquinas dan al-Ghazālī.
Tak tanggung-tanggung, pidatonya dibuka dengan studi kasus yang hangat diperbincangkan: Fatwa MUI Pusat Nomor 14 Tahun 2021 tentang Vaksin Astra Zeneca. Fatwa yang menyatakan status haram-mubah atas vaksin tersebut menjadi pintu masuk untuk mengelaborasi ketegangan antara hukum ilahi dan kebutuhan darurat publik.
Dengan pendekatan yang filosofis sekaligus realistis, Prof. Shofiyullah menjelaskan bahwa keputusan fatwa itu mencerminkan integrasi dari enam pilar hukum: lex aeterna, lex divina, lex naturalis, lex humana, lex socius, dan lex rae sitae. Keenam pilar itu membentuk kerangka epistemik yang ia tawarkan sebagai cara baru membaca hukum Islam di era kontemporer.
Pusat dari gagasannya adalah keinginan besar untuk mempertemukan dua dunia yang selama ini berjalan sejajar namun jarang bertemu: ushul fiqh dan filsafat hukum. Dengan gaya tutur yang tenang, ia mengkritik cara pandang hukum Islam yang cenderung literal dan mengabaikan konteks zaman. “Filsafat hukum Islam,” ujarnya, “harus berani menembus dimensi sosial, moral, dan spiritual. Ia harus murūnah, lentur mengikuti zaman, namun tetap istiqāmah dalam prinsip.”
Gagasannya menggema kuat ketika ia menyitir Thomas Aquinas dan al-Ghazālī sebagai dua pemikir besar yang sama-sama menempatkan wahyu sebagai fondasi hukum, namun tidak menafikan peran akal dalam menafsirkan realitas. Dari sinilah ia membangun jembatan pemikiran lintas peradaban, untuk menyusun konsep keadilan yang tidak hanya tekstual, tetapi juga kontekstual.
Satu bagian yang paling menggugah dalam pidato Prof. Shofiyullah adalah ketika ia mengupas konsep qirā’ah mu’āṣirah ala Muhammad Shahrūr. Ia memuji metode hermeneutika yang tidak sekadar mencari makna teks, tetapi menimbang realitas sejarah, logika modern, dan kebutuhan zaman.
Konsep Shahrūr tentang “ghayr mutarādif” atau ketiadaan sinonim dalam Al-Qur’an menjadi fondasi linguistik yang ia gunakan untuk membangun tafsir hukum Islam yang lebih hidup, tidak kaku, dan tidak jumud.
Dengan pendekatan itu, ia menunjukkan bagaimana hukum Islam tidak kehilangan ruh syariahnya meski harus menyesuaikan diri dengan situasi ekstrem seperti pandemi. Dalam konteks vaksin AstraZeneca, hukum haram tetap ditegakkan, namun hukum mubah dimungkinkan atas dasar kedaruratan demi menjaga salah satu dari lima prinsip Maqāṣid al-Sharī’ah: menjaga nyawa.
Tak sekadar membedah teks, Prof. Shofiyullah juga menegaskan pentingnya lex socius—hukum sosial yang mempertimbangkan keadilan distributif. Baginya, hukum Islam harus hadir dalam isu-isu ketimpangan sosial, kebebasan, dan akses terhadap kesejahteraan. “Setiap manusia punya hak untuk hidup layak, belajar, bekerja, dan berobat,” tegasnya.
Melalui Qirā’ah Mu’āṣirah fī al Aḥkām, Prof. Shofiyullah menawarkan paradigma hukum Islam yang inklusif dan humanis. Ia tidak menolak tradisi, tetapi juga tidak menutup diri dari inovasi. Baginya, hukum Islam akan terus ḥanifiyah, tunduk pada jalan Tuhan, namun juga murūnah—beradaptasi dengan kehidupan.
Prof. Shofiyullah Muzammil tak hanya mengukuhkan dirinya sebagai Guru Besar Filsafat Hukum Islam. Ia mengukuhkan tekad untuk terus menghidupkan hukum Islam agar selalu kontekstual, adil, dan bermartabat.(humassk)