Ia
tidak datang dari keluarga sarjana. Tidak pula dari kota besar, atau dari
lingkungan yang akrab dengan buku dan forum diskusi. Ia lahir di Pati, 22 tahun
silam, dari seorang ibu lulusan SMP yang membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Namun pada siang yang khidmat di Gedung Prof. Saifuddin Zuhri, nama Enika Maya
Oktavia disebut penuh penghormatan, Wisudawan Terbaik Tercepat dari Program Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
IPKnya
nyaris sempurna: 3,98. Tapi angka-angka itu hanyalah bayangan dari kisah yang
lebih dalam, kisah tentang mimpi sederhana seorang gadis yang tumbuh dalam
diam, dalam keterbatasan, namun memiliki sejuta mimpi.
Ia
menyebut dirinya gadis yang tumbuh dalam rumah kaca. Pendiam, nyaris tak
bersosialisasi, hanya akrab dengan buku-buku dan imajinasi. Bacaan sebelum
tidur menjadi ritual sunyi yang membuka jendela dunia. Novel tentang seorang
guru di daerah terpencil suatu hari membekas kuat dalam benaknya. Ia tak sadar,
kisah fiksi itu kelak menjadi nyata: hari ini, Enika berkiprah di NGO yang
memberdayakan masyarakat di pelosok desa.
Bukan
prestise yang ia kejar. Bukan panggung. Ia hanya ingin ilmunya tidak mati di
atas kertas. “Nilai A dan pujian dosen tidak akan berarti kalau saya tidak bisa
membantu orang lain,” ujarnya suatu kali, lirih namun pasti.
Di
tahun pertamanya kuliah, Enika bergabung dengan Komunitas Pemerhati Konstitusi.
Di sanalah ia mulai merasa tidak lagi asing. Ia belajar berbicara, menulis, dan
berdiskusi, hal-hal yang dulu ia pikir hanya untuk “orang jenius”.
Komunitas
itu pula yang membawanya berdiri di podium juara Kompetisi Debat Penegakan
Hukum Pemilu se-Indonesia, bukan sekali, tapi dua kali, meraih Juara 3 di tahun
2022, lalu naik menjadi Juara 2 di tahun berikutnya, seakan membuktikan bahwa
perjuangan tanpa lelah memang tidak pernah mengkhianati hasil.
Tidak
berhenti di situ, ia bersama tim juga berhasil mengukir nama sebagai Juara 2
Sidang Semu Konstitusi Piala Ketua Mahkamah Konstitusi tahun 2023, ajang
bergengsi yang menguji ketajaman nalar dan keberanian mempertahankan konstitusi
di hadapan para pakar hukum nasional.
Puncaknya
adalah ketika Enika dan tiga rekannya
menggugat ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Sebuah
gugatan serius yang biasanya hanya diajukan para pakar hukum senior, kini
digelar oleh mahasiswa. Mereka menang.
Nama
UIN Sunan Kalijaga bergema di berita nasional. Publik menyaksikan bagaimana mahasiswa mampu
mengguncang tembok konstitusi negeri ini. “Presidential threshold bukan hanya
soal angka. Ia adalah cermin bahwa kampus ini membekali kami untuk bertindak
nyata,” katanya dalam sebuah wawancara. “UIN Sunan Kalijaga tidak hanya
mengajarkan teori. Ia menanamkan keberanian,” ujarnya.
Semua
itu ia capai bukan karena merasa hebat. Tapi karena ia tahu betul rasanya tidak
punya apa-apa kecuali harapan. Maka setiap podium, setiap piagam, setiap gelar
bukanlah sekadar trofi, melainkan bukti bahwa mimpi, sekecil apa pun, pantas
diperjuangkan.
Ya,
ada masa ketika dunia Enika runtuh tanpa peringatan. Usianya masih sangat belia
saat rumah yang ia kenal sebagai tempat paling aman, hancur oleh perpisahan. Ia
bisa saja menyerah. Bisa saja membiarkan luka itu membatu. Tapi ada satu hal
yang membuatnya tetap berdiri, cinta pada ilmu pengetahuan. Sekolah menjadi
pelarian paling aman, tempat ia merasa utuh meski dunia di sekelilingnya
runtuh. Buku-buku menjadi sahabat yang tak pernah menghakimi, tempat ia
menemukan penghiburan sekaligus harapan. Dari sana, tumbuh satu mimpi yang ia
pupuk tanpa lelah untuk terus belajar, melanjutkan pendidikan, dan menjadikan
ilmu sebagai pijakan hidup yang tak tergoyahkan.
Setiap
keberhasilan Enika selalu terpatri nama ibunya, perempuan tangguh dengan
pendidikan sederhana, namun cinta yang tiada batas. “Saya bukan apa-apa tanpa
tangan-tangan kasih di balik layar,” bisiknya. Saat berdiri sebagai wisudawan
terbaik, ia tahu, itu adalah kemenangan sang ibu dan keluarga yang setia
mendukungnya tanpa henti.
Enika
memang bermimpi untuk melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Tapi saat
ini dirinya tidak pula mencari panggung akademik. Ia sedang hidup di tengah
masyarakat, terjun ke desa-desa, membenahi kebijakan, membantu masyarakat, dan
melihat langsung dampak dari ilmu yang dulu ia pelajari dari buku-buku tebal
hukum tata negara. “Ini adalah fase terbaik saya. Ilmu yang saya bawa tidak
berhenti di kampus, tapi bergerak, berdampak, dan memberi arti.” ungkapnya.
Prinsip
hidupnya sederhana namun tajam: “Hidup untuk menghidupi.”Ia percaya
manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri. Dan jika gajah mati
meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang, maka manusia, kata Enika,
seharusnya meninggalkan makna.
“Setelah
kita keluar dari gedung ini, kita tidak lagi mengejar nilai. Kita menghadapi
hidup yang nyata. Tapi saya yakin, dengan apa yang diajarkan UIN Sunan Kalijaga,ilmu,
akhlak, dan kemanusiaan, kita akan mampu mengarungi
luasnya samudera, menembus lebatnya belantara.” pungkas Enika. (humassk)