enike wisudawan mei 2025.jpeg

Selasa, 27 Mei 2025 17:14:00 WIB

0

Dibesarkan Harapan: Perjalanan Enika Maya, Wisudawan Terbaik UIN Sunan Kalijaga yang Menginspirasi Indonesia

Ia tidak datang dari keluarga sarjana. Tidak pula dari kota besar, atau dari lingkungan yang akrab dengan buku dan forum diskusi. Ia lahir di Pati, 22 tahun silam, dari seorang ibu lulusan SMP yang membesarkan anak-anaknya seorang diri. Namun pada siang yang khidmat di Gedung Prof. Saifuddin Zuhri, nama Enika Maya Oktavia disebut penuh penghormatan, Wisudawan Terbaik Tercepat dari Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

IPKnya nyaris sempurna: 3,98. Tapi angka-angka itu hanyalah bayangan dari kisah yang lebih dalam, kisah tentang mimpi sederhana seorang gadis yang tumbuh dalam diam, dalam keterbatasan, namun memiliki sejuta mimpi.

Ia menyebut dirinya gadis yang tumbuh dalam rumah kaca. Pendiam, nyaris tak bersosialisasi, hanya akrab dengan buku-buku dan imajinasi. Bacaan sebelum tidur menjadi ritual sunyi yang membuka jendela dunia. Novel tentang seorang guru di daerah terpencil suatu hari membekas kuat dalam benaknya. Ia tak sadar, kisah fiksi itu kelak menjadi nyata: hari ini, Enika berkiprah di NGO yang memberdayakan masyarakat di pelosok desa.


Bukan prestise yang ia kejar. Bukan panggung. Ia hanya ingin ilmunya tidak mati di atas kertas. “Nilai A dan pujian dosen tidak akan berarti kalau saya tidak bisa membantu orang lain,” ujarnya suatu kali, lirih namun pasti.

Di tahun pertamanya kuliah, Enika bergabung dengan Komunitas Pemerhati Konstitusi. Di sanalah ia mulai merasa tidak lagi asing. Ia belajar berbicara, menulis, dan berdiskusi, hal-hal yang dulu ia pikir hanya untuk “orang jenius”.

Komunitas itu pula yang membawanya berdiri di podium juara Kompetisi Debat Penegakan Hukum Pemilu se-Indonesia, bukan sekali, tapi dua kali, meraih Juara 3 di tahun 2022, lalu naik menjadi Juara 2 di tahun berikutnya, seakan membuktikan bahwa perjuangan tanpa lelah memang tidak pernah mengkhianati hasil.

Tidak berhenti di situ, ia bersama tim juga berhasil mengukir nama sebagai Juara 2 Sidang Semu Konstitusi Piala Ketua Mahkamah Konstitusi tahun 2023, ajang bergengsi yang menguji ketajaman nalar dan keberanian mempertahankan konstitusi di hadapan para pakar hukum nasional.

Puncaknya adalah  ketika Enika dan tiga rekannya menggugat ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Sebuah gugatan serius yang biasanya hanya diajukan para pakar hukum senior, kini digelar oleh mahasiswa. Mereka menang.

Nama UIN Sunan Kalijaga bergema di berita nasional. Publik  menyaksikan bagaimana mahasiswa mampu mengguncang tembok konstitusi negeri ini. “Presidential threshold bukan hanya soal angka. Ia adalah cermin bahwa kampus ini membekali kami untuk bertindak nyata,” katanya dalam sebuah wawancara. “UIN Sunan Kalijaga tidak hanya mengajarkan teori. Ia menanamkan keberanian,” ujarnya.

Semua itu ia capai bukan karena merasa hebat. Tapi karena ia tahu betul rasanya tidak punya apa-apa kecuali harapan. Maka setiap podium, setiap piagam, setiap gelar bukanlah sekadar trofi, melainkan bukti bahwa mimpi, sekecil apa pun, pantas diperjuangkan.


Ya, ada masa ketika dunia Enika runtuh tanpa peringatan. Usianya masih sangat belia saat rumah yang ia kenal sebagai tempat paling aman, hancur oleh perpisahan. Ia bisa saja menyerah. Bisa saja membiarkan luka itu membatu. Tapi ada satu hal yang membuatnya tetap berdiri, cinta pada ilmu pengetahuan. Sekolah menjadi pelarian paling aman, tempat ia merasa utuh meski dunia di sekelilingnya runtuh. Buku-buku menjadi sahabat yang tak pernah menghakimi, tempat ia menemukan penghiburan sekaligus harapan. Dari sana, tumbuh satu mimpi yang ia pupuk tanpa lelah untuk terus belajar, melanjutkan pendidikan, dan menjadikan ilmu sebagai pijakan hidup yang tak tergoyahkan.

Setiap keberhasilan Enika selalu terpatri nama ibunya, perempuan tangguh dengan pendidikan sederhana, namun cinta yang tiada batas. “Saya bukan apa-apa tanpa tangan-tangan kasih di balik layar,” bisiknya. Saat berdiri sebagai wisudawan terbaik, ia tahu, itu adalah kemenangan sang ibu dan keluarga yang setia mendukungnya tanpa henti.

Enika memang bermimpi untuk melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Tapi saat ini dirinya tidak pula mencari panggung akademik. Ia sedang hidup di tengah masyarakat, terjun ke desa-desa, membenahi kebijakan, membantu masyarakat, dan melihat langsung dampak dari ilmu yang dulu ia pelajari dari buku-buku tebal hukum tata negara. “Ini adalah fase terbaik saya. Ilmu yang saya bawa tidak berhenti di kampus, tapi bergerak, berdampak, dan memberi arti.” ungkapnya.

Prinsip hidupnya sederhana namun tajam: “Hidup untuk menghidupi.”Ia percaya manusia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri. Dan jika gajah mati meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang, maka manusia, kata Enika, seharusnya meninggalkan makna.

“Setelah kita keluar dari gedung ini, kita tidak lagi mengejar nilai. Kita menghadapi hidup yang nyata. Tapi saya yakin, dengan apa yang diajarkan UIN Sunan Kalijaga,ilmu, akhlak, dan kemanusiaan, kita akan mampu mengarungi luasnya samudera, menembus lebatnya belantara.” pungkas Enika. (humassk)