Suasana malam di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (28/5/2025), penuh haru dan harapan. Musik akustik mengalun tak sekadar merdu, tapi juga menyalakan semangat. Tari dan drama tampil bukan hanya untuk ditonton, tapi dirasakan maknanya. Inilah Fertival Difabel 2025, salah satu kegiatan yang digelar dalam rangka memperingati 18 tahun berdirinya Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dengan mengusung tema “Rayakan Hari Baik, Wujudkan Mimpi,” festival ini tidak hanya merayakan capaian, tapi merefleksikan perjalanan panjang sebuah gerakan inklusif yang kini menjelma sebagai kekuatan moral dan intelektual kampus.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, hadir langsung membuka acara bersama jajaran wakil rektor, Ketua LPPM Dr. Abdul Qoyum beserta jajarannya, serta Koordinator PLD Dr. Asep Jahidin bersama tim PLD. Dalam sambutannya, Rektor menyampaikan apresiasi mendalam kepada PLD atas kiprah dan komitmennya yang telah menginspirasi banyak pihak.
“Festival difabel ini bukan saja ruang bagi sahabat-sahabat difabel untuk mengekspresikan bakat dan minat, tapi juga penegasan bahwa setiap orang memiliki keistimewaan, keunikan yang kadang di luar batas yang kita bayangkan. Kita memberikan apresiasi, afirmasi, dan sekaligus menegaskan bahwa kita bersama sahabat difabel,” ujar Rektor.
Prof. Noorhaidi juga menegaskan bahwa UIN Sunan Kalijaga merupakan pionir kebijakan inklusi dalam pendidikan tinggi keislaman.
“Inklusi bukan hanya pengakuan atas keterbatasan, tetapi wujud dari upaya menciptakan keadilan bagi siapa pun dia, manusia yang diciptakan Tuhan dengan harkat dan martabat, hak dan kesempatan yang sama untuk eksis, berkembang, dan berkontribusi. Kami akan terus mendukung kebijakan inklusi ini dalam seluruh aspek kehidupan kampus,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator PLD, Dr. Asep Jahidin, menyambut kehadiran rektor dan jajaran sebagai dukungan moral yang sangat kuat. Baginya, dukungan moral dan emosional dari pimpinan kampus adalah penanda bahwa gerakan inklusi bukan lagi gerakan pinggiran.“Kami terus berjuang mewujudkan UIN Sunan Kalijaga sebagai kampus inklusif se-Indonesia. Terima kasih kepada semua pihak yang telah dan terus mendukung kami. Slogan inklusi dan segala manfaat yang kita lihat hari ini tidak mungkin terwujud tanpa kerja sama dari berbagai level,” ujar Asep.
Baginya, PLD bukan milik satu unit, tapi milik seluruh warga kampus yang percaya bahwa pendidikan harus terbuka untuk semua.
Sementara itu, Ketua Panitia, Diki Damanhuri, dalam sambutannya menegaskan bahwa Pertival adalah bagian dari proses panjang untuk mewujudkan mimpi: menciptakan ruang yang terbuka bagi semua.
“Kegiatan ini bukan sekadar perayaan tahunan, tapi sebuah perjalanan panjang dari sebuah mimpi yang sangat sederhana: menciptakan ruang untuk semua orang, tanpa kecuali, untuk didengar, memiliki mimpi, dan dirayakan,” ujarnya. Bagi Diki, setiap penampilan malam itu adalah wujud konkret dari perjuangan panjang yang tak pernah usai.
Momen refleksi datang dari Dr. Ro’fah, salah satu Tim Ahli PLD yang membawa hadirin pada napak tilas perjalanan PLD sejak pertama kali berdiri 18 tahun lalu.
“Kita memulai perjalanan ini bermodalkan niat baik dan mimpi. Dari obrolan kecil di ruang sempit yang kita sebut kantor, kita melangkah dengan keyakinan bahwa kampus ini harus terbuka untuk semua,” tuturnya.
Ia menyoroti bahwa perjuangan PLD tidak hanya menyasar infrastruktur, tapi jauh lebih dalam: cara berpikir dunia Pendidikan. “Kita terlalu sering menganggap universitas adalah ruang netral, bahwa semua mahasiswa punya peluang yang sama asal mereka ‘berusaha’. Padahal, sistem kita sering kali dibangun atas asumsi tubuh dan pikiran ideal. Penilaian kita bias terhadap kecepatan berpikir, hafalan, stamina fisik dan psikis,” ungkapnya tajam.
PLD, menurut Ro’fah, adalah ruang pedagogis dan politis, tempat dimana universitas ditantang untuk bertanggung jawab.“PLD bukan organisasi karitatif. Ia adalah bagian dari gerakan. Gerakan untuk mendefinisikan ulang pendidikan tinggi sebagai hak, bukan privilege. Sebagai ruang keberagaman cara berpikir dan menjadi (being), bukan sebagai mesin standarisasi,” tandasnya.
Dalam visinya ke depan, Dr. Ro’fah mengajak semua pihak membayangkan sistem pendidikan yang lebih adil dan manusiawi: “Bayangkan kurikulum yang didesain bersama mahasiswa tuli, netra, atau neurodivergent. Bayangkan asesmen yang adil dan tidak menyaratkan homogenitas performa. Inklusi bukan tentang ‘membuka pintu bagi yang lain’, tapi tentang mendefinisikan ulang rumah itu sendiri.” Tandasnya.
Pernyataan penuh cinta menjadi penutuf refeleksi yang disampaikan Dr. Ro’fah. “Dalam 18 tahun ini, kita telah membuktikan bahwa gugatan kita bukan sekadar kritik, ia adalah harapan, kerja kolektif, dan cinta pada dunia akademik yang lebih adil.” pungkasnya.
Pertival Difabel 2025 juga menampilkan sejumlah pertunjukan inspiratif yang dibawakan oleh sahabat difabel, penggerak bahasa isyarat, serta sejumlah relawan, termasuk musik akustik, tari, drama, serta pengumuman pemenang lomba kreatif seperti lomba menyanyi, video cover lagu isyarat, dan lomba video inklusi. Setiap penampilan adalah pernyataan: keterbatasan bukan penghalang untuk berkarya.
Fertival ini juga menandai puncak rangkaian perayaan 18 tahun PLD. Delapan belas tahun yang bukan sekadar soal hasil, tapi tentang nilai, proses, dan kolaborasi. Sebagaimana dikatakan Dr. Ro’fah, “Gerakan ini belum selesai. Tapi satu hal pasti, kita tidak berjalan sendiri.(humassk)