Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali mengukuhkan perannya sebagai pusat kajian akademik internasional dengan menghadirkan Prof. Okamoto Masaaki, Wakil Direktur sekaligus Profesor pada Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University, Jepang. Dalam kegiatan Distinguished Lecture bertajuk “TikTok and the Future of Democracy in Indonesia and Beyond”, Dalam kegiatan yang digelar Rabu (27/8/2025) di Ruang Rapat Lt I Gedung PAU, Prof. Okamoto memaparkan secara mendalam fenomena media sosial TikTok yang kini tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi juga telah menjadi arena politik yang memengaruhi arah demokrasi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Kehadiran Prof. Okamoto Masaaki tentu bukan tanpa alasan. Akademisi terkemuka dari Kyoto University ini dikenal luas sebagai pakar kajian Asia Tenggara, khususnya politik Indonesia pasca-demokratisasi. Saat ini, ia menjabat sebagai Profesor sekaligus Wakil Direktur di Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University. Fokus risetnya mencakup politik lokal dan desentralisasi di Indonesia, Islam politik dan transformasi demokrasi, kekerasan terprivatisasi, serta dampak sosial-politik ekspansi perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara.
Jejak akademiknya juga terentang di lembaga bergengsi dunia. Pada 2011–2012, Prof. Okamoto menjadi Visiting Scholar di Harvard–Yenching Institute (HYI). Selama periode tersebut, ia mendalami riset tentang kontestasi wacana ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang kemudian ia presentasikan dalam forum ilmiah di Harvard University dengan judul “Forest or Not? Contentious Discourse on Expansive Oil Palm Plantations in Southeast Asia”, bekerja sama dengan Indonesia Program di Harvard Kennedy School.
Atas kontribusi ilmiahnya, Prof. Okamoto dianugerahi Daido Life Foundation Award for Area Studies melalui riset bertajuk “Multi-dimensional Aspects of Political Change brought about by Democratization and Liberalization in Indonesia.” Selain itu, ia kerap tampil sebagai pembicara pada forum akademik internasional bergengsi, termasuk AAS/ICAS Conference, Cornell University, dan National University of Singapore.
Sementara itu, dalam kegiatan strategis ini, Prof. Okamoto menegaskan bahwa Indonesia kini menempati posisi teratas sebagai negara dengan jumlah pengguna TikTok terbesar di dunia, mencapai lebih dari 127 juta akun aktif. Mayoritas penggunanya berasal dari kalangan muda berusia 18–24 tahun. Fenomena ini mencerminkan pergeseran budaya politik, di mana televisi dan radio yang sebelumnya menjadi rujukan utama informasi publik kini mulai tergantikan oleh media sosial, terutama platform berbasis visual seperti TikTok dan Instagram
“TikTok memiliki algoritma yang sangat canggih, mampu mengenali preferensi pengguna dan menyajikan konten sesuai minat mereka. Hal ini menjadikan politik lebih mudah diakses, lebih menghibur, sekaligus lebih berisiko karena dapat membentuk opini publik dengan cepat,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti dinamika perubahan instrumen kampanye politik di Indonesia sejak era reformasi. Pada Pemilu 1999, televisi mulai digunakan sebagai medium penyiaran iklan politik. Pemilu 2004 ditandai dengan penggunaan media televisi yang semakin masif dalam kampanye. Tren kemudian bergeser pada 2012, ketika media sosial mulai memainkan peran penting dalam politik. Pemilu 2014 dikenal sebagai periode ‘Twitter politics’, disusul Pemilu 2019 yang ditandai dominasi YouTube, pemanfaatan big data, dan strategi micro-targeting. Sementara pada Pemilu 2024, TikTok serta teknologi Generative AI menjadi instrumen utama yang mengubah lanskap kampanye politik di Indonesiati.
Menurutnya, fenomena politik berbasis video pendek mencerminkan pergeseran budaya dari text culture menuju short video culture. Saat ini, lebih dari 73% generasi Z di Indonesia mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi politik, sehingga kualitas demokrasi di masa depan akan sangat ditentukan oleh bagaimana ruang digital ini dikelola.
“TikTok adalah wajah baru politik di Indonesia. Namun, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apakah popularitas di TikTok berbanding lurus dengan popularitas elektoral, serta bagaimana implikasinya terhadap kualitas demokrasi, representasi gender, dan keberlanjutan sistem politik,’ jelasnya.
Selain mengandalkan pendekatan kuantitatif konvensional, Prof. Okamoto juga dalam penelitian yang dilakukannya memperkenalkan metode analisis berbasis computer vision untuk mengolah data dalam jumlah besar dari video politik di TikTok. Metode ini dirancang untuk melengkapi analisis subjektif tradisional dengan pengukuran yang lebih objektif terkait aspek waktu, skala, dan konsistensi konten, sehingga mampu menghasilkan insight berbasis data dari kumpulan video politik yang sangat besar dan dinamis.
Dalam penerapannya, Prof, Okamoto mengungkapkan teknologi utama yang digunakan, yakni detection, yaitu pelokalan wajah dalam urutan gambar termasuk identifikasi figur politik yang muncul di layar, serta recognition, yakni ekstraksi atribut wajah dari figur yang terdeteksi, meliputi identitas, usia, jenis kelamin, hingga ekspresi emosi.
Dengan pendekatan tersebut, penelitian dapat secara sistematis mengukur frekuensi kemunculan kandidat, peta distribusi wajah yang mendominasi konten politik, serta variasi ekspresi dan konteks visual yang menyertainya. Analisis berbasis computer vision membuka jalan bagi studi politik digital dengan cakupan yang lebih luas dan tingkat presisi yang lebih tinggi.
Menurutnya, perpaduan antara area studies dan teknologi data science seperti computer vision akan menjadi tren penting dalam kajian politik Asia Tenggara, terutama di tengah derasnya arus konten visual yang kini mendominasi budaya generasi muda.
Seminar ini menghadirkan perspektif baru mengenai bagaimana teknologi digital membentuk perilaku politik masyarakat, khususnya generasi muda. TikTok, dengan kekuatan algoritmanya, telah menjelma menjadi arena politik yang memengaruhi hasil elektoral sekaligus menantang kualitas demokrasi.
“Masa depan demokrasi akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita menyeimbangkan kecepatan budaya visual dengan kedalaman refleksi akademik dan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat luas,” pungkasnya
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, menegaskan kembali pentingnya kerja sama akademik internasional antara UIN Sunan Kalijaga dan Kyoto University. Melalui nota kesepahaman (MoU) yang telah ada, kedua institusi berkomitmen untuk memperkuat penelitian lintas disiplin, khususnya dengan menggabungkan pendekatan area studies dan data science dalam menganalisis dinamika politik kontemporer di Asia Tenggara.(humassk)