menag aicis.jpg

Kamis, 30 Oktober 2025 23:26:00 WIB

0

Menag Nasaruddin Umar Paparkan Diplomasi Damai hingga Ekoteologi dan Pemberdayaan Dana Umat di AICIS+ 2025

Hari kedua gelaran Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok terasa sangat istimewa. Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Nasaruddin Umar, tampil memukau di hadapan ratusan akademisi dan peneliti dari berbagai negara. Menag mengajak peserta untuk menatap masa depan peradaban Islam dengan tiga kunci utama, yakni perdamaian, kepedulian ekologis, dan pemberdayaan ekonomi umat.

Mengawali sambutannya, Menag menyoroti besarnya kepercayaan dunia terhadap Indonesia dalam hal perdamaian global. Di tengah situasi geopolitik dunia yang kian kompleks, Indonesia, menurutnya, menjadi contoh negara dengan populasi Muslim terbesar yang mampu menjaga keseimbangan antara keislaman dan kemanusiaan.

“Indonesia dipandang sebagai salah satu negara independen yang mampu menawarkan solusi damai dan menjadi penengah. Kepercayaan ini adalah modal besar bagi diplomasi kemanusiaan dan perdamaian global yang diusung oleh bangsa kita, terutama terhadap krisis yang terjadi di Timur Tengah,” ujar Menag di hadapan para peserta konferensi.

Pernyataan itu menggemakan kembali prinsip diplomasi bebas-aktif yang telah lama menjadi ruh politik luar negeri Indonesia. Bagi Menag, nilai-nilai Islam yang moderat dan terbuka adalah kekuatan moral bangsa yang dapat memberi warna bagi perdamaian dunia.

Ia juga mengulas konsep Ekoteologi, sebuah gagasan yang mulai dibumikan pada masa kepemimpinannya, sebagai pendekatan baru dalam memahami teologi Islam yang berpijak pada kepedulian terhadap lingkungan. Menyadari urgensi persoalan ekologi dalam kehidupan modern, Menag terus menegaskan pentingnya pembumian Ekoteologi secara berkesinambungan dalam berbagai kesempatan dan ruang keagamaan.

Menurutnya, Ekoteologi bukan sekadar istilah akademik, tetapi refleksi spiritual yang menempatkan kasih sayang sebagai inti keberagamaan. Dari 99 Asmaul Husna, lebih dari 80 persen menggambarkan kasih sayang Allah, dan nilai itu, kata Menag, seharusnya tercermin dalam cara manusia memperlakukan alam semesta.

“Sayangnya, banyak perilaku manusia belum mencerminkan kasih sayang, terutama dalam memperlakukan lingkungan. Melalui Ekoteologi, kita ingin mentransformasikan pemahaman teologi agar lebih menunjukkan nilai-nilai kepedulian dan kasih sayang itu sendiri,” jelasnya.

Usai berbicara tentang ekoteologi, Menag mengalihkan perhatian pada isu lain yang tak kalah penting, yaitu pemberdayaan ekonomi umat. Ia menyinggung potensi besar dana ibadah rutin di Indonesia, mulai dari kurban, fidyah, hingga akikah yang jika dikelola secara terintegrasi dapat menjadi motor penggerak ekonomi umat.

Data yang dipaparkannya mengejutkan banyak pihak. Potensi dana dari ibadah kurban saja mencapai Rp72 triliun per tahun, sementara dari fidyah dan kafarat nilainya bisa menembus Rp2 triliun, dan bila diakumulasikan, totalnya bisa mencapai lebih dari Rp1.000 triliun per tahun.

“Pemerintah di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto telah mempersiapkan langkah strategis dengan membentuk Lembaga Pemberdayaan Dana Umat (LPDU). Insya Allah, LPDU akan dibangun tahun depan di Jakarta sebagai upaya serius untuk mengelola dan mendayagunakan potensi dana umat ini bagi kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.

Menag kemudian mengajak peserta konferensi menengok kembali sejarah Islam pada masa keemasan, abad ke-6 hingga ke-13 Masehi, masa ketika ilmu pengetahuan dan spiritualitas berpadu dalam harmoni. Ia mengingatkan akan keberadaan Baitul Hikmah, pusat keilmuan di Baghdad yang menjadi simbol kejayaan peradaban Islam.

“Baitul Hikmah itu tidak harus satu tempat. Di masa depan, Asia Tenggara bisa menjadi pusat peradaban keilmuan baru, di mana ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual Islam bertemu kembali,” ujarnya penuh optimisme.

Suasana AICIS+ 2025 hari itu terasa sarat makna. Lebih dari sekadar forum ilmiah, konferensi ini menjadi ruang perjumpaan ide lintas negara dan lintas disiplin. Ratusan makalah dipresentasikan, menggambarkan semangat bersama untuk menghadirkan Islam yang relevan, ilmiah, dan solutif bagi masa depan bumi dan kemanusiaan.

“Saya percaya, konferensi ini akan menghasilkan kesimpulan terbaik untuk membangun dan menyiapkan peradaban Islam yang baru, peradaban yang penuh kasih, berkeadilan, dan berkelanjutan,” pungkasnya.. (humassk)