Hari kedua gelaran Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok terasa sangat istimewa. Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Nasaruddin Umar, tampil memukau di hadapan ratusan akademisi dan peneliti dari berbagai negara. Menag mengajak peserta untuk menatap masa depan peradaban Islam dengan tiga kunci utama, yakni perdamaian, kepedulian ekologis, dan pemberdayaan ekonomi umat.
Mengawali sambutannya, Menag menyoroti besarnya kepercayaan dunia
terhadap Indonesia dalam hal perdamaian global. Di tengah situasi geopolitik
dunia yang kian kompleks, Indonesia, menurutnya, menjadi contoh negara dengan
populasi Muslim terbesar yang mampu menjaga keseimbangan antara keislaman dan
kemanusiaan.
“Indonesia dipandang sebagai salah satu negara independen yang
mampu menawarkan solusi damai dan menjadi penengah. Kepercayaan ini adalah
modal besar bagi diplomasi kemanusiaan dan perdamaian global yang diusung oleh
bangsa kita, terutama terhadap krisis yang terjadi di Timur Tengah,” ujar Menag
di hadapan para peserta konferensi.
Pernyataan itu menggemakan kembali prinsip diplomasi bebas-aktif
yang telah lama menjadi ruh politik luar negeri Indonesia. Bagi Menag,
nilai-nilai Islam yang moderat dan terbuka adalah kekuatan moral bangsa yang
dapat memberi warna bagi perdamaian dunia.
Ia juga mengulas konsep Ekoteologi, sebuah gagasan yang mulai
dibumikan pada masa kepemimpinannya, sebagai pendekatan baru dalam memahami
teologi Islam yang berpijak pada kepedulian terhadap lingkungan. Menyadari
urgensi persoalan ekologi dalam kehidupan modern, Menag terus menegaskan
pentingnya pembumian Ekoteologi secara berkesinambungan dalam berbagai
kesempatan dan ruang keagamaan.
Menurutnya, Ekoteologi bukan sekadar istilah akademik, tetapi
refleksi spiritual yang menempatkan kasih sayang sebagai inti keberagamaan.
Dari 99 Asmaul Husna, lebih dari 80 persen menggambarkan kasih sayang Allah,
dan nilai itu, kata Menag, seharusnya tercermin dalam cara manusia
memperlakukan alam semesta.
“Sayangnya, banyak perilaku manusia belum mencerminkan kasih
sayang, terutama dalam memperlakukan lingkungan. Melalui Ekoteologi, kita ingin
mentransformasikan pemahaman teologi agar lebih menunjukkan nilai-nilai
kepedulian dan kasih sayang itu sendiri,” jelasnya.
Usai berbicara tentang ekoteologi, Menag mengalihkan perhatian pada
isu lain yang tak kalah penting, yaitu pemberdayaan ekonomi umat. Ia
menyinggung potensi besar dana ibadah rutin di Indonesia, mulai dari kurban,
fidyah, hingga akikah yang jika dikelola secara terintegrasi dapat menjadi
motor penggerak ekonomi umat.
Data yang dipaparkannya mengejutkan banyak pihak. Potensi dana dari
ibadah kurban saja mencapai Rp72 triliun per tahun, sementara dari fidyah dan
kafarat nilainya bisa menembus Rp2 triliun, dan bila diakumulasikan, totalnya
bisa mencapai lebih dari Rp1.000 triliun per tahun.
“Pemerintah di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto telah
mempersiapkan langkah strategis dengan membentuk Lembaga Pemberdayaan Dana
Umat (LPDU). Insya Allah, LPDU akan dibangun tahun depan di Jakarta sebagai
upaya serius untuk mengelola dan mendayagunakan potensi dana umat ini bagi
kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Menag kemudian mengajak peserta konferensi menengok kembali sejarah
Islam pada masa keemasan, abad ke-6 hingga ke-13 Masehi, masa ketika ilmu
pengetahuan dan spiritualitas berpadu dalam harmoni. Ia mengingatkan akan
keberadaan Baitul Hikmah, pusat keilmuan di Baghdad yang menjadi simbol
kejayaan peradaban Islam.
“Baitul Hikmah itu tidak harus satu tempat. Di masa depan, Asia
Tenggara bisa menjadi pusat peradaban keilmuan baru, di mana ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai spiritual Islam bertemu kembali,” ujarnya penuh optimisme.
Suasana AICIS+ 2025 hari itu terasa sarat makna. Lebih dari sekadar
forum ilmiah, konferensi ini menjadi ruang perjumpaan ide lintas negara dan
lintas disiplin. Ratusan makalah dipresentasikan, menggambarkan semangat
bersama untuk menghadirkan Islam yang relevan, ilmiah, dan solutif bagi masa
depan bumi dan kemanusiaan.
“Saya percaya, konferensi ini akan menghasilkan kesimpulan terbaik
untuk membangun dan menyiapkan peradaban Islam yang baru, peradaban yang penuh
kasih, berkeadilan, dan berkelanjutan,” pungkasnya.. (humassk)