UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kembali menegaskan komitmennya dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan berkeadilan gender. Melalui forum Women Talk bertajuk “Dialog Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Lingkungan Perguruan Tinggi”, kampus menyelenggarakan diskusi mendalam tentang akar, realitas, dan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan, khususnya di lingkungan akademik. Kegiatan berlangsung di Aula Convention Hall Lantai 1 pada Senin (1/12/2025), hasil kolaborasi PLT PPKS dan P2GHA UIN Sunan Kalijaga dengan Nasaruddin Umar Office.
Hadir sebagai narasumber, Manager Akademik PK-UMI Jakarta, Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm dan aktivis PLT PPKS sekaligus tokoh P2GHA UIN Sunan Kalijaga, Dr. Witriani.
Dalam kesmepatan tersebut, Dr. Nur Rofiah menegaskan bahwa alam bawah sadar manusia dibentuk oleh nalar sosial, mulai dari cara menafsirkan agama hingga nilai-nilai budaya yang diwariskan lintas generasi. Karena itu, membaca Al-Qur’an, menurutnya, tidak dapat dilakukan secara terpisah dari konteks peradaban manusia yang terus berkembang.
Perjalanan peradaban tersebut membawa serta sejarah panjang sisi gelap dunia, seperti perang, penjajahan, perbudakan, semua berlangsung berabad-abad dan membentuk kebiasaan memandang kekerasan terhadap pihak yang lemah sebagai sesuatu yang normal. Normalisasi inilah, kata Nur Rofiah, yang kemudian tercermin dalam praktik kekerasan seksual yang sering dianggap lumrah dan tidak disadari sebagai bentuk ketidakadilan yang mendalam.
Dampak dari normalisasi ini sangat kuat terhadap cara masyarakat memandang perempuan. “Di banyak tempat dan kurun waktu tertentu, perempuan ditempatkan bukan sebagai manusia utuh, melainkan sebagai milik laki-laki, obyek pemuas seksual, atau sekadar mesin reproduksi,” ujarnya. Sejumlah praktik ekstrem, seperti penyetrikaan payudara, pengurungan saat menstruasi, mutilasi genital perempuan, hingga penjualan istri, menjadi bukti bagaimana tubuh perempuan lama dikontrol oleh konstruksi sosial yang timpang.
Dr. Nur Rofi’ah juga mengungkahkan, bahwa dominasi laki-laki dalam produksi pengetahuan memperkuat kenyataan tersebut. Hingga kini, struktur keilmuan maupun otoritas sosial masih didominasi laki-laki. “Bahkan forum-forum fatwa yang membahas persoalan perempuan jarang melibatkan perempuan itu sendiri. Situasi ini membuat banyak norma tidak mampu menangkap realitas khas yang dialami perempuan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam proses reproduksi,” jelasnya.
Padahal, Islam memosisikan laki-laki dan perempuan sebagai subjek penuh, sama-sama hamba Allah dan khalifah yang bertugas membawa kemaslahatan di muka bumi. Keduanya memiliki akal budi, nurani, dan kapasitas intelektual yang setara.
Kesetaraan itu menjadi penting untuk dibaca dalam konteks pengalaman reproduksi perempuan yang jauh lebih kompleks dibanding laki-laki. Menstruasi, kehamilan, melahirkan, nifas, hingga menyusui melibatkan rasa sakit dan kelelahan yang panjang. Karena itu, norma atau tindakan apa pun hanya dapat dianggap adil jika tidak memperberat beban reproduktif tersebut. Mengabaikan pengalaman ini, tegasnya, hanya akan melanggengkan ketidakadilan.
Bagi Dr. Nur Rofiah, integrasi pengalaman khas perempuan merupakan kebutuhan mendesak dalam merumuskan norma sosial dan tafsir keagamaan. “Berbagai bentuk stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, dan beban ganda yang dialami perempuan bukan produk kodrat, melainkan konstruksi sosial yang dapat diubah. Pemahaman baru perlu dibangun agar masyarakat tidak lagi mewarisi pola pikir jahiliah yang menyalahkan perempuan sebagai sumber fitnah,” tegasnya.
Ia mengajak publik melihat Al-Qur’an sebagai sistem utuh yang mencakup misi, fondasi moral, dan cara. Misi dan fondasi moralnya bersifat universal, sementara cara bersifat kontekstual. Jika pesan inti Al-Qur’an menegaskan martabat manusia, maka relasi laki-laki dan perempuan harus ditempatkan sebagai kemitraan sejajar. “Jangan-jangan yang tidak percaya bahwa keduanya sejajar justru bermasalah imannya,” pungkasnya.
Paparan tersebut menegaskan kembali bahwa upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan bukan hanya isu gender, tetapi bagian dari tugas peradaban, mengembalikan manusia pada martabatnya sebagai makhluk berakal budi dan berkesadaran moral.
Sementara itu, Dr. Witriani mengurai situasi aktual kekerasan terhadap perempuan di dunia pendidikan tinggi, termasuk PTKI. Ia menekankan pentingnya memperkuat kerja-kerja advokasi, terlebih dalam momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
“Kekerasan terjadi di ruang domestik maupun publik. Di kampus, relasi kuasa antara dosen, pegawai, senior, dan mahasiswa menjadi faktor dominan,” ungkapnya.
Menurut Dr. Witri, korban kekerasan seksual kerap mempertimbangkan risiko sosial, akademik, hingga reputasi pribadi sebelum melapor. “Pertanyaan seperti ‘bagaimana orang tua saya?’ atau ‘bagaimana IP saya?’ menjadi beban tambahan bagi korban,” ujarnya.
Figur yang juga merupakan dosen Sastra Inggris Fakultas Adab ini, juga menyoroti budaya misoginis yang masih mengakar, minimnya pendidikan gender, dan belum meratanya aturan serta perspektif keadilan korban di banyak perguruan tinggi. “Tidak semua pimpinan memiliki perspektif yang memihak korban. Kadang terjadi pengabaian atau penyangkalan,” katanya.
UIN Sunan Kalijaga selaku perguruan tinggi berupaya menjadi rumah yang aman dan nyaman untuk para civitas akademika. “Kampus ini merupakan salah satu kampus Islam yang memiliki sejarah panjang dalam pengarusutamaan gender. Pusat Studi Wanita, kini Pusat Pengarusutamaan Gender dan Hak Anak (P2GHA), berdiri sejak 1995 dan telah menjadi motor kajian, advokasi, serta edukasi mengenai gender, HAM, dan kekerasan seksual.
Di tingkat layanan, lanjut Dr. Witri, Pusat Layanan Terpadu Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PLT–PPKS) yang dibentuk pada 2020, salah satu satuan tugas paling aktif di PTKI. Hingga 2025, lembaga ini meraih predikat tertinggi “Membudaya” dari Komnas Perempuan, menandakan keberhasilan kampus membangun ekosistem pencegahan kekerasan yang tidak lagi sekadar regulatif, tetapi telah menjadi budaya.
Forum ini menegaskan kembali bahwa pencegahan kekerasan seksual bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan amanah moral lembaga pendidikan. Dunia kampus seharusnya menjadi ruang peradaban yang memungkinkan manusia, laki-laki dan perempuan, menghadirkan kemaslahatan seluas-luasnya.
Dengan kontribusi berbagai lembaga dan komitmen penuh civitas akademika, UIN Sunan Kalijaga meneguhkan diri sebagai kampus yang tidak hanya unggul dalam keilmuan, tetapi juga menjadi teladan dalam membangun budaya anti kekerasan yang berkeadilan gender.(humassk)