IMG-20251213-WA0121.jpg

Jumat, 12 Desember 2025 20:00:00 WIB

0

Kongres ke-3 KUPI di UIN Sunan Kalijaga, Dialog Publik Teguhkan Arah Pengembangan Keulamaan Perempuan yang Lebih Transformatif

Ekosistem keulamaan perempuan kini tumbuh dengan kualitas SDM yang semakin mapan, otoritas keulamaan yang makin diakui, serta gerakan yang bersifat transformatif, sistematis, dan berkelanjutan.

Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Inayah Rohmaniyah, dalam Dialog Publik bertema “Membumikan Spirit Keulamaan Perempuan untuk Peradaban Islam yang Ma’ruf, Mubadalah, dan Berkeadilan Hakiki.” Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama KUPI dengan UIN Sunan Kalijaga, FAHMINA, RAHIMA, dan Gusdurian.

Dialog publik yang diikuti tidak kurang dari 500 akademisi dan ulama perempuan dari seluruh Indonesia tersebut berlangsung pada Jumat (12/12/2025) di Aula Convention Hall Lantai 1 UIN Sunan Kalijaga. Rangkaian kegiatan akan berlanjut selama dua hari berikutnya sebagai bagian dari penyelenggaraan Halaqah Kubra KUPI.

Prof Inayah melanjutkan, organisasi-organisasi keulamaan perempuan seperti Aisyiyah, Muslimat, dan lain sebagainya memiliki fondasi nilai yang sama. Keadilan yang diperjuangkan ulama perempuan, lanjutnya, bukanlah keadilan normatif, melainkan keadilan substantif yang berpihak pada pengalaman biologis, sosial, dan historis perempuan.

Figur yang juga merupakan dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam ini, menilai strategi perubahan KUPI bekerja melalui tiga ruang sekaligus, yakni pengetahuan, sikap, dan praktik yang dijalankan secara masif hingga membentuk kesadaran kolektif. “KUPI menjadi arena epistemik yang kuat. Ulama perempuan tidak hanya mendekonstruksi, tetapi juga merekonstruksi, mengembangkan rujukan, menerbitkan fatwa, dan menegaskan bahwa perempuan adalah subjek pengetahuan,” ujarnya.

Menurut Prof. Inayah, tantangan terbesar ke depan muncul dari ruang digital. Kekerasan seksual berbasis digital, perundungan, intoleransi, dan konservatisme digital terus meningkat. Identitas generasi muda kini lebih banyak dibentuk oleh media sosial dibandingkan keluarga, sekolah, atau lingkungan.

“Banyak anak muda, baik laki-laki maupun Perempuan, mengalami kecemasan atas masa depan, termasuk soal pernikahan. Mereka terpapar wacana konservatif di dunia maya yang tidak selalu memiliki dasar pengetahuan yang kuat,” ujarnya.

Di sisi internal, tantangan lain berupa rendahnya kepercayaan diri sebagian perempuan untuk menyandang identitas ulama, fenomena queen bee, dan pelanggengan beban kerja tradisional masih perlu diatasi.

Narasumber lainnya Adalah Pendiri Suara Ibu Peduli dan Koalisi Perempuan Indonesia Julia Suryakusuma, menegaskan bahwa perjalanan hidupnya sebagai perempuan Muslim dalam kultur patriarkal membentuk komitmennya pada isu keadilan gender. Ia menilai karya Prof. Fakihuddin Abdul Qodir, “Perempuan Bukan Sumber Fitnah,” sebagai bacaan penting untuk mengurai penyalahpahaman teks-teks keagamaan yang kerap merendahkan perempuan.

Julia jug menyoroti berbagai persoalan yang kini dihadapi Indonesia, mulai dari menguatnya politik otoritarian, politik dinasti, feodalisme, dominasi oligarki, hingga ketimpangan sosial dan ekonomi yang berkelindan dengan persoalan gender. Sementara itu, tantangan baru seperti perkembangan kecerdasan artifisial (AI) dan pemanfaatan bonus demografi yang belum optimal juga menambah kompleksitas.

“Feminisme memang tidak bisa menyelesaikan semua masalah sekaligus, tetapi ia tetap relevan sebagai kekuatan untuk menantang ketidaksetaraan struktural yang terus berlangsung. Hingga kini, tidak ada satu pun negara yang sepenuhnya berkeadilan gender,” ujarnya. “Gerakan ini harus konsisten diperkuat agar tercipta dunia yang lebih setara,” tambahnya.


Sementara itu, Penulis sekaligus Inisiator Forum Sabtu Wage, Ahmad Husain Pahasbu, narasumber mewakili generasi muda, menegaskan pentingnya regenerasi dalam organisasi ulama perempuan sebagai upaya menjaga keberlanjutan gerakan keilmuan dan advokasi yang digagas KUPI. Dalam paparannya, ia menawarkan lima proyeksi masa depan KUPI, yakni regenerasi intelektual, membumikan pemikiran KUPI, transformasi digital, pelibatan anak muda sebagai subjek pengetahuan, serta penguatan demokrasi berperspektif keadilan gender.

Menurutnya, regenerasi intelektual menjadi fondasi agar tradisi keulamaan perempuan tetap subur dan relevan dengan dinamika masyarakat. Karena itu, ia menekankan pentingnya menciptakan ruang belajar bersama lintas generasi, khususnya untuk memperkuat jejaring pemikiran dan kaderisasi kepemimpinan perempuan di ranah keagamaan.

Lebih jauh, Husain menyoroti potensi pendekakatan interdisipliner, yakni integrasi perspektif mubadalah yang digagas Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dengan teori-teori lain seperti psikologi dan keilmuan laiinya. Pendekatan ini, menurutnya, perlu dikembangkan tidak hanya dari studi Islam semata, tetapi juga oleh para ahli psikologi, dan lain sebagainya agar kerangka mubadalah semakin kaya dan mampu menjawab kebutuhan generasi muda.

Ia juga mengatakan bahwa wacana KUPI kerap dianggap elitis, sehingga tidak cukup akrab dengan kebiasaan komunikasi anak muda. Karena itu, diperlukan strategi pengemasan gagasan yang lebih dekat dengan bahasa generasi hari ini tanpa mengurangi kedalaman substansinya.

Dalam konteks transformasi digital, Husain menekankan pentingnya kehadiran KUPI di berbagai ruang digital secara cepat, relevan, dan responsif. Kerja-kerja media sosial selama ini, katanya, sering dipahami sebagai kerja sukarela, padahal membutuhkan energi besar dan profesionalitas. “Kita membutuhkan dukungan sumber daya untuk memastikan eksistensi KUPI di dunia digital,” ujarnya.

Husain juga mendorong pelibatan anak muda sebagai subjek pengetahuan, bukan sekadar peserta. Generasi muda, tegasnya, perlu diberi ruang sebagai peneliti, perumus fatwa, hingga pembicara dalam forum besar. “Betapapun mereka masih dalam proses, perspektif anak muda tetap diperlukan,” ungkapnya.

Pada bagian akhir, ia menekankan pentingnya memperluas pemahaman publik bahwa ulama perempuan tidak hanya bergerak pada kritik wacana keagamaan. Berbagai isu sosial, termasuk sosial-ekonomi, telah lama disentuh dan perlu terus dikembangkan. “Wacana-wacana tersebut harus digali dan disajikan kepada publik agar kontribusi ulama perempuan semakin terlihat dan dirasakan,” pungkasnya.(humassk)