WhatsApp Image 2025-12-17 at 17.09.55(1).jpeg

Kamis, 18 Desember 2025 08:49:00 WIB

0

Ngesuhi Sedulur Sak Kukuban, Gagasan Prof. Ustadi Hamzah tentang Relasi Antaragama yang Bermartabat

Di tengah dunia yang kerap memandang perbedaan agama sebagai garis batas yang tebal dan tak jarang memicu kecurigaan, Prof. Dr. Ustadi Hamzah, M.Ag. justru mengajak publik menoleh ke kearifan lokal Jawa: ngesuhi sedulur sak kukuban, merawat persaudaraan dalam satu naungan, tanpa meniadakan perbedaan.

Gagasan itu disampaikan dalam pidato pengukuhannya melalui Sidang Senat Terbuka pada Rabu (17/12/2025) di Gedung Multipurpose kampus setempat., Prof. Ustadi yang dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Hubungan Antar Agama. Menyampaikan pidato berjudul “Ngesuhi Sedulur Sak Kukuban: Dekolonialisasi Paradigma Hubungan Antaragama melalui Konsep ‘Rhizome’ versus ‘Tree’.”


Ungkapan ngesuhi sedulur sak kukuban bukan sekadar metafora budaya. Dalam khazanah Jawa, istilah ini merepresentasikan relasi sosial yang memandang pihak lain sebagai sedulur, saudara yang setara, kohesif, dan saling mengakui hak serta kewajiban, meskipun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Persaudaraan tidak menuntut penyeragaman, melainkan justru tumbuh dari penghormatan atas perbedaan.

“Relasi antaragama yang sehat bukanlah relasi yang meleburkan identitas,” tegas Prof. Ustadi. “Ia justru mengakar kuat pada tradisi masing-masing, dan dari situlah tumbuh penghormatan.”

Dari titik inilah Prof. Ustadi Hamzah menegaskan makna kepakarannya di bidang hubungan antaragama sebuah bidang yang kerap dipandang tidak “strategis”. Padahal, menurutnya, keilmuan ini ibarat garam dalam masakan, nyaris tak terlihat, sering dianggap remeh, namun justru menentukan rasa. Tanpanya, kehidupan sosial beragama mungkin tetap berjalan, tetapi kehilangan kedalaman, kehangatan, dan arah kemanusiaannya.

Dalam pidatonya, figue yang merupakan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran islam ini, mengulas panjang sejarah paradigma hubungan antaragama yang selama ini berkembang dalam wacana akademik global, mulai dari tipologi eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme ala Alan Race, pendekatan interpenetratif John Hick, hingga gagasan para teolog Barat seperti Paul Tillich dan Leonard Swidler. Di kalangan Muslim, ia menyebut pemikiran tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr, Ismail R. Al-Faruqi, hingga Muhammad Legenhausen.

Namun, menurutnya, banyak paradigma tersebut masih berakar pada cara pandang “tree model”, sebuah struktur hierarkis dengan akar tunggal yang diwariskan dari pengalaman sejarah Barat-Kristen. Model ini, kata dia, rentan runtuh ketika fondasi epistemologinya digugat.


Sebagai alternatif, Prof. Ustadi menawarkan paradigma Rhizome, meminjam pemikiran filsuf Gilles Deleuze dan Félix Guattari. Berbeda dengan pohon yang tumbuh vertikal dan bertumpu pada satu akar, rhizome, seperti rimpang, tumbuh ke segala arah, membentuk koneksi yang lentur, heterogen, dan saling terhubung.

Dalam kerangka rhizome, hubungan antaragama tidak dibatasi oleh jalur tunggal. Ia memungkinkan keterhubungan antara ajaran agama, penganutnya, lingkungan sosial, serta kearifan lokal yang melingkupi kehidupan bersama. Prinsip connection and heterogeneity membuka ruang bagi relasi yang cair, kontekstual, dan berakar pada realitas masyarakat.

Prof. Ustadi juga menekankan prinsip multiplicity, bahwa relasi antaragama tidak harus menuju satu kesatuan total, melainkan dapat berkembang melalui banyak jalur, sebagaimana konsep lines of flight. Dengan cara ini, tradisi keagamaan mana pun memiliki ruang untuk menawarkan model relasi yang bermartabat tanpa harus tunduk pada paradigma tunggal.

Ia mencontohkan berbagai kearifan lokal Nusantara seperti sayuk rukun (Jawa), pela gandong (Ambon), dan mosintuwu (Poso), yang hidup dan bertahan karena bertumpu pada relasi sosial yang menjembatani perbedaan, bukan meniadakannya.


Lebih jauh, Prof. Ustadi menegaskan bahwa relasi antaragama yang positif bukan sekadar pilihan etis, melainkan tanggung jawab religius. Setiap pemeluk agama dituntut untuk menghayati ajaran agamanya secara mendalam sekaligus menjalin hubungan dengan umat beragama lain secara bermartabat.

Dalam perspektif sosiologi agama, ia mengingatkan bahwa agama selalu berfungsi sebagai nilai yang membentuk perilaku sosial, baik secara laten maupun manifes. Ketika agama membudaya dan menyatu dalam masyarakat, ia menjadi kekuatan yang menjaga harmoni dan keseimbangan sosial.

Melalui paradigma rhizome dan bingkai ngesuhi sedulur sak kukuban, Prof. Ustadi Hamzah menawarkan jalan baru,  relasi antaragama yang tidak tercerabut dari identitas, tidak terjebak pada warisan kolonial pengetahuan, dan tidak berhenti pada wacana. Sebuah relasi yang hidup, mengakar, dan terus tumbuh, seperti rimpang, di tengah keberagaman Indonesia.(humassk)